Popular Posts

Sunday 20 September 2015

SEJARAH DAN KONSEP PERKEMBANGAN BANGSA INDONESIA MELALUI PENDEKATAN GEOPOLITIK

BAB I
PENDAHULUAN
A little knowledge that acts is worth infinitely more than much knowledge that is idle
(Kahlil Gibran)
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, sejak awal sejarahnya telah menunjukkan secara menyakinkan adanya kesadaran ruang (space counciousness), apakah itu ruang sebagai tempat hidup keluarganya ataupun ruang sebagai tempat mencari makan dan perburuan.  Kesadaran tersebut selalu terkait langsung atau tidak langsung pada kepentingan keamanan bagi diri dan keluarganya dari gangguan dan rongrongan pihak lain.  Hal ini juga terlihat dengan jelas pada kelompok binatang yang selalu “menugasi” anggota keluarga yang tergolong kuat untuk menjaga wilayah perburuannya.  Dalam perkembangan selanjutnya ketika kelompok manusia memasyarakat menjadi clan, suku atau bangsa maka kesadaran ruang meningkat menjadi hubungan emosional antara ruang hidup tersebut dengan suku, clan atau bangsa yang mendiami ruang tersebut.  Kemudian dari itu, tatkala masyarakat bangsa menegara maka kesadaran ruang mewujud menjadi kesadaran akan kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara (boundary), dengan seperangkat hukum dan aparat penjamin keamanan dan kedaulatan.
Berbagai clan, suku atau bangsa dapat bersepakat untuk menegara dalam satu negara bangsa (nation-state).  Kesepakatan demikian perlu didukung oleh satu commitment bersama diantara mereka yang bersepakat tidak hanya untuk mendirikan satu negara bangsa yang plural saja akan tetapi juga untuk menjaga kelangsungannya.  Commitment tersebut, antara lain, meliputi pandangan tentang diri dan lingkungannya yang berarti juga mengenai ruang negara serta tentang jati diri bangsa dan negaranya.  Keteguhan setiap warga atau kelompok warganegara atau setiap anggota suku bangsa terhadap commitment yang telah dibuat oleh para pendiri negara akan sangat menentukan kelangsungan hidup negara bangsa yang bersangkutan.  Keteguhan pada commitment tersebut amat vital bagi eksistensi negara yang berciri majemuk dan heterogen seperti Indonesia, dimana ciri heterogenitas itu ditandai oleh adanya kaitan emosional dan historis antara suku bangsa dengan tanah adat atau tanah tempat tinggal nenek moyangnya.  Pada masyarakat bangsa yang plural dan heterogen seperti itu sangat mudah muncul isu dan sentimen kedaerahan, separatisme dan sejenisnya, apabila tidak ada pemimpin dengan kepemimpinan yang kuat dan sanggup melaksanakan secara konsekuen dan berlanjut upaya nation and character building.  Sebaliknya pada masyarakat bangsa berciri majemuk akan tetapi homogen, seperti di Amerika Serikat, tidak ada kaitan historis dan emosional antara anggota masyarakat bangsa dengan wilayah tempat tinggal mereka seperti halnya di Indonesia sistem “melting pot” bisa diterapkan.  Sungguhpun demikian mereka tetap melaksanakan nation and character building disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa generasi baru selalu muncul silih berganti, dan tiap generasi diharapkan meneruskan commitment dari para pendiri negara.
Apapun juga rumusan atau isi dari commitment yang ada dapatlah dipastikan akan terdiri dari dua golongan/hal yaitu untuk menjaga integritas negara, termasuk didalamnya masalah kedaulatan, serta menjaga jatidiri bangsanya, apapun juga yang diartikan dengan jatidiri oleh masyarkat bangsanya.  Walaupun setiap bangsa memiliki ciri yang unik bagi jatidirinya, akan tetapi unsur kesatuan bangsa selalu berada didalamnya untuk menghindarkan bangsa yang bersangkutan dari terpecah belah.  Dapatlah dipahami apabila di dalam upaya nation and character building penghayatan atas pentingnya memelihara/mengamankan integritas negara serta jatidiri bangsa merupakan bagian yang paling utama.  Dari sudut inilah Wawasan Nusantara, yang mengandung message tentang berbagai kesatuan, dapat dimengerti serta perlu diwujudkan mengingat bahwa ia merupakan rumusan verbal yang amat ringkas dari commitment para pendiri negara.
Selain ciri masyarakat bangsa yang majemuk dan heterogen, serta ketidaktaatan pada commitment para pendiri negara dapat menjadi penyebab dis-integrasi bangsa dan negara, demikian juga bentuk geografi negara juga dapat memberikan kontribusi terjadinya insentif untuk dis-integrasi.  Hal ini disebabkan pada bentuk morfologi  geografi tertentu bisa menyebabkan satu kelompok masyarakat menjadi amat terpencil, dan keterpencilannya itulah menimbulkan yang membuka peluang munculnya insentif untuk memisahkan diri dari negaranya, seperti misalnya, suku Kurdi, suku Meo, suku Karen yang kesemuanya tinggal di daerah pengunungan yang amat sulit dijangkau.  Dalam kaitan dengan itu, bentuk negara kepulauan juga berpotensi yang sama.  Disini sekali lagi kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa pemahaman yang mendalam atas
kesatuan ruang negara berkaitan erat dengan faktor keamanan dan bahkan eksistensi negara.
Rasa keterpencilan sebagian masyarakat bangsa dari yang lain atau rasa tidak diperhatikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah pada umumnya disebabkan oleh ketiadaan sistem sirkulasi yang memadai dan sesuai dengan kondisi alam setempat.  Tanpa adanya sistem sirkulasi yang memadai maka interaksi dengan anggota masyarakat lainnya atau interaksi dengan petugas dan pejabat pemerintah sangat langka terjadi.  Keadaan semacam ini terjadi disepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Sarawak.  Disepanjang perbatasan tersebut masyarakat Dayak lebih mudah berinteraksi dengan anggota masyarakat diseberang perbatasan sehingga terjalinlah rasa “kedekatan” terhadap mereka dibandingkan dengan saudara-saudaranya di wilayah R.I.  Apabila hal semacam ini tidak segera diatasi maka lama kelamaan masyarakat Dayak warganegara R.I akan lebih berpaling secara psikologis, sosiologis dan bahkan mungkin juga politis kepada seberang perbatasan negara.  Bila hal ini terjadi maka seakan-akan batas negara (boundary) bergeser ke dalam wilayah R.I., dan terjadilah batas imajiner yang berupa batas pengaruh asing terhadap wilayah R.I.  Batas imajiner tersebut dinamakan frontier.
Bila frontier tidak segera diatasi maka ia dapat menjadi masalah politik antar negara manakala masyarakat setempat ingin bergabung dengan negara tetangga.
Frontier terjadi oleh berbagai sebab atau dorongan, misalnya saja dorongan politik, ekonomi, atau sosial budaya.  Oleh karena itu kesadaran akan kemungkinan terjadinya frontier harus selalu dihidupkan, terutama bagi negara kita yang memiliki konfigurasi geografis yang sangat menantang.
Kesadaran tersebut antara lain akan dapat diwujudkan melalui program angkutan udara dan laut perintis, program relokasi suku terasing, program pengembangan kawasan pertumbuhan ekonomi dengan negara tetangga dan sebagainya.  Kesemua program tersebut pada intinya menciptakan kesejahteraan, jaminan rasa aman, dan menghilangkan rasa “ketersampingan” atau terimajinalisasikan baik secara politik dan sosiologis.
Pada akhirnya pembinaan tata kehidupan nasional memerlukan kesadaran akan ruang, yang untuk sementara ini hingga tahun 2000, hal itu belum terasa di Indonesia.
Negara kita adalah negara maritim, akan tetapi hampir seluruh kebijaksanaan pemerintah pusat dan daerah ataupun kebijaksanaan yang sifatnya sektoral belum ada yang mencerminkan bahwa negara kita adalah negara maritim, yang berarti kesadaran akan ruang dalam upaya mengejar dan mempertahankan kepentingan nasional belum dilandasi oleh pengertian ruang.  Singkatnya geopolitik belum mendapat tempat di Indonesia, setidak-tidaknya hingga tahun 2000.
 Geo-strategi Dalam Tatanan Pemikiran di Indonesia
Idea atau ide dasar adalah awal mula satu tatanan pemikiran yang pada ujung paling akhirnya berupa tindakan nyata.  Dalam masyarakat yang menegara atas dasar commitment para pendiri Republik ini, ide yang dijadikan acuan brsama adalah terbentuknya masyarakat yang berazaskan kekeluargaan dengan atribut tata laku sebagaimana berlaku pada umumnya diantara masyarakat timur.  Paternalistik, gotong royong, mendahulukan kepentingan bersama, adalah diantara atribut lainnya yang menjadi ciri khas masyarakat timur tadi.  Apabila selanjutnya ide dasar harus dijadikan acuan masyarakat bangsa dalam bertatalaku, maka dapat dikatakan bahwa ia telah berubah dari satu ide menjadi pandangan hidup yang operasional; dan apabila pandangan hidup tadi diberikan kerangka ilmiah dan dikodifikasikan secara jelas maka terbentuklah satu falsafah bangsa.  Kemudian dari itu, apabila falsafah bangsa dijadikan landasan negara maka ia akan mewujud sebagai satu ideologi negara.  Untuk Indonesia, pandangan hidup berbangsa, falsafah bangsa, maupun ideologi negara semua diberi nama yang sama, yaitu Pancasila.  Bagi bangsa/negara lain tidaklah demikian halnya, masing-masing mempunyai nama yang berbeda-beda sehingga mengurangi kerancuan.
Tidak semua negara memiliki ideologi negara karena ia memang bukanlah salah satu syarat untuk berdirinya satu negara.  Akan tetapi bagi negara yang memiliki ideologi, ia selalu menjadi acuan bagi seluruh sistem yang ada maupun tata-laku masyarakatnya.  Kalau disimak benar maka ideologi negara kita bukanlah berupa satu uraian ilmiah yang panjang akan tetapi lebih merupakan patok-patok yang membatasi koridor diantara mana dinamika masyarakat kita sangat diharapkan berada diantaranya.  Apabila dilihat dari segi itu maka dapat juga ditafsirkan bahwa kelima sila tersebut lebih berupa sebagai uraian cita-cita nasional daripada satu rangkuman pemikiran atau falsafah secara rinci dan ilmiah.
Sebagai satu kumpulan cita-cita ia harus dikejar dan diupayakan agar secara bertahap dapat diwujudkan.  Misalnya saja Sila Persatuan Indonesia, keadaan kita saat ini memang amat jauh dari cita-cita itu, akan tetapi tidak berarti bahwa hal tersebut tidak dapat diwujudkan dikemudian hari, entah kapan.  Itulah cita-cita, yang pencapaiannya merupakan satu never ending goal.
Dalam rangka pencapaian cita-cita tersebut diatas kita sekalian seluruh bangsa dihadapkan pada berbagai jenis kendala, pluralisme masyarakatnya, konfigurasi geografis maupun keadaan dinamika lingkungan strategis yang dampaknya tidak mungkin diabaikan.  Oleh karena itu berbagai prasyarat harus dipenuhi agar perjalanan pencapaian cita-cita itu terjamin.  Prasyarat semacam itu disebut geo-politik, yang bagi  kita dirumuskan secara singkat dalam bentuk Wawasan Nusantara. Pada intinya Wawasan Nusantara mengisyaratkan perwujudan kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam sebagai satu prasyarat seutuhnya.   Makna sesungguhnya akan pentingnya inti sari geo politik kita itu amat terasa pada saat menjelang maupun setelah berakhirnya Orde Baru dimana seakan-akan segala bentuk kesatuan (dan juga persatuan)  ditenggelamkan dibawah emosi kesukuan, keagamaan maupun kepolitikan.  Bahkan seolah-olah negara kesatuan pun akan ditelan habis oleh emosi tersebut.  Adakah ramalan Huntington benar?
Ataukah kita lalai melaksanakan nation and character building sehingga kefahaman tentang kebangsaan dan negara bangsa dikalangan generasi muda sama sekali tidak ada bekasnya.  (kalaupun pernah membekas walaupun selembut apapun).
Ataukah sistem pendidikan kita telah mencair, dan yang tinggal hanyalah sekadar sistem pengajaran saja (dan itupun dalam kondisi yang memerlukan perhatian besar).  Apapun juga penyebabnya atas kejadian-kejadian saat itu, nyatanya bangsa dan negara kita telah terpuruk dalam pergaulan antar bangsa dan terkesan tentang  adanya kemerosotan etik dan moral yang ditandai antara lain oleh saling membunuh sesama anak bangsa.
Keterpurukan ini menandakan bahwa apabila prasyarat geo-politik tidak terpenuhi maka janganlah diharapkan cita-cita proklamasi akan tercapai.
Apabila kita telusuri lebih jauh lagi maka dapatlah difahami bahwa setelah prasyarat dipenuhi maka diperlukan satu metode umum atau strategi guna mewujudkan cita-cita diatas.  Metode tersebut dinamakan geo-strategi, yaitu satu strategi dalam memanfaatkan kondisi lingkungan didalam upaya mewujudkan tujuan politik (cita-cita nasional).  Sedangkan upayanya itu sendiri akan terwujud sebagai program-program di dalam pembangunan nasional.  Bagan berikut menunjukan tatanan dan sekaligus tataran pemikiran yang ada mulai dari ide tentang kekeluargaan dan kebersamaan hingga metode pelaksanaan pembangunan.
Geo-strategi Indonesia dirumuskan dalam bentuk Ketahanan Nasional yang unsur-unsur utamanya terdiri dari kualita keuletan dan kualita kekuatan/ketangguhan.
Keuletan sesungguhnya merupakan satu kualita integratif yang menunjukan adanya kebersamaan diantara sesama komponen yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan.  Keuletan diperlukan dalam menghadapi tantangan/tekanan dari luar yang harus dihadapi secara elastis konsisten dan berlanjut.  Tanpa adanya kualita keuletan maka jaringan sosial masyarakat akan retak, atau bahkan putus, apabila dihadapkan pada tantangan/tekanan yang berkepanjangan. memerlukan keuletan masyarakat agar tidak terjadi hal-hal yang mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat karena masyarakat memiliki “kelenturan” yang mampu meng-absorbir tekanan kesulitan ekonomi.
Memang, keuletan masyarakat dapat diandaikan dalam bahasa mekanika seolah-olah sebagai koefisien  kelenturan pegas, yang sudah barang tentu memiliki ambang batas, diatas mana tekanan dari luar tidak lagi dapat ditahan dan pegaspun akan kehilangan kelenturannya dan patah.  Sebaliknya, unsur kekuatan/ketangguhan merupakan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dari masyarakt bangsa ke arah tata kehidupan yang lebih baik dikemudian hari.  Semakin tinggi kualita/ketangguhan maka semakin besar pula tekanan yang dapat ditahan dan dilawan tanpa adanya kualita ini masyarakat akan stagnan, dan apabila hal ini terjadi maka lama kelamaan akan mundur dimakan waktu.
Kekuatan atau ketangguhan untuk berkembang merupakan kualita kemampuan yang harus memiliki setiap masyarakat bangsa, sebab kebutuhan dan kepentingan meningkat setiap saat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk maupun tingkat kesejahteraannya.  Tiap generasi anak bangsa mengharapkan, dan  ini sangat wajar, bahwa kehidupannya dikemudian hari lebih baik dari generasi diatasnya.  Ini adalah sikap positif terhadap kemampuan bangsa secara keseluruhan karena dengan demikian tiap generasi termotivasi secara positif untuk mengembangkan dirinya sejalan dengan tuntutannya sendiri.  Pemenuhan kebutuhan itu merupakan bagian dari penciptaan rasa aman dan keamanan (sekuriti) bangsa.  Namun demikian dalam pencapaian cita-cita itu satu masyarakat bangsa tidak berada dalam ruang hampa, melainkan berada ditengah-tengah masyarakat kawasan (atau sub-kawasan) disekitarnya.  Karena itu pencapaian cita-cita harus didasarkan atas pertimbangan lingkungan, apalagi dalam zaman global yang tanpa batas ini.  Selain dari itu perlu juga disadari bahwa peningkatan keamanan (sekuriti), dari sisi militer, untuk pengamanan satu bangsa pada dasarnya dapat meningkatkan rasa tidak aman (in-security feeling) dari bangsa sekitarnya sehingga kesadaran ruang amat diperlukan.
Singkatnya dalam upaya pembangunan nasional, geopolitik dan geostrategi harus dijadikan pedoman yang tidak boleh sekali-kali dilupakan, tidak hanya oleh para perencana saja akan tetapi oleh kita sekalian seluruh anak bangsa.
BAB II
GEOGRAFI POLITIK
 Geo-politik pada dasarnya merupakan cabang ilmu pengetahuan yang relatif baru, dimana pada awalnya dicurigai sebagai satu “ilmu” yang memberikan pembenaran pada konsepsi Liebensraum di era Hitler, sehingga menimbulkan semacam “kecurigaan” akan kemanfaatannya secara ilmiah.  Lepas dari hal itu, satu hal yang sudah pasti yaitu bahwa para pakar dibidang ilmu politik berpendapat bahwa geografi politik merupakan cabang ilmu pengetahuan yang melandasi lahirnya geo-politik.
Jika politik diartikan sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik (nasional), maka geografi politik berupaya mencari hubungan antara konstelasi geografi dengan pendistribusian tersebut diatas.  Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga pendistribusian itu harus “ditebarkan” pada hamparan geografi yang memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen diseluruh wilayah negara.  Inilah cirinya yang ditengarai sebagai sebab mengapa efek dan efektivitas pendistribusian itu terhadap masyarakat juga tidaklah homogen sifatnya, yang disebabkan oleh dampak dan intensitas pendistribusian yang bervariasi diseluruh wilayah negara.
Karena adanya perbedaan cara pandang terhadap “penebaran” yang dimaksud diatas serta dampaknya terhadap masyarakat, maka terdapat perbedaan dalam cara mendefinisikan geografi politik.  Ada yang melihat dari sudut pandang geografer sehingga geopolitik  dianggap sebagai dampak geografi atas proses politik.  Sebaliknya ada yang melihat dari kaca mata ahli politik sehingga mendefinisikan geografi politik sebagai kajian tentang  interaksi dinamis proses politik dengan morfologi negara, misalnya saja dalam landreform.  Sedangkan sebaliknya pengaruh morfologi negara atas dinamika politik misalnya saja terlihat dalam pembagian pemerintahan daerah maupun dalam penentuan daerah pemilihan pada setiap pemilu.
Pada hemat penulis, antara kedua sudut pandang tadi ada kesamaannya yaitu mempelajari distribusi spasial serta interaksi yang terjadi sepanjang jalur spasial tadi.  Sudah barang tentu pengertian jalur spesial telah mencakup aspek morfologi negara alias konfigurasi geografi  negara.  Selanjutnya, apabila proses politik dianggap sebagai proses interaksi, maka dapat dibayangkan bahwa secara morfologis proses politik menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai proses interaksi, maka dapatlah dibayangkan bahwa secara morfologis proses politik menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai satu medan politik (medan interaksi politik).  Sehingga akhirnya dapat didefinisikan geografi politik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi spasial berbagai kekuatan atau kepentingan dalam medan politik nasional.
Tentang interaksi spasial ini kita dapat melihat pada fenomena alam yang berupa medan magnit bumi.  Menurut ilmu fisika, medan magnit bumi secara plastis dapat dibayangkan terdiri dari rumpun garis gaya magnit yang secara spasial terdistribusi dari kutub utara magnit bumi menuju ke arah kutub selatan magnit bumi.  Dalam “perjalanan” sepanjang jalur spasial tiap garisnya dipengaruhi benda-benda atau kandungan-kandungan mineral yang ada dipermukaan atau dibawah permukaan bumi sehingga dampaknya merupakan terbeloknya jalur atau menjadi lemahnya garis gaya magnit bumi.  Dengan mempelajari “hambatan” terhadap garis gaya magnit sepanjang jalur utara-selatan dapat diketahui adanya kandungan mineral di darat atau adanya kapal selam dibawah permukaan laut.  Gejala demikian ini dinamakan anomali magnetik, yang dapat dideteksi dengan menggunakan detektor khusus MAD.
Sungguhpun disadari bahwa analogi medan politik dengan medan magnit tidak terlalu pas, akan tetapi ia merupakan pijakan yang memadai dalam rangka pemahaman distribusi spasial dari kekuatan (politik) maupun kekuatan medan magnit pada ruang negara.

Setelah diperoleh gambaran tentang adanya interaksi antara medan politik dengan morfologi negara maka para pemikir geo-politik berkesimpulan bahwa untuk mencapai tujuan nasional (politik) haruslah diperhatikan kenyataan-kenyataan geografis atau geo-morfologi negara agar dimungkinkan penyesuaian-penyesuaian tertentu sehingga pencapaian itu optimal melalui strategi yang khas sesuai dengan geo-morfologi yang ada.  Strategi semacam itu disebut geo-strategi.  Dikalangan Asean ditengarai adanya perbedaan geo-strategi antara negara-negara anggota yang berciri maritim (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina) dengan negara yang berciri kontinental.  Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan geopolitik maritim dengan geopolitik kontinental.  Dari pengalaman Asean ini dapatlah dimengerti bahwa geopolitik mengalir dari geografi politik.
 Pemikiran Kontinental
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama transportasi dan komunikasi, telah mendorong munculnya kesadaran akan adanya keterkaitan antara geografi dan dinamika politik dunia.  Kesadaran tersebut ditangkap oleh Friedrich Ratzel dan dirumuskan dalam bentuk Antropho-geografi  yang pada intinya mengulas sintesa antara antropologi, geografi dan politik.  Tujuannya adalah mempelajari manusia, masyarakat, negara dan dunia sebagai organisme hidup.  Demikian juga  Ratzel secara berulang-ulang dalam karyanya menekankan bahwa pada akhirnya antropho-geografi harus memusatkan pandangan dan kajiannya pada sisi organisme-nya, dan inilah sesungguhnya awal dari bibit pemikiran mengenai geopolitik.
Pengaruh pemikiran organismik dari Ratzel terlihat pada pengembangan geografi politik, dimana hubungan timbal-balik antara manusia dengan alam sekitarnya lebih ditonjolkan.  Ini berarti bahwa tidak hanya geo-morfologi dan iklim saja yang mempengaruhi manusia akan tetapi juga jenis tanah, budaya setempat dan luas tanah atau faktor ruang (Raumfactor).  Tidaklah mengherankan apabila dinamika manusia dan produktivitasnya juga dikaitkan dengan ketersediaan ruang hidup atau Lebensraum.  Hubungan inilah yang kemudian dieksploitir oleh Haushofen bahwa peningkatan tuntutan hidup dan kebutuhan pengembangan tata kehidupan memerlukan perluasan dari Lebensraum yang sudah ada.
Lebih jauh Karl Ritter dan Ratzel secara terpisah mengidentifikasikan bahwa tabiat, ambisi dan bahkan budaya manusia dibentuk oleh alam sekitarnya serta menyimpulkan adanya keterkaitan anatara iklim dan budaya.  Itulah sebabnya Ritter kemudian mengkaitkan Zona Iklim dunia dengan Zona Budaya.
Penelitian lebih lanjut tentang kaitan antara manusia dengan alam sekitarnya menuntun Ratzel pada kesimpulan bahwa ruang atau Raum merupakan satu faktor penting dalam perjuangan manusia dalam memenuhi kebutuhan.  Atas dasar logika ini disimpulkan bahwa bangsa yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi memiliki validitas klaim yang lebih untuk mendapat ruang tambahan.  Dipandang dari kondisi politik dunia saat itu, kesimpulan Ratzel ini amat berbahaya, karena dapat dijadikan pendorong bahkan legitimasi terhadap kolonialisme dan ekspansionisme.  Lebih tajam lagi adalah kesimpulannya bahwa luas wilayah satu negara merupakan indikator terbaik dari kekuatan politiknya (political power).
Apabila kesimpulan ini dikaitkan dengan rumusan Cline mengenai kekuatan nasional satu bangsa bila dilihat/diamati dari luar, memang berbanding lurus, antara lain dengan critical mass dari negara bersangkutan dimana critical mass itu sendiri adalah gabungan dari critical mass penduduk serta critical mass ruang negara. (Uraian lebih detail periksa buku Sunardi, R.M.   “Teori Ketahanan Nasional”, Lemhannas, 1999).
Menurut Cline, Australia tidak memiliki critical mass yang besar sebab sebagian besar ruang negaranya tidak produktif dan ditambah lagi penduduk hanya “kecil” (± 18 juta) walaupun kualitasnya sangat tinggi dan maju.  Demikian pula halnya dengan Singapura.  Kedua negara ini sudah barang tentu berbeda dengan negara seperti RRC yang memiliki critical mass besar; dan oleh karena itu berpotensi menjadi negara besar.
Setiap bangsa yang menegara, menurut Ratzel, haruslah memiliki konsep ruang; apabila tidak bangsa bersangkutan akan terdesak menjadi bangsa marginal dalam perpolitikan global.  Kesimpulan semacam ini memang terasa valid pada era sebelum Perang Dunia ke II, dimana hampir tiap kawasan dunia, terutama di Eropa, persaingan untuk mendapatkan Power Position utama tidak jarang menimbulkan konflik terbuka.  Sesudah perang dunia ke II, terutama sesudah perang dingin berakhir hampir tiap kawasan cenderung membentuk regional grouping.
Maraknya regionalisme telah mengakhiri tidak hanya perlombaan power position saja, akan tetapi juga surutnya supremasi politik dan militer sebagai faktor utama penentu kekuatan nasional satu bangsa, yang kedudukannya digeser oleh faktor ekonomi.
Dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/antarbangsa, karena batas antar negara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka.  Sungguhpun demikian penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi internasional, akan tetapi latar belakang sejarah setiap bangsa/negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam menarik garis boundary tadi, dan akhirnya bertabrakan dengan negara lain.  Kasus konflik teritorial diantara negara-negara berkembang adalah contoh yang amat sangat nyata, sebab boundary yang ditetapkan oleh penguasa kolonial tidaklah sejalan dengan sejarah bangsa dan dengan aspirasi politik dari bangsa yang telah menjadi merdeka.
 Kenyataan dilapangan membuktikan bahwa boundary tidak selamanya ditaati oleh penduduk perbatasan (terutama didaerah terpencil) yang dengan seenaknya mengadakan
lintas batas untuk mengunjungi sanak-keluarga diseberang boundary, atau saling berdagang secara bebas seolah-olah tidak ada boundary.  Interaksi dinamis antar penduduk dua negara, atau interaksi dinamis antara dua budaya dapat membentuk satu batas semu atau frontier yang berbeda letaknya secara geografisnya dengan boundary aslinya (periksa gambar diatas).
Pada gambar - 1 terlihat telah terbentuknya frontier di dalam ruang negara yang disebabkan oleh penetrasi pengaruh seberang boundary. Apa yang terjadi adalah daerah asimilasi dimana penduduknya lebih “melirik” keseberang boundary dibandingkan kepada pemerintah daerah atau pusatnya sendiri.  Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Berbagai kasus yang ada di dunia ini, frontier terbentuk karena dua hal, yaitu, pertama, tidak cukup perhatian pemerintah pada daerah yang menjadi daerah asimilasi; kedua, tidak ada sarana sirkulasi yang cukup.
Untuk sebab yang kedua, kelengkapan sarana sirkulasi (transportasi dan komunikasi) biasanya terjadi di daerah yang sukar dicapai atau daerah terpencil seperti daerah pengunungan, daerah hutan rimba, pulau terpencil, yang kesemuanya berada di daerah sepanjang perbatasan dengan negara lain sehingga mudah terkena penetrasi budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.  Semakin lama daerah asimilasi tidak ditangani atau diperhatikan oleh pemerintah maka ia bisa menjadi makin meluas; oleh karena itu frontier sifatnya sangat dinamis.
Dilihat dari sisi politik, rakyat di daerah asilmilasi memiliki kecenderungan untuk membelakangi pemerintah/sistem politik dinegaranya dan tidak jarang bermuara pada keinginan merdeka.  Banyak masyarakat pengunungan yang mengalami hal seperti itu dan ingin merdeka, misalnya suku Kurdi, suku Karem, suku Meo, dan bahkan sebagian masyarakat propinsi xinjiang di RRC.  Kesemua masyarakat itu tinggal diwilayah pengunungan yang sukar dicapai.  Tidak itu saja, bagi negara yang wilayahnya luas sekali daerah frontier bisa terjadi dipinggiran yang jauh dari pusat pemerintahan.  Untuk itu disentralisasi adalah jalan pemecahan yang terbaik.  Dari sini terlihat dengan jelas kaitan atau interaksi antara geografi dan politik. 
Pemikiran Maritim
Perbedaan dengan para ahli geografi politik Jerman, seperti Ratzel, Ritter dan sebagainya yang berorientasi kontinental, Alfred Thayer Mahan merupakan pelopor orientasi maritim.  Menurutnya kekuatan satu negara tidak hanya tergantung pada faktor luas wilayah daratan dan seisinya, akan tetapi tergantung pula pada faktor luasnya akses ke laut berikut bentuk pantai dari wilayah negara.
Akses ke laut akan memudahkan perdagangan yang pada ujungnya membawa kesejahteraan dan penguasaan perekonomian; sedangkan bentuk pantai yang menguntungkan akan menarik masyarakat lebih berorientasi ke arah laut.  Tidaklah mengherankan apabila perhatian Mahan pertama-tama ditujukan ke Laut Tengah yang selalu menjadi ajang perebutan dan peperangan laut pada abad ke 16, 17 dan 18.  Bentuk pantai kawasan pinggiran Laut Tengah membuat masyarakatnya berorientasi pada laut dan perdagangan.  Tidaklah mengherankan apabila kawasan Laut tengah menjadi pusat perdagangan dunia kala itu.  Dengan berkembangnya jalur-jalur pelayaran ke Timur jauh dan Afrika serta bertambah majunya tepian barat Atlantik, maka bergeserlah persaingan perdagangan diantara negara-negara tepian di Eropa yang menjurus ke arah persaingan pengendalian jalur pelayaran tadi.  Inilah awal dari pelbagai jenis konflik terbuka di Atlantik antara kekuatan-kekuatan maritim besar saat itu.
Dalam pengamatan Mahan, negara-negara tepian Atlantik selain memiliki akses ke laut secara luas, bentuk pantainyapun memudahkan pengembangan pelabuhan-pelabuhan besar sehingga akan terbentuk satu masyarakat maritim yang kosmopolitan.  Selain itu, Mahan juga berkesimpulan bahwa bentuk dan panjang pantai satu negara akan menjadi salah satu indikator utama kekuatan laut (sea power) dari negara yang bersangkutan.  Observasi dan kesimpulan demikian ini sering disebut sebagai satu geographical determinist - bahwa geografi menentukan tata laku dan karya manusia.  Disinilah kiranya Mahan, Ratzel, Ritter dan kawan-kawannya pada era itu dapat dikatakan sama-sama merupakan geographical determinist.  Bedanya adalah bahwa Ratzel dan Ritter menengok ke darat dalam pengembangan kekuatan (power) satu negara, sedangkan Mahan menengok ke laut.
Menurut Mahan ada empat faktor alamiah yang mempengaruhi pembentukan kekuatan laut satu negara.  Pertama, situasi geografi, terutama mengenai Topo-morfologinya yang dikaitkan dengan ada tidaknya akses ke laut serta penyebaran penduduknya.  Kedua, kekayaan alam dan zona iklim, karena faktor ini akan terkait dengan kemampuan industri serta kemandirian dalam penyediaan pangan.  Ketiga, konfigurasi wilayah negara, yang menurut Mahan akan mempengaruhi karakter rakyat terutama dilihat dari orientasinya.  Keempat, jumlah penduduk.
Dari keempat faktor tersebut diatas dapat dicatat bahwa Mahan menaruh perhatian kepada konfigurasi wilayah negara serta pengaruhnya pada karakter rakyat.  Pengalaman dan sejarah umat manusia cukup mendukung hal tersebut, misalnya karakter orang yang tinggal di pengunungan akan berbeda dengan mereka yang tinggal didataran rendah.  Demikian juga karakter rakyat kepulauan berbeda dengan rakyat yang tinggal di kontinen.
Temuan Mahan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ratzel yang mengatakan bahwa agar negara menjadi kuat maka harus memiliki akses ke laut serta wilayah daratan yang luas.  Dari kesimpulan ini maka para ahli Jerman pada abad ke-20 mulai memikirkan perluasan wilayah negara Jerman ke arah timur dengan istilah Drang nach Osten.
 Dari Geografi Politik ke Geopolitik
Pemikiran geografi politik sampai dengan akhir abad ke-19 di dominasi oleh teori Ratzel, Ritter dan Mahan yang menganggap negara sebagi organisme serta pengaruh alam terhadap tata laku manusia atau geographical determinist.  Pada awal abad ke-20 muncul pemikiran dari para ahli Perancis seperti Albert Demangeon, Louis Febure, Andre Siegfried dan Jacques Ancel, yang beranggapan bahwa negara sebagai satu organisme hidup memiliki moral dan spritual sehingga tidak dapat dipandang sebagai satu ruang (space) yang hampa.  Adanya nasionalisme, rasa kebangsaan, faham kebangsaan, cinta tanah air membuktikan negara bukan sekadar ruang kosong.  Pemikiran demikian ini disebut geographical humanist.
Berdasarkan pada pemikiran para ahli Jerman dan para ahli Perancis maka Rudolf Kjellen berkesimpulan bahwa geo-morfologi haruslah dimanfaatkan dari segi politik, maka lahirlah the politics of geography yang kemudian diberi nama oleh Kjellen sebagai geopolitik.  Secara umum Kjellen memberi definisi geopolitik sebagai satu Science of the state.
Menurut Kjellen sistem politik tentang negara (sistem geopolitik) secara lengkap adalah:
1.    Tentang Negara                        :    Geopolitik, terdiri dari:
a.   Kedudukan negara             :     Topopolitik
b.   Bentuk negara             :       Morphopolitik
c.   Keadaan fisik negara          :     Physiopolitik
2.    Tentang Ekonomi                      :     Ekopolitik, yang terdiri dari:
a.   Pengaruh ekonomi              :     Emporo Politik
b.   Kemandirian                       :     Autharkhial Politik
c.   Dinamika ekonomi              :     Ekonopolitik
3.    Tentang Rakyat                        :     Demopolitik, yang terdiri dari:
a.   Kebangsaan                       :     Etnopolitik
b.   Sejarah dan asal-usul          :     Plethopolitik
c.   Psyche bangsa             :       Psychopolitik
4.    Tentang masyarakat bangsa      :     Sosiopolitik, yang terdiri dari:
a.   Bentuk dan organisasi  :       Phylopolitik
b.   Eksistensi                           :     Biopolitik
5.    Tentang pemerintahan               :     Kratopolitik, yang terdiri dari
a.   Bentuk negara             :       Homopolitik
b.   Eksistensi negara                :     Prexipolitik
c.   Kekuasaan negara              :     Archopolitik
Dari sistematika tentang politik negara tersebut diatas, maka Kjellen beranggapan bahwa geopolitik hanya salah satu bagian saja.  Kjellen menekankan bahwa sebagai salah satu organisme hidup maka negara yang diciptakan oleh Kjellen merupakan satu unit kekuatan dan kekuasaan yang selalu mengikuti hukum pertumbuhan (ingat teori Lebensraum dari Retzel).
Model ini seakan-akan “memahami” adanya perluasan wilayah melalui aneksasi, pendudukan maupun kolonisasi yang sangat marak pada awal abad ke-20 itu.
Sejak awal Kjellen sudah memperkirakan bahwa hukum pertumbuhan akhirnya akan membawa kita pada satu keadaan dimana muncul beberapa negara besar saja yang mampu mempengaruhi lainnya.  Jika hal ini dikaitkan dengan jalur-jalur pelayaran niaga yang penting waktu itu, maka pertumbuhan akan mengarahkan sepanjang jalur pelayaran tadi.  Bila diamati peta-peta dunia kala itu, maka dapatlah segera dilihat bahwa koloni-koloni Inggris selalu berada pada tepian jalur pelayaran dunia.
Pertumbuhan melahirkan rivalitas dan permusuhan antara negara-negara besar saat itu.  Hal ini tidak hanya menarik perhatian Kjellen akan tetapi juga Mackinder dari Inggris.  Mackinder melihat bahwa konflik saat itu bukanlah sekadar konflik antar negara-negara maritim untuk menguasai dunia.  Atau dapat juga dikatakan sebagai konflik antara kekuatan Euro-Asia (heartland) melawan kekuatan kepulauan dan pinggiran (pheripheral).
Mackinder berpendapat, saat itu, bahwa kekuatan Heartland akhirnya akan lebih unggul dari kekuatan Pheripheral mengingat keunggulannya dibidang politik, ekonomi dan militer.
Bahkan sebelum perang dunia pertama meletus, Mackinder membuat kesimpulan geopolitik sebagai berikut:
Who rules East Europe commands the Heartland,
Who rules the Heartland commands the World Island,
Who rules the World Island commands the World!
Yang dimaksud dengan the World Island ialah Asia, Eropa dan Afrika yang dalam pemikiran Mackinder merupakan satu continental patah.  Melalui pemikiran Kjellen dan Mackinder inilah geografi politik diantarkan menjadi geopolitik.


BAB III
GEOPOLITIK
 Dari uraian pada bab terdahulu dapat diketahui bahwa sesungguhnya geopolitik merupakan pengembangan dari geografi politik, dimana negara dipandang sebagai satu organisasi hidup yang berevolusi secara spatial dalam kerangka memenuhi kebutuhan masyarakat bangsanya atau tuntutan kebutuhan akan Lebensraum.
Ditangan para pemikir Jerman saat itu, khususnya Haushofer, geopolitik berkembang dengan pesat sebagai satu cabang ilmu pengetahuan dimana kekuasaan (politik) dan ruang (raum) merupakan anasir sentralnya.  Sehingga kemudian Haushofer menamakan geopolitik sebagai satu science of the state yang mencakup bidang-bidang politik, geografi (ruang), ekonomi, sosiologi, antropologi, sejarah dan hukum dan pertama kali diuraikan dalam bukunya yang terkenal “Macht und Erde” (kekuasaan/power dan dunia).
Kedekatan hubungan antara Haushofer dengan Hitler sejak awal diperkirakan merupakan penyebab dari menyusupnya info gagasan dalam Macht und Erde kedalam buku “Meinkampf”.  Tidakkah mengherankan apabila pada akhir perang dunia ke-2 geopolitik tidak lagi dikagumi, karena dituduh sebagai biang keladi dari ekspansi Jerman.
Pengaruh Haushofer juga terasa di Jepang karena dia pernah ditugaskan disana antara tahun 1909-1911 untuk mempelajari sistem militer Jepang serta mempererat hubungan militer antara kedua negara.  Sekembalinya di Jerman Haushofer menyusun konsep Lebensraum untuk Jepang yang diterbitkan dalam bukunya yang berjudul “Dai Nippon” (Greater Japan).  Gagasan itu kemudian juga diperkirakan menjadi landasan sari doktrin “Fukoku Kyohei” (Rich Country Strong Army) yang melandasi dilakukannya pembangunan besar-besaran angkatan perang kekaisaran Jepang menjelang perang dunia ke-2.
Kalau dilihat dari sudut pandang tataran pemikiran maka sesungguhnya Lebensraum maupun Fukoku Kyohei merupakan satu prasyarat dalam upaya mencapai cita-cita (baca Bab Pendahuluan) nasional.  Jadi geopolitik adalah pada hakekatnya prasyarat; dan karena harus dipenuhi secara nasional maka dapat juga disebut sebagai doktrin dasar negara
Sebagai satu doktrin dasar ia mengandung empat unsur utama yaitu:
1.    Konsepsi ruang, yang merupakan pengejawantahan dari pemikiran negara sebagai organisasi hidup;
2.    Konsepsi frontier, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan dan lingkungan;
3.    Politik kekuatan, yang menerangkan tentang kehidupan negara;
4.    Tentang keamanan negara dan bangsa, yang kemudian melahirkan geostrategi.
 Konsepsi ruang
Ruang merupakan inti dari geopolitik, sebab menurut Haushofer dan pengikutnya ruang merupakan wadah dinamika politik dan militer.  Dengan demikian sesungguhnya geopolitik merupakan cabang ilmu pengetahuannya yang mengaitkan  ruang dengan kekuatan fisik,  dimana pada kenyataannya kekuatan politik selalu menginginkan penguasaan ruang dalam arti ruang pengaruh, atau sebaliknya, penguasaaan ruang secara de facto dan de jure merupakan legitimasi dari kekuasaan politik.  Penguasaan ruang atau ruang pengaruh demikian itu pada intinya (menurut geopolitik) sesungguhnya merupakan satu fenomena spatial dari ruang itu sendiri.
Jika ruang pengaruh diperluas maka akan ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan; dan kerugian akan menjadi lebih besar lagi apabila hal itu dicapai melalui perang.
Pada era perang dingin dapat kita saksikan bagaimana kedua kutub adi kuasa saling berusaha memperluas “sphere of influence” maupun ruang hegemoninya masing-masing.  Pada era itu negara-negara Dunia Ketiga saling diperebutkan agar ditarik ke dalam sphere of influence atau kedalam hegemoni, baik sebagai sekutu/allies ataupun sekadar sahabat/friendly countries.  Yang penting sekurang-kurangnya tidaklah mesra dengan kubu lawan.  Kita juga lihat bersama, disaat itu, tidak peduli satu negara diperintah secara kejam atau tidak  asalkan “setia” kepada pemimpin kubunya.  Tidaklah mengherankan apabila kepala pemerintahan semacam Mobutu dirangkul, yang kemudian hari saat perang dingin selesai dicampakkan begitu saja atas tuduhan pelanggaran hak azasi manusia.  Maka berturut-turutlah beberapa kepala pemerintahan dinegara-negara Dunia Ketiga berguguran silih berganti setelah “ruang” yang mereka “kuasai” tidak lagi memiliki nilai strategi lagi.
Konsepsi strategi Indonesia yang mengatakan bahwa “pendudukan terhadap satu pulau dapat dianggap sebagai pendudukan seluruh negara” merupakan satu bukti lagi bahwa terdapat satu hubungan erat antara ruang dengan kekuatan dan kepentingan.  Kekuatan disini diartikan sebagai kekuatan penangkalan yang harus siaga dalam menghadapi kemungkinan, sekecil apapun, terjadinya pendudukan atas satu bagian kecil dari negara ini.
Keteguhan dan kesungguhan setiap negara atau bangsa mempertaruhkan setiap jengkal ruang yang berada di dalam wilayah kedaulatannya merupakan satu bukti juga adanya kaitan antara ruang dengan sifat negara sebagai organisme hidup.  Dalam hal ini berkurangnya ruang negara oleh sebab apapun juga memberi dampak psikologis pada penduduk akan berkurangnya ruang “bernafas”.  Tidaklah mengherankan apabila negara-negara kecil seperti Singapura atau Israel tidak dapat mentolerir berkurangnya ruang negara; dan akan selalu bereaksi sangat keras terhadap ancaman dari luar yang berpotensi untuk mampu mengurangi ruang negara mereka.  Untuk itu negara-negara semacam itu selalu mempersiapkan kekuatan militer yang tangguh dan mampu melancarkan pre-emptive strike (bila perlu diluncurkan dari luar negaranya).
Bertambahnya ruang negara atau berkurangnya ruang negara oleh berbagai jenis sebab, selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara dan bangsa.  Karena itu tidaklah mengherankan bahwa tiap negara mempertahankan kehormatan dan kedaulatannya dengan gigih dan konsisten.  Bahkan negara sebesar RRC harus berjuang mati-matian mempertahankan “haknya” atas pulau-pulau karang kecil, yang walaupun tenggelam pada saat air pasang, di kawasan Laut Cina Selatan.  Sehingga bila disimak benar-benar konflik territorial di Laut Cina Selatan sesungguhnya merupakan satu taruhan kehormatan dari negara-negara yang bertikai; dan ini memang amat sulit dicari titik temunya.
Apa sebenarnya yang amat mengherankan adalah keputusan Presiden Habibie yang begitu saja, kemungkinan besar hanya dilandasi oleh emosi atau saran staf yang kurang matang, memberikan dua opsi kepada rakyat Timor Timur.  Dan setelah ternyata rakyat Timor Timur memilih kemerdekaan, dengan entengnya pemerintahan menerimanya sebagai satu kewajaran.  Disini terlihat ketiadaan pertimbangan akan datang kenyataan bahwa ruang negara, sekecil apapun, terkait dengan kehormatan bangsa dan negara.  Inilah satu contoh yang amat mengherankan sekaligus menyedihkan.
Konsepsi ruang amat bermakna apabila dikaitkan dengan penduduk atau suku bangsa yang mendiaminya.  Pada zaman dahulu ruang hidup (living space atau Lebensraum) secara ideal harus dapat memenuhi atau mendukung kehidupan bangsa; karena itu bila dirasakan tidak lagi bisa mendukung kehidupan maka ada kecenderungan untuk “menambahnya” dan inilah awal dari peperangan.  Namun dalam zaman modern ini ruang hidup tidak harus berfungsi demikian; contohnya Singapura.  Hampir seluruh kebutuhan hidup rakyat  Singapura “dibeli” dari luar, yang kemudian dibayar dari produk jasa dan industri.  Dengan demikian nilai strategis ruang menjadi bermakna apabila dikaitkan dengan produktivitas penduduk yang pada gilirannya terkait secara langsung dengan faktor karakter, pengetahuan, ekonomi,  industri dan sebagainya.
Apabila ahli geopolitik Jerman, seperti misalnya Erich Obst, menekankan pentingnya luas ruang bagi kehidupan satu bangsa (dan perkembangan dikemudian hari) maka Ray S. Clime lebih berorientasi pada masa kritis dari ruang yang bersangkutan.  Masa kritis disini merupakan penjumlahan dari masa kritis penduduk, yaitu jumlah riil penduduk yang produktivitasnya dapat diandalkan, ditambahkan dengan masa kritis geografi ruang, yaitu luas riil dari ruang yang secara alami bisa mendukung kehidupan rakyat dari segi produktivitasnya. Ruang negara boleh luas, seperti Australia, akan tetapi karena sebagian besar berupa gurun pasir dan gurun tandus maka dari sudut pandang Cline masa kritisnya rendah. Atau apabila disingkat akan didapat : Mk (ruang) = MK (d) + Mk (g).
Luas ruang negara menjadi amat bermakna apabila dilihat dari segi strategis; sebab disitu akan berlaku strategi menukar waktu dengan ruang, dimana makna harfiahnya adalah tersedianya / disediakannya bagian ruang tertentu untuk diduduki sementara oleh  musuh, sementara itu kita mempersiapkan serangan balasan yang mematikan. Ini hanya bisa dilakukan apabila ruang negara cukup luas. Karena itu, apabila ruang negara “sempit” maka hanya terbuka satu opsi yaitu : Pre-emptive Strike atau serang sebelum musuh siap. Mengapa demikian, karena tidak adanya cukup ruang untuk mempersiapkan dukungan logistik (ruang atau daerah belakang), untuk digunakan persiapan tempur (ruang atau daerah komunikasi), dan digunakan untuk manuver serta memukul musuh (ruang atau daerah tempur).
Juga apabila dilihat dari segi strategi, luas ruang negara menentukan tingkatan rasa aman dari penduduknya (security feeling); artinya bagaimana mereka sebagai satu bangsa bereaksi dan menyikapi terhadap ancaman dari luar. Tidaklah mengherankan apabila luas ruang dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan karakter satu bangsa. Bahkan menurut Morgenthau karakter bangsa merupakan salah satu faktor yang menentukan kekuatan dan ketahanan bangsa.
 Konsepsi Frontier
Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa frontier merupakan batas imajiner dari pengaruh asing dari seberang boundary (batas negara secara hukum) terhadap rakyat satu negara. Ia sangat dinamis, dalam arti bisa bergeser-geser, dan berada diantara masyarakat bangsa. Atau dengan perkataan lain, secara politis dapat dikatakan bahwa pengaruh efektif dari pemerintah pusat tidak lagi mencakup seluruh wilayah kedaulatan melainkan dikurangi dengan luas wilayah sampai dengan batas frontier yang sudah dipengaruhi oleh kekuatan asing dari seberang boundary. Pengaruh asing itu bisa berawal dari pengaruh budaya atau dari pengaruh ekonomi, akan tetapi yang pasti adalah bahwa hal itu tidak ditangani dengan segera oleh Pemerintah pusat maka akan berubah menjadi pengaruh politik yang akan berujung pada pemisahan diri dari wilayah sebatas frontier.
Pengalaman membuktikan bahwa selama ini, sejak 1976, perbatasan antara Timor-Timur dengan NTT adalah frontier bagi kita, sebab secara budaya kita gagal menyerap masyarakat Timor Timur masih kedalam budaya NTT. Padahal mereka merupakan satu suku bangsa. Contoh lainnya adalah suku Kurdi yang telah membuat frontier di dalam negeri Turki dan Irak. Dalam halnya Turki, pemerintah secara militer “membasmi” suku Kurdi yang berada dalam frontier dengan maksud untuk menghilangkan sama sekali adanya frontier di dalam negara Turki.
Adanya frontier memang mengurangi ruang efektif yang berada dalam pengaruh pemerintah pusat, sehingga dampaknya hampir-hampir mirip dengan kehilangan sejengkal tanah yang berada dibawah kedaulatan. Atas dasar itu dapatlah difahami reaksi keras dari pemerintah Turki atas suku Kurdi karena kehormatan dan kewibawaan negara dan bangsa Turki menjadi taruhannya. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah adanya frontier merupakan masalah geopolitik yang menyangkut ruang.
Dalam zaman sekarang ini frontier dapat juga terletak diluar batas negara dikaitkan dengan kepentingan geopolitik yang memang harus menjangkau keluar wilayah kedaulatan. Globalisasi telah membawa serta munculnya transparansi masyarakat bangsa dari pengaruh luar, demikian rupa sehingga Ketahanan Nasional saja tidaklah cukup untuk menjamin keamanan dan rasa aman bangsa dan negara apabila tidak ditopang oleh keamanan regional. Begitu juga kerjasama bilateral saja tidak cukup kuat apabila tidak  disertai dengan kerjasama regional dan internasional. Adanya kaitan sevara sinergis berjenjang demikian itu membawa implikasi bahwa geopolitik harus memiliki dimensi internasional. Karena itu frontier dalam zaman sekarang ini harus pula diberi makna batas  imajiner sejauh mana kepentingan nasional terjamin pewujudannya atau pemenuhannya.
Sesungguh hal semacam itu telah dimainkan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia sejak dahulu, hanya saja melalui wajah kekuatan militer. Dalam era perang dingin ia berwajah hegemoni ataupun containment strategy. Akan tetapi esensinya sama yaitu sphere of influence, yang batas luarnya merupakan frontier dari negara besar yang menggelar sphere of influence tadi. Apabila dahulu Sphere of influence selalu diciptakan dan ditegakkan melalui mekanisme politik dan militer, dalam perkembangannya sekarang ini ia dapat diciptakan melalui mekanisme ekonomi dan perdagangan. Lihat saja sphere of influence dari yen Jepang yang kini hampir meliputi kawasan Asia Pacific bagian Timur, setidak-tidaknya seluruh Asia Tenggara berada di dalamnya.
Singkatnya, frontier akan menjadi sphere of influence apabila ia terletak diluar batas negara.
Kenyataan sekarang telah memaksa negara-negara dalam satu sub-kawasan bekerja sama untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat dengan cara meningkatkan bargaining power.

Dalam perdagangan global bargaining power tidak selama berupa kelebihan dalam murahnya satu produk akan tetapi juga kelebihan dalam hanya conveniency dan security dalam arti yang luas. Jelaslah hal ini akan lebih menguntungkan apabila ditawarkan oleh kerjasama regional, karena conveniency maupun security akan lebih terjamin. Oleh sebab itu, frontier yang terbentuk melalui kerjasama regional sesungguhnya merupakan satu frontier politik; dan apabila kerjasama regional terbentuk atas dasar kesamaan budaya atau agama maka dinamakan frontier budaya. Mengingat negara dapat dianggap sebagai satu organisme hidup, maka frontier semacam diatas dinamakan frontier organik yaitu bahwa adanya atau terbentuknya karena kebutuhan organisme yang bernama negara.

Konsepsi Politik Kekuatan (Power)
Politik kekuatan merupakan salah satu faktor dalam geopolitik karena adanya kenyataan bahwa dinamika organisme negara di dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya maupun di dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa selalu dilandasi oleh kekuatan politik dan atau ekonomi, dan atau militer, atau salah dua, bahkan ketiga-tiganya secara paralel. Jepang saat ini memainkan geopolitiknya dilandasi oleh kekuatan ekonomi dan sedikit faktor politik. Negara-negara besar Eropa melandasinya dengan politik dan ekonomi; sedangkan Amerika Serikat dengan ketiga-tiganya.

Semakin “menciutnya” ruang dunia sebagai akibat perkembangan teknologi, terutama teknologi telekomunikasi dan transportasi, disatu pihak sedangkan kepentingan negara-negara di dunia, terutama negara-negara besar, semakin mendunia maka semakin besar pula kemungkinannya terjadi persinggungan ataupun konflik kepentingan di berbagai tempat di dunia. Disini nampak bahwa konflik terbuka atau perang pada dasarnya merupakan dinamika ruang dan kekuatan. Tidaklah mengherankan apabila Kjellen menyimpulkan bahwa negara besar dengan kekuatan besar selalu cenderung ekspansif secara spasial. Kalau toh sekarang ini Amerika Serikat terkesan malang-melintang sebagai polisi dunia hanyalah disebabkan oleh anggapannya secara unilateral bahwa ruang kepentingannya adalah dunia dan di dukung oleh kekuatan nyata (baik ekonomi,politik, dan militer) yang mampu digelar setiap saat. Oleh sebab itu pameran kekuatan darat, laut dan udara adalah salah satu alat geopolitik di dalam pembentukan frontier.
Terasa menciutnya ruang dunia juga diikuti pula dengan meluasnya hak berdaulat bagi negara-negara pantai sebagai akibat diakuinya ZEE di dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Sebagai akibatnya management laut menjadi semakin rumit, terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia, disebabkan kepentingan negara-negara maritim “dibatasi” dengan berkurangnya freedom of  navigation. Padahal freedom of navigation bagi negara-negara besar merupakan satu hal yang dikeramatkan sejajar dengan hak azasi manusia dan demokrasi; maka tidaklah mengherankan makin seringnya terjadi tabrakan kepentingan.
Tabrakan kepentingan akan menjadi tidak berimbang apabila kekuatan nyata tidak berimbang, seperti antara Indonesia dan Amerika Serikat. Kita mengetahui bahwa freedom of navigation bagi negara-negara besar sangat berkait dengan projection of power dan pembentukan sphere of influence, karena itu tidaklah mengherankan bagaimana mereka menyikapi keinginan Indonesia dalam penetapan archipelagie sea lanes. Pembicaraan dengan negara-negara besar memang telah dilakukan sebelum rancangan archipelagic sealanes diserahkan kepada International Maritime Organization (IMO) dan telah disetujui pada bulan Desember 1998.

Untuk mewujudkan kepentingan nasional diperlukan kekuatan, yang pada gilirannya kekuatan memerlukan ruang gerak baik itu berupa ruang geografis maupun ruang politis. Misalkan saja kepentingan itu berupa peningkatan kegiatan perekonomian, maka kepada para pelaku pasar harus diberikan ruang gerak yang cukup agar lebih kompetitif dan produktif. Ruang gerak yang cukup, artinya demokratisasi, agar kegiatan ekonomi bisa berkembang bebas diseluruh ruang negara. Keperluan adanya demokratisasi ekonomi (tidak sekedar Liberalisasi saja) memerlukan dukungan demokratisasi politik agar tidak terjadi stagnasi.  Dahulu, ketika Uni Sovyet mengadakan demokratisasi politik secara luas yang tidak disertai dengan hal yang sama dibidang ekonomi maka negara tersebut berantakan. Hal yang sama juga terjadi pada Rusia sekarang. Lain halnya dengan RRC, dimana demokratisasi ekonomi jauh meninggalkan demokratisasi politik maka ternyata mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki, antara lain peristiwa Tienanmen.
Pelajaran yang dapat ditarik adalah bahwa perluasan ruang gerak harus dilaksanakan secara serentak pada semua bidang, agar mereka bisa saling menunjang.
Saat ini telah muncul dua gejala makro dipandang dari segi strategi yaitu bahwa dimensi ekonomi dari kekuatan telah semakin mengemuka, dan adanya pergeseran gravitasi kepentingan ke arah maritim. Kedua-duanya memiliki implikasi yang amat penting terhadap geopolitik, terutama bagi negara-negara maritim seperti Indonesia. Semakin mengemukanya dimensi ekonomi dari kekuatan menyebabkan antara lain : (a) faktor ekonomi telah dijadikan “senjata” untuk memaksakan kehendak, (b) munculnya Lembaga Keuangan Internasional sebagai kekuatan politik global; dan (c) berkembangnya regionalisme ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan posisi power.

Dilain fihak dengan adanya perdagangan yang mendunia, dimana setiap pasar domestik terkait satu sama lain; maka soal akses menjadi penting, baik akses terhadap pasar maupun akses terhadap sumber-sumber input bagi industri.
Sebagai konsekuensinya jalur-jalur pelayaran internasional (sea lines of communication/SLOC) menjadi amat vital.  Karena itulah kepentingan bergeser kearah maritim; siapa menguasai SLOC akan dapat menentukan pasar atau sebaliknya gangguan keamanan terhadap SLOC akan mempengaruhi keadaan pasar.
Tidaklah mengherankan apabila freedom of navigation dan terjaminnya keamanan sepanjang SLOC sehingga komoditi perdagangan mengalir secara lancar adalah pusat gravitasi kepentingan saat ini. Dapatlah dimengerti bahwa dipandang dari sisi ini Indonesia adalah  amat rawan karena SLOC vital antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik semuanya melewati perairan Indonesia. Tiap perkembangan politik dan keamanan di Indonesia serta merta menjadi perhatian negara-negara besar hanya karena SLOC itu.  Bahkan setiap pergantian pemerintah atau pemilihan presiden-presiden mengundang berbagai bentuk intervensi.




Konsepsi Keamanan Negara dan Bangsa

Pada akhirnya geopolitik juga ditujukan untuk menciptakan keamanan negara dan bangsa. Dari adanya kenyataan bahwa ketahanan nasional saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dalam negeri maka kemudian diputuskan menggelar frontier diluar batas negeri. Dari situ terwujudlah daerah penyangga (buffer zone) yang digunakan untuk memperluas ruang yang dapat ditukar dengan waktu dalam menghadapi ancaman fisik dari luar.
Jika selama ini ruang diartikan sebagai sesuatu yang riil secara geografi, maka sesungguhnya ruang bisa diartikan secara semu/maya dari segi keamanan yaitu antara lain berbentuk semangat kesatuan dan atau semangat persatuan.  Maknanya adalah bahwa kesatuan dan atau persatuan merupakan penghambat atau memperlambat datangnya ancaman/musuh sehingga seakan-akan dipertukarkan dengan waktu.
Kesatuan dan atau persatuan yang dianjurkan oleh pemerintah bukanlah satu retorika politik akan tetapi merupakan langkah geopolitik.  Dengan lain perkataan apabila satu negara kehilangan kesatuan dan atau persatuan bangsa maka dampaknya akan sama dengan kehilangan ruang.
Era kolonialisme dengan kekuatan senjata telah berlalu akan tetapi politik dan strategi kolonial dalam bentuk devide-et-impera masih tetap dijalankan oleh kekuatan -kekuatan besar dunia saat ini dengan cara merontokkan persatuan dari dalam. Atau bahkan membuyarkan kesatuan dengan taktik balkanisasi di dukung oleh lembaga-lembaga internasional yang dimobilisir.  Sehingga apabila keadaan dunia dipotret dengan kacamata negara berkembang, maka keadaan dunia semuanya telah berubah karena kemajuan teknologi akan  tetapi hanya satu yang tetap yaitu politik devide-et-impera negara-negara besar.
Membangun keamanan negara dan bangsa melalui upaya peningkatan dan pemantapan ketahanan nasional adalah langkah geopolitik, dimana hasilnya berupa ruang semu/maya yang semakin “luas” dalam bentuk kesatuan dan atau persatuan.  Karena itulah konsepsi keamanan dan pengamanan negara dan bangsa menjadi bahagian dari geopolitik.

BAB IV
GEOPOLITIK INDONESIA
  
Wawasan nusantara adalah geopolitik Indonesia.  Ia mengandung unsur-unsur atau konsepsi yang terdapat dalam geopolitik seperti dipaparkan pada bab sebelumnya.  Akan tetapi ia juga dapat disebut geopolitik apabila ditinjau dari tataran pemikiran/konsepsi yang berlaku di Indonesia, yaitu bahwa ia merupakan pra-syarat bagi terwujudnya cita-cita nasional yang tertuang dalam Pancasila (periksa Bab Pendahuluan).  Dalam hal pra-syarat ini sudah barang tentu memanfaatkan ruang (fisik atau semu) di dalam membentuk persatuan dan atau kesatuan.
Konfigurasi Indonesia adalah unik dan sekaligus amat menentang, masih ditambah lagi dengan ciri-ciri demografi, anthropologi, meteorologi dan latar belakang sejarah yang memberi peluang munculnya dis-integrasi bangsa.  Tidaklah mengherankan apabila para pendiri Republik sejak dini telah meletakkan dasar-dasar geopolitik Indonesia yaitu melalui ikrar Soempah Pemoeda, dimana amanatnya adalah: Satoe Noesa, yang berarti keutuhan ruang nusantara; Satoe Bangsa, yang merupakan landasan kebangsaan Indonesia; Satoe Bahasa, yang merupakan faktor pemersatu seluruh ruang nusantara bersama isinya.
Kebangsaan Indonesia sebenarnya terdiri dari 3 (tiga) unsur geopolitik yaitu:
1.    Rasa Kebangsaan
2.    Paham Kebangsaan
3.    Semangat Kebangsaan
Ketiga-tiganya menyatu secara utuh menjadi jiwa bangsa Indonesia dan sekaligus pendorong tercapainya cita-cita Proklamasi.  Rasa kebangsaan adalah sublimasi dari Soempah Pemoeda dan menyatukan tekad menjadi bangsa yang kuat, dihormati dan disegani diantara bangsa-bangsa di dunia ini.  Dalam kaitan dengan status bangsa yang demikian itulah Presiden Soekarno secara konsisten menggembleng rasa kebangsaan kita agar seluruh bangsa ini terbebas dari rasa rendah diri.  Hasilnya, kita seluruh bangsa Indonesia bangga menjadi warga bangsa walaupun secara ekonomis sangat lemah.  Rasa kebangsaan merupakan perekat persatuan dan kesatuan, baik dalam makna spirit maupun geografi, sehingga secara operasional dapat membantu meniadakan kemungkinan munculnya frontier.  Semangat kebangsaan bukanlah monopoli dari warga bangsa yang pribumi saja akan tetapi dapat dan harus milik semuanya seluruh warga bangsa.

Di atas landasan rasa kebangsaan yang kokoh dapatlah dibangun Faham Kebangsaan yang merupakan pengertian yang mendalam tentang apa dan bagaimana  bangsa itu serta bagaimana mewujudkan masa depannya.  Ia merupakan intisari dari visi warga bangsa tentang kemana bangsa ini harus dibawa ke masa depan dalam suasana lingkungan yang semakin menantang.  Secara formal faham kebangsaan ini dapat dibina melalui proses pendidikan dan pengajaran dalam bentuk materi ajaran, misalnya Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Doktrin dan Strategi Pembangunan Nasional, Sejarah dan Budaya Bangsa, dan sebagainya.  Untuk itu para perancang materi pengajaran harus benar-benar memiliki visi dan pengetahuan tentang kebangsaan serta kaitannya dengan kepentingan geopolitik.
Pada akhirnya menjaga kelangsungan hidup bangsa akan terpulang pada Semangat Kebangsaan atau nasionalisme, merupakan produk akhir dari sinergi rasa kebangsaan dengan faham kebangsaan. Banyak pakar yang berpendapat bahwa konsepsi tentang rasa kebangsaan atau wawasan kebangsaan secara keseluruhan sudah usang dan ketinggalan zaman.  Kemungkinan besar hal itu perlu dipikirkan kembali, sebagai contoh lihatlah negara-negara dunia ketiga yang terkena sanksi embargo dari penguasa dunia yang bernama Dewan Keamanan PBB.  Nyatanya mereka tetap survive hingga sekarang tidak lain berkat wawasan kebangsaan yang mantap.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa geopolitik hanya akan efektif apabila dilandasi oleh wawasan kebangsaan yang mantap, karena tanpa itu ia tidak lebih hanya permainan politik semata, sebab wawasan kebangsaan akan membuat ikrar satoe bangsa terwujud dan bangsa yang satu itu dapat mewujudkan satoe noesa dengan berbekal landasan satoe bahasa.  Oleh karena adanya amanat yang demikain itulah maka Wawasan Nusantara secara ilmiah dirumuskan dalam bentuk konsepsi tentang Kesatuan yang meliputi:
1.    Kesatuan Politik,
2.    Kesatuan Ekonomi,
3.    Kesatuan Sosial Budaya, dan
4.    Kesatuan Hankam.
Keempatnya sesungguhnya merupakan jabaran dari Soempah Pemoeda.

Kesatuan Politik
Kesatuan politik disadari pentingnya dari adanya kebutuhan untuk mewujudkan pulau-pulau diwilayah nusantara menjadi satu entity yang utuh sebagai tanah air.  Ini berarti bahwa tidak ada lagi laut bebas diantara pulau-pulau tersebut, sehingga laut diantara pulau-pulau itu berubah wataknya dari pemisah menjadi pemersatu.  Tanah air nusantara.  Kesadaran tersebut diatas dipacu oleh pengalaman adanya intervensi asing berupa kapal laut maupun kapal terbang yang membantu pemberontakan pada tahun lima puluhan.  Pada tahun 1957 kesadaran demikian diwujudkan dalam bentuk Deklarasi Djuanda yang kemudian diangkut menjadi Perpu No. 4/1960.  Kesatuan geografi yang menjadi bagian dari kesatuan politik, sebagaimana dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djuanda itu dinamakan Azas Nusantara (ia merupakan bagian dari Wawasan Nusantara).

Azas Nusantara lahir karena secara langsung adanya kebutuhan rasa aman dan keamanan bangsa dan negara, sehingga pemerintah dapat mengatur seluruh tanah air yang satu dan utuh.  Sesuai dengan Doktrin TNI bahwa ancaman terhadap satu pulau (atau sejengkal tanah) dianggap sebagai ancaman terhadap seluruh negara.  Azas nusantara merupakan konsepsi ruang bangsa Indonesia yang sangat unik, baik ditinjau dari pemikiran Ratzel maupun Mahan.  Dengan keyakinan bahwa laut nusantara merupakan pemersatu ruang negara maka sesungguhnya sejak Deklarasi Djuanda secara psikologi bangsa kita menganggap ruang negaranya merupakan satu “benua”.
Dengan telah dikukuhnya negara Indonesia oleh Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai Archipelagic State maka semakin mantaplah gambaran psikologis tadi.  Archipelagic State merupakan hal baru dalam khasanah hukum international positif sehingga bagi warga dunia lainnya masih diperlukan adaptasi untuk menghadapi realitas baru ini, terutama sekali  bagi para stake holders.
Pemerintah harus mampu menegakkan kekuasaannya disamping kewajibannya terhadap rakyat maupun terhadap masyarakat international; untuk itu diperlukan hukum yang satu dalam rumusan, dalam niat, dalam interprestasi, dalam pelaksanaannya serta dalam enforcementnya.

Diseluruh wilayah negara hanya berlaku satu hukum nasional dengan niat untuk diabadikan kepada kepentingan bangsa dan negara. Bahwa ada daerah khusus, daerah otonomi khusus, atau daerah otonomi diperluas hanyalah merupakan nuansa dalam administrasi pemerintahan.  Adanya satu hukum nasional dengan satu interprestasi resmi merupakan satu keharusan bagi terwujudnya respek kepada pemerintah dan negara tidak hanya dari rakyatnya sendiri akan tetapi juga dari masyarakat international.  Terjadinya kekisruhan dalam perundang-undangan yang ditandai oleh saling bertabrakannya berbagai undang-undang yang dirancang oleh tiap Departemen Teknis menunjukkan bahwa masalah kesatuan masih perlu ditata kembali.  Juga semakin populernya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara beberapa Menteri menunjukkan kurangnya wibawa seorang Menteri dalam mengatur kegiatan masyarakat.  Dalam keadaan begini, soal good governance perlu dicermati agar wibawa pemerintah di dalam dan di luar negeri terjaga.
Setelah Timor Timur diizinkan untuk melaksanakan referendum maka warga Aceh menuntut yang sama, dan ada kemungkinan disusul yang lainnya lagi.  Gejala demikian dapat dilihat dari segi tatanegara dan menyebutnya sebagai gejala dis-integrasi atau dilihat dari segi politik sebagai gejala mencairnya kesatuan politik.  Dalam masyarakat plural dan heterogen,  integrasi dan atau kesatuan politik hanya dapat dipertahankan oleh pemerintah yang berwibawa dan pimpinan nasional yang kuat kepemimpinannya.  Lepasnya Timor Timur dari Indonesia merupakan bukti bahwa menangkal terjadinya dis-integrasi juga memerlukan pengertian tentang konsepsi ruang, yaitu, bahwa manakala kesatuan politik tidak dapat dipertahankan maka serta merta muncullah frontier.  Karena itu kesatuan politik (dan ruang) adalah mutlak untuk menanggulangi dis-integrasi bangsa dan negara.

Kesatuan Ekonomi

Telah diuraikan terdahulu bahwa kegiatan ekonomi memerlukan ruang gerak; dan ini dapat disediakan melalui proses demokratisasi.  Akan tetapi demokrasi tidaklah berarti berbuat sesuai aturannya sendiri-sendiri akan tetapi perlu taat pada koridor yang telah disepakati bersama, artinya sistem perekonomian nasional haruslah seiring dengan sistem politik nasional.  Jika sistem politik menganut azas desentralisasi, maka segala perijinan pun harus didesentralisir.  Jika pendapatan dari kekayaan alam dibagi secara adil antara pusat dan daerah maka kewenangan untuk memberikan dan menentukan area konsesi eksplorasi maka juga pemerintah daerah diberikan peranan secara proporsional.  Rasa ketidakberdayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat merupakan benih awal dis-integrasi.
Setelah kegiatan ekonomi diberikan ruang gerak yang cukup maka perlu dijaga kesatuannya diseluruh wilayah negara, antara lain, berlakunya satu mata uang tunggal, yaitu rupiah.  Pada saat krisis ekonomi memuncak dan nilai tukar rupiah sangat labil, maka mencairlah kesatuan ekonomi karena untuk sementara para pelaku ekonomi bertransaksi dengan dollar AS.  Demikian juga sampai dengan tahun enam puluhan di Riau diberlakukan rupiah khusus yang dinilai tukarnya dipatok dengan dollar Singapura sebagai akibat derasnya perdagangan lintas batas dan kurangnya kegiatan ekonomi dengan Pusat.

Kesatuan ekonomi juga bermakna kesatuan tafsir ke arah mana perekonomian nasional diperuntukkan.  Jawabnya adalah untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi rakyat sesuai amanat UUD ‘45.  Seandainya pemanfaatan sumber dengan alam hanya dinikmati oleh para konglomerat saja maka hilanglah kesatuan tadi, dan akibatnya seperti yang kita saksikan bersama.  Apabila cita-cita para pendiri Republik adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur atau masyarakat makmur yang berkeadilan, maka kesatuan ekonomi harus diwujudkan dan dipertahankan.
Bagi daerah perbatasan yang terpencil dan sistem sirkulasi nasional sangat minim, kadang-kadang kesatuan ekonomi tidak terasakan.  Mereka lebih terjangkau oleh kesatun ekonomi dari sistem negara tetangga; yang apabila didiamkan saja (banyak daerah yang mengalami hal itu) maka bisa menumbuhkan frontier.  Bagi rakyat kecil, khusus di daerah perbatasan dan daerah terpencil, kesatuan ekonomi mungkin sekali lebih bermakna dibandingkan dengan kesatuan politik (dalam artian sistem politik).  Karena itu bagi negara seperti Indonesia ini, yang konfigurasi geografinya amat menantang perencanaan pembangunan harus diorientasikan pada prinsip geopolitik bangsa Wawasan Nusantara.
Datangnya globalisasi memang merupakan tantangan bagi azas kesatuan ekonomi, karena banyak hal-hal yang dahulu bisa diputuskan oleh pemerintah maka sekarang ini harus diserahkan pada kekuatan pasar global.  Pemerintah memang tetap berdaulat atas mata uang rupiah akan tetapi terhadap nilai tukarnya tidak lagi.  Tiap pemerintahan yang berusaha menetapkan nilai tukar mata uangnya akan mendapat tekanan pasar yang luar biasa.  Demikian juga munculnya lembaga-lembaga keuangan internasional yang seakan-akan merupakan satu entitas yang berdaulat juga menjadi tantangan tersendiri terhadap kedaulatan dan kewibawaan negara.  Padahal untuk menegakkan kewibawaan perlu kedaulatan dan sebaliknya.



Kesatuan Sosial Budaya

Bangsa Indonesia sesungguhnya mewujud atas dasar kesepakatan bukan atas dasar sejarah atau geografi.  Dalam BPUPKI terjadi perdebatan antara para tokoh pendiri Republik ini tentang apa itu bangsa Indonesia dan apa itu wilayah negara Indonesia.  Ini adalah salah satu bukti bahwa bangsa dan bahkan negara Indonesia mewujud atas dasar kesepakatan.  Setelah itu terjadi berbagai kesepakatan lain yang mengikutinya, misalnya saja tentang bentuk negara kesatuan bukan federasi.  Serangkaian kesepakatan para pendiri Republik itulah yang seyogyanya perlu dijaga dan dijadikan commitment bersama seluruh bangsa, karena semua kesepakatan yang telah dibuat itu merupakan bingkai dari jatidiri bangsa, yang apabila diingkari bagian-bagiannya maka mencairlah jatidiri itu.
Ada sementara pakar yang ahli dalam bidangnya menyarankan bahwa apa yang ada itu, termasuk Pancasila, jangan dikeramatkan alias dapat diubah atau ditinggalkan sama sekali.  Sebenarnya kalau akan bereksperimen sudah barang tentu tidak ada yang melarang asalkan bukan pada tingkat bangsa dan negara.   Contoh eksperimen tingkat negara yang berbahaya adalah referendum di Timor Timur yang tidak menyelesaikan masalah akan tetapi justru menciptakan masalah yang baru yang lebih kompleks.
Kesatuan sosial budaya sesungguhnya merupakan sublimasi dari rasa, faham dan semangat kebangsaan.  Tanpa memandang suku, ras dan agama serta asal keturunan, perasaan satu dimungkinkan untuk dibentuk asal sama-sama mengacu pada wawasan kebangsaan Indonesia sebagaimana dicontohkan oleh Soempah Pemoeda.

Pelestarian serta pengembangan budaya daerah, ciri-ciri asli daerah, memang amat diperlukan dalam rangka pengakaran penduduk setempat pada nilai-nilai budayanya; akan tetapi hal itu tidaklah seharusnya mendorong munculnya sentimen ke daerah sempit.  Nilai budaya daerah memang harus dilestarikan, sebab tidak ada yang dinamakan budaya nasional, dan pelestarian itu justru dimaksudkan sebagai bagian dari pemupukan identitas nasional.  Sejarah umat manusia telah memberikan berbagai contoh surutnya kebesaran satu bangsa atau bahkan musnah satu suku bangsa di zaman dahulu; dan proses itu selalu didahului oleh kemorosotan budayanya karena tidak ada upaya pelestarian.  Pada zaman modern ini terjadi pula hal yang hampir serupa yaitu musnahnya negara Yugoslavia seperti yang kita kenal dahulu.  “Bangsa” Yugoslavia adalah hasil kesepakatan diantara para pendirinya.  Beda dengan Indonesia adalah bahwa disana tidak ada satu bahasa melainkan 4 (empat) bahasa resmi, sehingga rasa satu berlangsung hanya selama dapat  bersandar pada Tito.
Pertentangan agama juga secara potensial menghalangi terjadinya kesatuan sosial budaya walau kedua belah pihak berada dalam satu suku atau bangsa, misalnya apa yang terjadi di Irlandia Utara, Bosnia, Kosovo dan sebagainya.  Karena itu amat penting apabila pengajaran agama disekolah-sekolah formal dan non-formal perlu diberikan masukan tentang kebangsaan dan juga sebaliknya. 
Mengingat agama memberikan landasan kekuatan iman dan moral pada setiap individu masyarakat bangsa maka niscaya hal tersebut akan berujung pada pembentukan ketahanan pribadi masing-masing warga, dan hal inilah yang amat bermanfaat dalam pembinaan kesatuan sosial budaya.

Kesatuan sosial budaya dikaitkan dengan pembentukan ketahanan pribadi merupakan penangkalan terhadap kemungkinan terjadinya frontier.  Hal ini perlu diwaspadai karena setiap budaya mempunyai ciri atau kemampuan untuk men-subversi budaya lain secara halus dan tak terasa terjadinya.  Hanya kesatuan dan kekuatan budayalah yang dapat menangkalnya, dan itu berarti harus dijaga secara terus menerus agar proses pewarisan berlangsung.

Kesatuan Hankam
Makna utama dari kesatuan Hankam adalah bahwa masalah bidang Hankam, khususnya keamanan dan pembelaan negara adalah tanggung jawab bersama.  Dengan perkataan lain kesatuan Hankam adalah perwujudan dari demokratisasi di bidang Hankam.  Sebaliknya, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan jaminan rasa aman dan keamanan dari pemerintah agar kewajibannya secara rela dipenuhi.  Atas dasar itulah sistem Hankamrata.  Ia memiliki tiga ciri utama yaitu:
(a)   orientasinya pada rakyat, karena memang diperuntukkan terciptanya rasa aman dan            keamanan rakyat;
(b)   pelibatannya secara semesta, yang maknanya adalah bahwa setiap warga dan setiap           fasilitas dapat dilibatkan di dalam upaya Hankam; dan
(c)   digelarnya diwilyah nusantara secara kewilayahan, yang maknanya tiap unit wilayah             harus diupayakan agar dapat menggalang ketahanan masing-masing.

Keuletan dari sistem ditentukan, antara lain, oleh tersedianya dukungan logistik yang bersumber dari rakyat/wilayah.  Karena pemanfaatan setiap fasilitas perlu dirancang secara dwi-guna, yaitu penggunaan militer dan umum/non-militer.  Tiap pembangunan jalan bebas hambatan harus menyediakan satu bagian dari penggalannya untuk digunakan sebagai landasan darurat pesawat jenis tertentu yang dimiliki TNI AU.  Demikian juga setiap fasilitas TNI harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.  Prinsip dwi guna ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.  Prinsip dwi guna ini dapat membuat sistem Hankam, khususnya logistik, menjadi lebih ulet.   Azas dwi guna harus selalu melandasi proses pembangunan agar kesatuan Hankam bisa semakin nampak nyata.
Ketangguhan dari sistem Hankam sesungguhnya terletak pada dukungan seluruh rakyat yang berupa keterlibatannya atas dasar kesadaran bela negara.  Jika hal itu tidak terwujud maka wibawa dari sistem Hankam akan sirna dan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.  Kewibawaan pemerintahpun dapat terpengaruhi oleh karenanya.
Secara geopolitik kesatuan Hankam bermakna bahwa di dalam negeri hanya ada TNI dan Polri sebagai satuan pengamanan bersenjata; yang berarti tidak diperbolehkan ada satuan bersenjata diluar itu (seperti Laskar diawal kemerdekaan).  Karena itulah maka pemilikan senjata api dilarang terkecuali mendapat ijin dari Polri untuk digunakan bagi kepentingan khusus.  Pegawai pemerintah dengan tugas khusus juga dipersenjatai sebagai sarana self defense mengingat bidang tugasnya yang membawa konsekuensi keamanan bagi dirinya.
BAB V
GEOSTRATEGI INDONESIA


Ditempat awalnya geostrategi diartikan sebagai geopolitik untuk kepentingan militer atau perang.  Di Indonesia geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional.  Karena tujuan itulah maka ia menjadi doktrin pembangunan dan diberi nama Ketahanan Nasional.
Mengingat geostrategi Indonesia memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, lebih aman, dan sebagainya, maka ia menjadi amat berbeda wajahnya dengan yang digagaskan oleh Haushofer, Ratzel, Kjellen dan sebagainya.

Geostrategi Indonesia berawal dari kesadaran bahwa bangsa dan negara ini mengandung sekian banyak anasir-anasir pemecah belah yang setiap saat dapat meledak dan mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa.  Dalam era kepemimpinan Habibie dapat disaksikan dengan jelas bagaimana hal itu terjadi beserta akibatnya.  Tidak hanya itu saja, tatkala bangsa kita lemah karena sedang berada dalam suasana tercabik-cabik maka serentak pulalah harga diri dan kehormatan dengan mudah menjadi bahan tertawaan di forum internasional.  Disitulah ketidakberdayaan kita menjadi tontonan masyarakat internasional, yang sekaligus, apabila kita sekalian sadar, seharusnya menjadi pelajaran berharga.
Apabila dikehendaki agar hal itu tidak akan terulang lagi, maka jangan sekali-kali memberi peluang pada anasir-anasir pemecah belah untuk berkesempatan mencabik-cabik persatuan dan kesatuan nasional.  Sentimen SARA yang membabi buta harus ditiadakan, yang mayoritas harus berlapang dada sedangkan minoritas haruslah bersikap proporsional tanpa harus mengurut dada.  Sekali lagi terbukti bahwa pemimpin yang kuat dan disegani serta mengenal betul watak dari bangsa Indonesia amatlah diperlukan.  Dilain pihak masyarakat perlu menjadi arif serta pandai menahan diri dalam menghadapi provokasi maupun rongrongan/iming-iming melalu money politics.  Atas dasar adanya ancaman yang laten, terutama dalam bentuk SARA, maka geostrategi Indonesia sebagai doktrin pembangunan mengandung metode pembentukan keuletan dan pembentukan ketangguhan bangsa dan negara.  Kedua kualita yang harus dibangun dan dimanfaatkan secara konsisten itu tidaklah hanya ditujukan kepada individu warga bangsa akan tetapi juga kepada sistem, lembaga dan lingkungan.

Masyarakat bangsa berikut segala prasarananya harus terus dibina keuletannya agar mampu memperlihatkan stamina dalam penangkalan terhadap anasir-anasir pemecah belah bangsa dan negara.  Dapat diantisipasikan bahwa hanya anasir-anasir tersebut bersifat laten atau hadir sepanjang masa, maka aspek atau kualita keuletan haruslah dikedepankan.  Pembinaannyapun perlu berlanjut agar setiap generasi yang muncul faham akan pentingnya kedua kualita tersebut.  Kita dapat saksikan bersama bahwa tiap generasi baru merupakan lahan yang subur bagi upaya-upaya yang tidak sejalan dengan visi kebangsaan, dan ini tidak hanya terjadi di Indoensia saja.  Kemajuan yang bersifat kebendaan, apalagi yang datang dari luar, saat ini lebih memiliki daya tarik terhadap generasi muda dibandingkan dengan hal-hal yang sifatnya falsafah dan konsepsional.
Dilain pihak masyarakat harus dibina ketangguhan/kekuatannya agar secara aktif serta efektif mampu menghadapi bahaya/ancaman yang sifatnya laten tadi.  Setidak-tidaknya secara bergotong-royong dalam lingkungannya masing-masing mampu mengcontain ancaman/bahaya laten itu.  Ketangguhan/kekuatan bisa, antara lain, berupa keberanian dari massa masyarakat menghadapi apa saja yang mereka anggap dapat berpotensi sebagai anasir pemecah belah bangsa.  Ini sudah barang tentu memerlukan kebersamaan dan kekompakan agar lebih efektif sebagai kekuatan penangkalan.

Integrasi bangsa adalah pemaduan berbagai unsur kekuatan bangsa ke dalam satu jiwa kebangsaan dengan aspirasi berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan ketentuan konstitusi.  Proses integrasi bangsa adalah unik bagi tiap masyarakat bangsa yang sangat tergantung pada sejarah serta ciri budayanya.  Bagi masyarakat bangsa yang majemuk tetapi homogen, seperti Amerika, proses integrasi dilaksanakan dengan metode melting pot.  Mengapa demikian, karena pada masyarakat Amerika tidak ada satupun kelompok masyarakat yang “berhak” mengklaim satu wilayahpun sebagai tempat tinggal nenek moyang mereka, terkecuali suku Indian, karena hampir semuanya berasal dari keturunan imigran.  Tidaklah mengherankan apabila sebagai akibat tidak adanya ikatan historis maupun psikologis kepada wilayah maka sentimen “kedaerahan” atau “kewilayahan” tidak terjadi.  Hal yang menguntungkan ini membuat setiap warga negara Amerika, apapun juga asal keturunannya dapat ditempa menjadi satu dalam satu kancah apapun dan dimanapun.  Memang seorang Gubernur satu negara bagian harus dipilih diantara warga negara bagian itu akan tetap tidak harus dipilih diantara mereka yang dilahirkan dinegara bagian yang bersangkutan.  Disini sama sekali telah ada sentimen kedaerahan tersangkut.
Lain halnya dengan Indonesia yang masyarakatnya majemuk tetapi heterogen, metode melting pot tidak dapat dilakukan.  Tiap suku memiliki kaitan historis dan psikologis dengan daerah tempat tinggal nenek moyangnya.  Daerah pulau Bali seakan-akan menjadi “milik” orang Bali dan bukan “milik” warga pulau Bali karena itu hanya orang Bali saja yang dapat dicalonkan menjadi Gubernur Bali.  Logika lanjutannya dalah bahwa hanya orang Bali saja yang bisa dan mampu memahami budaya, adat istiadat maupun agama di daerah itu.  Metode melting pot kadang-kadang juga tidak dapat diterapkan hanya pada tataran anatar propinsi saja, akan tetapi kadang-kadang antara Kabupaten di dalam satu propinsi juga sukar.

Sangat boleh jadi ini adalah warisan zaman penjajahan dahulu yang kita sekalian alpa menanganinya.  Pada zaman Belanda tapak kultur, satu suku bangsa dijadikan propinsi, sedangkan tapak sub kultur dijadikan karesidenan.  Demikian politik devide et impera diterapkan menjadi geopolitik kolonial untuk menciptakan sentimen kedaerahan dan apabila memungkinkan didorong menjadi gesekan antar masyarakat pada wilayah sub kultur atau kultur.  Sayangnya geopolitik kolonial ini diwarisi, diteruskan dan malah diperberat lagi, misalnya Propinsi Sunda Kecil dimekarkan lagi Propinsi NTT dan NTB, kemudian dimekarkan lagi menjadi NTT, NTB dan Bali.  Kini Maluku menjadi dua propinsi di Irian Jaya menjadi tiga propinsi; dan apalagi dikemudian hari.  Alasan yang digunakan adalah efisiensi manajerial dikaitkan dengan luas wilayah.  Disini jelas nampak bahwa aspek geopolitik tidak diperhatikan, oleh karena itu pemekaran wilayah administratif pemerintahan akan sekaligus merupakan empat penyamaian  bibit pertentangan sosial.
Kalau pendekatan melting pot tidak dapat diterapkan maka selayaknyalah kita kembali pada ide kesatuan yang diletakkan oleh para pendiri Republik ini, yaitu pendekatan kekeluargaan yang disublimasikan menjadi azas kekeluargaan dan bahkan dalam negara kekeluargaan.  Inilah sesungguhnya merupakan turunan (derivative) dari harmoni/keseimbangan.
Didalam satu keluarga maka kepentingan keluarga  harus mendahului atau didahulukan daripada kepentingan anggota keluarga sebagai individu.  Kepentingan nasional harus didahulukan dari kepentingan propinsi; dan pada gilirannya kepentingannya propinsi didahulukan ketimbang kepentingan Kabupaten.  Demikian seterusnya secara berjenjang yang pada ujungnya terbawah berupa kepentingan individu yang harus disubkoordinasikan pada kepentingan umum.  Itulah idealnya.

Dalam masyarakat heterogen dan majemuk yang berazaskan kekeluargaan, kualita keuletan diwujudkan dalam bentuk kait mengait secara integratif (bukan secara agregratif) menjadi jaringan kepentingan yang hierarkhis dan berjenjang.  Dengan demikian mengupayakan terwujudnya jaringan integratif (dalam semangat gotong-royong) secara berjenjang dan berhierarkhi berskala nasional adalah geostrategi Indonesia untuk mewujudkan dan sekaligus mempertahankan integrasi bangsa.  Sedangkan kualita ketangguhan/kekuatan diwujudkan melalui perkuatan dari tiap entity atau pelaku integrasi bangsa.
Hal itu diwujudkan melalui pendekatan kekuasaan (dan distribusi kekuasaan) yang terkandung dalam geopolitik, yaitu yang berupa desentralisasi dan dikonsentrasi secara penuh dan konsekuen.  Bilamana perkuatan ini dilaksanakan secara bersungguh-sungguh dan konsisten, ada kemungkinan tidak perlu terburu-buru mengadakan pemekaran wilayah administratif.
Dalam era globalisasi ini muncullah tantangan baru yang lebih “soft” atau “canggih” yang berupa dengungan ilmiah bahwa negara bangsa atau nation state seperti Indonesia sudah tidak memadai lagi, dan harus diganti dengan bentuk lain, misalnya berupa negara suku (ethnic state), negara kepentingan (corporate state) dan negara agama (religious state), dan sebagainya.
Dalam alur pikir demikian itu, pemisahan Timor Timur dari Indonesia adalah normal dan bukan malapetaka karena adanya kepentingan yang berbeda; demikian juga seandainya terjadi pemisahan lainnya dimasa mendatang.  Satu pertanyaan yang perlu dipikirkan jawabannya adalah: “Apakah masuknya alur pikir diatas ke Indonesia sekadar merupakan konsekuensi globalisasi ataukah merupakan subversi yang terencana global?”

Geostrategi Indonesia adalah metode yang harus digunakan dalam pencarian jawaban atas pertanyaan diatas, sebab, bentuk-bentuk negara sebagai alternatif negara-bangsa mempunyai konsekuensi ruang, kekuasaan maupun budaya yang berbeda.
Apapun jawabannya, berbagai bentuk negara yang tidak sejalan dengan kesepakatan para pendiri Republik merupakan pengingkaran terhadap commitment bersama yang sekaligus menjadi ciri jatidiri bangsa.  Disitulah diperlukan keuletan bangsa.

Disintegrasi Bangsa
Secara harfiah disintegrasi bangsa bermakna hilangnya kaitan integratif antar unsur-unsur kekuatan bangsa, sehingga hubungan menjadi longgar dan pada gilirannya azas kekeluargaan ditinggalkan.   Selama periode antara menjelang Pemilu 1999 hingga selesainya SU MPR merupakan periode di dalam mana para elite politik mendemonstrasikan secara vulgar cara-cara menyulut dis-integrasi bangsa.  Terlalu salahkah kalau pengikutnya masing-masing menyanyikan irama serupa?
Bila dilihat dari segi geopolitik dan geostrategi maka anasir dis-integrasi dapat dibedakan antara anasir luar dan dalam negeri.

1.    Anasir Luar
Sejak sirnanya Uni Soviet, Barat muncul sebagai pemenang ideologi dan sekaligus merasa sebagai pemenang “budaya”.  Dalam suasana ephoria semacam itu muncullah keyakinan dalam masyarakat Barat bahwa nilai-nilai yang mereka anut adalah superior dan harus dipaksakan ke seluruh jagat raya dengan rumusan bahwa sistem nilai yang mereka anut memiliki kebenaran dan karenanya juga validitas universal.  Sebagai contoh salah satu tujuan strategi Amerika Serikat di kawasan Asia Pacific adalah mendorong dan mendukung proses demokratisasi (tentu saja demokratisasi sesuai dengan yang berlaku di sana).  Ini adalah bagian dari dokumen Pentagon yang logikanya hanya berwarna militer.  Sudah barang tentu tujuan itu dapat dijabarkan menjadi tindakan nyata dalam bentuk terbuka maupun tertutup (subversi) dengan menghalalkan segala cara, dan yang paling murah dan kecil resiko fisiknya adalah melalui uang.
Tindakan terbuka antara lain memberikan bantuan peningkatan kualitas SDM Indonesia, khususnya generasi muda, melalui penyediaan informasi secara luas dan terbuka, bantuan pendidikan di luar negeri, pertukaran siswa, tenaga professional, dan sebagainya.  Upaya terbuka ini dengan sangat mudah ditumpangi dengan muatan kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat, supremasi budaya Barat, dan sebagainya.  Bahkan pertukaran misi kebudayaanpun dapat dijadikan wahana yang baik untuk maksud tersebut; apalagi film atau sinetron.  Sedangkan tindakan tertutup, antara lain, bisa berupa pengadudombaan antar kekuatan dalam masyarakat, mempengaruhi pemilihan pejabat penting (apalagi jabatan Presiden), perumusan kebijaksanaan dan sebagainya.
Usaha merekapun mendapat dukungan berbagai peluang dalam melancarkan tindakan subversi, antara  lain, adanya bibit pertentangan yang multi dimensional di dalam negeri, adanya kebiasaan korupsi dan money politics, dan sebagainya, serta ditambah lagi dengan adanya kenyataan bahwa aparat intelegen serta TNI sedang terus dihujat sehingga tumpul sekali.

Pertanyaan lanjutannya adalah : “Apakah Indonesia akan selalu menjadi sasaran intervensi dan subversi asing?”  Jawabnya “ya”, karena beberapa hal:
a)    Secara geopolitik Indonesia “menduduki” Sea Lines of Communication (SLOC) atau alur pelayaran vital diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindie, sehingga Indonesia harus dibuat pro-Barat dan sekurang-kurangnya akomodatif terhadap kepentingan barat.  Terlebih lagi diantara 7 (tujuh) selat strategis dunia, 4 (empat) berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia.  Sudah barang tentu, menurut pandangan geopolitik Alfred Thayer Mahan Indonesia memiliki bargaining power yang kuat berupa choke-paints dalam pengendalian lalu lintas laut yang melewati SLOC.
b)    Dalam suasana kecemasan pihak Barat terhadap perkembangan Islam yang dashyat, mereka melihat Indonesia merupakan negara yang moderat.  Karena itu ada kepentingan menjaga Indonesia, agar tetap moderat dan bersahabat.  Untuk itu harus dilakukan berbagai bentuk subversi.
c)    Potensi Indonesia sebagai penjuru Asean (atau memiliki Power Position di Asia Tenggara), dengan luas wilayah ½ (setengah) dari seluruh wilayah Asia Tenggara.  “Memegang” Indonesia berarti “memegang” Asean dan ini merupakan aset politik yang luar biasa dalam rangka membendung pengaruh Cina yang oleh pihak Barat dipersepsikan sebagai ancaman masa depan.

Karena itulah kita sekalian tidak boleh naif, dengan mengganggap bahwa dalam pemilihan Presiden tidak akan intervensi luar.  Indonesia terlalu “berharga” untuk dibiarkan jatuh ke dalam lingkaran sphere of influence yang tidak/kurang bersahabat dengan Barat.

Strategi
Dalam menghadapi anasir-anasir luar perlu disusun satu geostrategi dengan memperhatikan adanya kenyataan bahwa dunia telah saling terkait satu sama lain dengan derajat transparansi yang semakin tinggi. Geostrategi itu juga dilandasi dengan kesadaran bahwa Ketahanan Nasional saja tidaklah cukup untuk menjamin rasa aman rakyat maupun kelangsungan pembangunan nasional, apabila tidak didukung oleh Ketahanan Regional. Atas dasar itu maka geostrategi Indonesia secara stereoskopis berbentuk sebagai satu Kerucut Ketahanan .
Kerucut Ketahanan pada dasarnya merupakan satu arsitektur kerjasama, yang pada bidang dasarnya adalah visualisasi kerjasama spatial sedangkan pada bidang vertikalnya adalah visualisasi dari kerjasama struktural yang terproyeksikan secara kawasan. Kerucut Ketahanan harus dibina secara bersama-sama agar manfaatnya dapat terwujud yaitu berupa “penyangga” atau “selubung” bagi Ketahanan Nasional kita. Arsitektur demikian ini adalah representasi dari kesadaran ruang yang harus terus dihidupkan agar dapat menjadi acuan visi politik luar negeri (termasuk politik perekonomian) dan politik pertahanan.


Ketahanan tingkat regional, dimana para unsur pelakunya merupakan negara-negara berdaulat hanya bisa terwujud apabila terdapat saling percaya, saling menghormati yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama se-erat-eratnya atas dasar manfaat bersama. Kebersamaan yang multi-dimensional ini meliputi bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan keamanan. Mengingat luasnya ruang yang ada maka arsitektur kerjasama diwujudkan secara tiga dimensional sebagai berikut :
a).   Secara spasial, ruang kepentingan dibagi menjadi Kawasan Strategis Utama,          Kawasan Strategis pertama, Kawasan Strategis kedua dan ketiga. Masing-masing                    kawasan strategis memiliki dampak yang berbeda terhadap Ketahanan Nasional kita.
Adalah Asean / Asia Tenggara (Kawasan A) yang kita anggap memiliki dampak  paling langsung seandainya terjadi apa-apa di dalam kawasan tersebut oleh   karenanya kepentingan kita amat vital untuk menciptakan kebersamaan dalam kawasan ini. Karena itu seyogyanyalah kawasan Asean atau proses Asean pada        umumnya dijadikan “corner stone“ dari politik Luar Negeri Indonesia. Demikianlah             seterusnya dengan kawasan-kawasan berikutnya yaitu B dan C yang memiliki tingkat            kesegeraan dari dampak yang timbul di masing-masing kawasan terhadap Indonesia.
b).   Secara fungsional / vertikal, ruang kepentingan dibagi menjadi ruang kerjasama yang           saling mendukung dengan ruang kerjasama sub-regional (misalnya Asean) dan pada       gilirannya juga harus saling mendukung dengan ruang kerjasama regional (misalnya                      APEC, ARF dsb-nya). Kita mengetahui bahwa tiap anggota Asean menjalin      kerjasama bilateral dengan banyak negara ataupun secara multilateral. Akan tetapi mengingat tiap anggota Asean mematuhi traktat Asean dan TAC, maka diharap atau        bahkan dapat diasumsikan bahwa berbagai kerjasama yang dilakukan tidak       merugikan Asean ; dan bahkan memperkokoh posisi Asean. Demikian juga pada          gilirannya tiap anggota Asean  juga menjadi anggota ARF maupun APEC, maka   diharapkan kedua forum dalam cakupan ruang yang berbeda luasnya itu dapat saling      menunjang dan menambah kredibilitas Asean.

Apabila pembentukan kerucut ketahanan merupakan geostrategi Indonesia didalam menangkal anasir-anasir luar, maka didalamnya harus dilandasi oleh saling percaya dan saling menghargai tadi. Untuk itu, Ketahanan Regional pada arsitektur kerucut pada dasarnya memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
a).   Ketahanan Nasional tiap negara di dalam kerucut perlu diupayakan se-optimal       mungkin, agar dapat memberikan kontribusi positif pada kawasannya. Asumsinya             adalah bahwa hanya dengan Ketahanan Nasional yang baik sajalah satu negara akan                  dapat  memberikan  peran  yang  bermakna pada kawasan. Sebaliknya, apabila             in-stabilitas politik dan ekonomi terus mengguncang satu negara mana mungkin        negara bersangkutan menyisakan waktu untuk menopang kepentingan kawasan.
b).   Komitmen terhadap asosiasi negara sekawasan haruslah utuh dan konsisten            (misalnya sesuai TAC) agar dengan demikian kepentingan bersama (misalnya saja                Asean)  tidak disubordinasikan pada kepentingan lainnya (misalnya saja kepentingan                  FPDA). Komitmen terhadap Asean akan menguat apabila organisasi ini dapat   memberikan manfaat bagi anggotanya ; setidak-tidaknya mampu memberikan            exposure internasional yang bergengsi. Sebaliknya apabila kemanfaatan rendah      (seperti SAARC) maka jangan diharapkan terwujud komitmen yang solid. Disini            nampak bahwa manakala komitmen bagus dari seluruh anggota asosiasi, maka   kawasan yang bersangkutan tidak akan kondusif bagi persemaian anasir-anasir                 negatif bagi tiap negara anggota.

c).   Kualitas interaksi antar anggota asosiasi yang komponen-komponennya adalah       tingkat kerjasama (dalam arti kualitasnya) dan kemauan untuk mengakomodasikan                        kepentingan negara anggota lainnya di dalam kebijaksanaan nasional. Terutama yang              terakhir ini, ia hanya dapat terwujud apabila sudah terjalin rasa saling percaya.   Sebagai contoh : kepentingan Singapura untuk menjamin keselamatan penerbangan          dari dan ke Singapura telah diakomodasikan oleh Indonesia dalam bentuk pemberian   delagasi atas sebagian FIR Indonesia. Selain saling percaya, kualitas interaksi juga        menunjukkan adanya komitmen yang kuat.
d).   Kemampuan adaptasi dari asosiasi terhadap fluktuasi maupun arus perkembangan lingkungan. Sesungguhnya hal ini merupakan indikator terhadap kualitas    kebersamaan yang telah terjalin.

2.    Anasir Dalam
Modernisasi disegala bidang ternyata telah memperlebar irisan pemilahan (social cleavage) ditengah-tengah masyarakat; sesuatu yang selalu menjadi kekhawatiran dan obsesi para pendiri Republik.  Mulai dari pemilihan bahasa nasional, yang bukan berasal dari bahasa daerah suku yang mayoritas dapat merupakan unsur integratif karena tidak lagi suku bangsa ini.  Kita harus selalu ingat dan waspada bahwa bangsa kita menegara adalah berkat kesepakatan, karena itu tidaklah tepat apabila demi kemajuan demokrasi (agar mendapatkan pujian dari luar negara) semua kesepakatan diabaikan.
Kerawanan yang melekat pada diri bangsa setiap saat dapat mengemuka menjadi unsur dis-integratif yang mematikan, mereka antara lain adalah:

1)    Ketimpangan pertumbuhan antara Indonesia bagian barat dengan pertumbuhan bagian timur; dan juga antara Jawa dengan luar Jawa.  Sesungguhnya hal ini bukan merupakan kesengajaan pemerintah (sejak zaman kolonial) akan tetapi dapat dipersepsikan secara keliru bahwa ada unsur kesengajaan dari pihak Pusat untuk menelantarkan daerah-daerah yang kurang maju.  Lebih buruk lagi, ketimpangan yang terjadi diinterprestasikan sebagai ketidakadilan pemerintah Pusat.  Bukankah  hal ini pernah memicu berbagai jenis pemberontakan bersenjata dimasa lalu?  Apa yang terjadi sekarang ini di Aceh, Maluku dan Irian Jaya adalah merupakan pengulangan dari yang pernah terjadi, atau dapat juga dikatakan bahwa Pusat tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalunya.  Padahal kalau dilihat secara jernih, faktor curah hujan yang lebih banyak, tanah yang lebih subur, tersedianya tenaga terampil yang cukup mendorong Indonesia bagian barat lebih mudah berkembang.  Sedangkan untuk masalah pemasaran, jumlah penduduk yang besar merupakan sesuatu hal yang mendorong kegiatan perekonomian yang lebih cepat dari di timur; belum lagi sistem sirkulasi yang baik untuk distribusi dalam negeri maupun untuk eksport.  Akan tetapi memang harus diakui bahwa kenyataan-kenyataan semacam ini akan selalu terbenam dibawah timbunan kemarahan terhadap pemerintah pusat apalagi kalau dicampuri oleh kehadiran para provokator seperti di Ambon dan tempat-tempat lainnya.  Rasa tentang adanya ketidakadilan (belum tentu seluruhnya benar) ditangan para petualang poitik dapat memicu konflik SARA yang memang merupakan social clearage bangsa kita.
2)    Mencairnya perekat kesatuan dan persatuan bangsa dibawah tekanan globalisasi dan modernisasi yang lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat kasat mata.

Kemajuan yang antara lain ditandai oleh GNP, Income per capita, produktivitas dalam ton/jam atau ton/luas tanah, dan sebagainya, tidaklah mudah untuk memompakan hal-hal yang sifatnya mental ideologis.  Terlebih lagi dengan tingkah laku para remaja yang sangat menggandrungi budaya global, maka masa depan wawasan kebangsaan sebagai perekat sosial kelihatannya tidak terlalu menggembirakan; apalagi kalau dikaitkan dengan adanya kenyataan bahwa lembaga  pendidikan hanya menyuguhkan pengajaran saja.  Keadaan semacam ini membuka peluang yang amat luas bagi kemerosotan kedaulatan bangsa didalam menghadapi tantangan mendatang yang antara lain berbentuk individualisme yang sangat diametral dengan azas kekeluargaan.  Tidaklah terlalu mengherankan bahwa rasa dilibas oleh logika dalam kaitannya dengan Pancasil, antara dengan mengatakan bahwa ideologi bukanlah merupakan salah satu syarat bagi berdirinya satu negara karena itu buat apa dipertahankan, apalagi dikeramatkan.  Itulah kira0kira argumentasi dari generasi mendatang yang hidup dalam dunia tanpa batas.
3)    Primordialisme sebagai strategi politik dengan tujuan untuk menekan lawan atau pemaksaan kehendak.  Ini adalah pemanfaatan secara licik kerawan bangsa yang amat mengkhawatirkan oleh kelompok politik yang tidak yakin bahwa tujuan politiknya dapat tercapai, apapun penyebabnya. 

Pada saat kampanye pemilu tiba atau pada saat menjelang dan selama sidang umum MPR maka terjadilah tontonan yang berupa pemanfaatan kelompok-kelompok primordial sebagai pressure group dengan berbagai caranya.  Ditingkat daerah terjadi hal yang sama pada saat pemilihan kepala daerah, terutama ditingkat satu.  Apabila kejadian semacam ini berlangsung lama atau dalam frekuensi yang semakin meninggi maka irisan pemilahan sosial dapat berubah menjadi jurang lebar yang menghalangi persatuan dan kesatuan bangsa.

Dengan memahami anasir-anasir dalam dan luar negeri seperti diuraikan diatas, maka hal yang paling jelek bagi Indonesia adalah apabila anasir dalam ditumpangi oleh anasir luar.  Ada semacam kecurigaan bahwa hal itu bisa terjadi setiap saat apabila kondisi didalam negeri diwarnai oleh konflik politik berkepanjangan, dan rule of law tidak berjalan.  Memahami itu semua maka diperlukan satu strategi pembinaan masyarakat.

Strategi
Untuk mewujudkan pembinaan keuletan dan ketangguhan bangsa didalam menghadapi tuntutan dan tantangan masa depan perlu disusun strategi sebagai berikut:

a.    Jalur Pembinaan
1)         Strategi pembinaan setiap individu, dimaksudkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berwawasan nasional, dilaksanakan dengan strategi 4 (empat) jalur, yaitu:
a)         Jalur pembinaan keluarga, ditujukan untuk menjangkau para pemuda dan remaja dalam menghayati norma-norma moralita bangsa didalam suasana lingkungan keluarga.

Upaya ini diharapkan agar sejak awal dapat menanamkan masalah kebangsaan, rasa kebangsaan serta kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
b)         Jalur pembinaan pendidikan, ditujukan untuk secara formal membina keuletan dan ketangguhan yang diselaraskan dengan tingkat serta perkembangan daya pikir serta pemikiran anak didik.
c)         Jalur pembinaan lingkungan kerja ditujukan untuk menjangkau lapisan masyarakat yang berada pada tingkatan umur kerja.  Dengan menggunakan pendekatan persuasif dan promotif terhadap pimpinan lingkungan kerja secara tepat diharapkan jalur ini akan paling efektif.  Disini terdapat kesempatan untuk menjangkau secara luas setiap kepala keluarga; sehingga keberhasilan pada jalur ini akan membantu jalur pembinaan keluarga.
d)         Jalur pembinaan lingkungan pergaulan, dimaksudkan untuk menjangkau lapisan masyarakat yang tidak terjangkau melalui ketiga jalur pembinaan lainnya.
2)         Strategi pembinaan masyarakat dimaksudkan untuk mengendalikan agar perkembangan masyarakat dan pergeserannya tidak menyimpang dari moralita bangsa serta kondusif bagi terlaksanakannya kebijaksanaan pokok.
Strategi pembinaan 2 (dua) jalur mencakup:

a)         Jalur pembinaan langsung, ditujukan untuk memperoleh hasil langsung secara lebih cepat dengan menggunakan/melalui perangkat organisasi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan yang ada.  Peranan pemerintah sangat aktif dan besar dalam rangka pencapaian hasil segera.  Metode yang digunakan antara lain berupa tatap muka, pemerataan, pengaturan, perijinan dan kewenangan-kewenangan lain yang dimiliki pemerintah.
b)         Jalur pembinaan tidak langsung, ditujukan untuk merangsang dan menumbuh-kembangkan kesadaran masyarakat.  Penumbuhan motivasi ini dilaksanakan melalui media massa, tokoh-tokoh pimpinan informasi, ormas serta orpol dan sebagainya.

3)         Strategi Pembinaan Kelembagaan
Pembinaan kelembgaan dimaksudkan untuk menciptakan kelancaran pembangunan nasional dan dengan demikian juga pemantapan dan peningkatan Ketahanan Nasional.
Keberhasilan pembangunan nasional hanya mungkin diwujudkan manakala lembaga-lembaga yang terlibat dalam pembangunan nasional yang terancam secara komprehensif integral.
Strategi pembinaan kelembagaan ditempuh melalui 2 (dua) jalur yaitu:

a)         Jalur pembinaan perangkat lembaga, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan setiap lembaga yang terlibat dalam proses pembangunan pada semua aspek berbangsa dan bernegara.
Termasuk didalamnya adalah pengembangan kelengkapan personil, keahlian personil, mekanisme kerja dan memantapkan koordinasi vertikal, horizontal dan diagonal.
Pemantapan peranan tiap lembaga juga mendapatkan prioritas pembinaannya agar terwujud semua mata rantai lembaga yang utuh.
b)         Jalur pembinaan kemampuan manajerial, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manajerial tiap pejabat pemerintah maupun swasta di dalam bidang pekerjaan masing-masing.
Khusus untuk sektor swasta pembinaan kemampuan manajerial ini  juga ditujukan untuk menumbuhkan kewiraswataan dikalangan masyarakat.
4)         Strategi Pembinaan Lingkungan
Pembinaan lingkungan dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap pembangunan nasional maupun terhadap kehidupan masyarakat.
Strategi pembinaan 2 (dua) jalur meliputi:
a)         Jalur pembinaan dampak positif dari lingkungan guna menciptakan dan memperbesar peluang-peluang yang bermanfaat bagi upaya pembangunan maupun bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat.

b)         Jalur penggalangan dampak negatif dari lingkungan untuk menekan akibat dari dampak negatif tersebut agar tetap berada dibawah ambang toleransi keamanan dan pengamanan.



No comments:

Post a Comment