BAB
I
PENDAHULUAN
A little knowledge that acts is
worth infinitely more than much knowledge that is idle
(Kahlil
Gibran)
Setiap
makhluk hidup, termasuk manusia, sejak awal sejarahnya telah menunjukkan secara
menyakinkan adanya kesadaran ruang (space counciousness), apakah itu ruang
sebagai tempat hidup keluarganya ataupun ruang sebagai tempat mencari makan dan
perburuan. Kesadaran tersebut selalu terkait langsung atau tidak langsung
pada kepentingan keamanan bagi diri dan keluarganya dari gangguan dan
rongrongan pihak lain. Hal ini juga terlihat dengan jelas pada kelompok
binatang yang selalu “menugasi” anggota keluarga yang tergolong kuat untuk
menjaga wilayah perburuannya. Dalam perkembangan selanjutnya ketika
kelompok manusia memasyarakat menjadi clan, suku atau bangsa maka kesadaran
ruang meningkat menjadi hubungan emosional antara ruang hidup tersebut dengan
suku, clan atau bangsa yang mendiami ruang tersebut. Kemudian dari itu,
tatkala masyarakat bangsa menegara maka kesadaran ruang mewujud menjadi
kesadaran akan kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara (boundary), dengan
seperangkat hukum dan aparat penjamin keamanan dan kedaulatan.
Berbagai
clan, suku atau bangsa dapat bersepakat untuk menegara dalam satu
negara bangsa (nation-state). Kesepakatan demikian perlu didukung oleh
satu commitment bersama diantara mereka yang bersepakat tidak
hanya untuk mendirikan satu negara bangsa yang plural saja akan tetapi juga untuk
menjaga kelangsungannya. Commitment tersebut, antara lain, meliputi
pandangan tentang diri dan lingkungannya yang berarti juga mengenai ruang
negara serta tentang jati diri bangsa dan negaranya. Keteguhan setiap
warga atau kelompok warganegara atau setiap anggota suku bangsa terhadap
commitment yang telah dibuat oleh para pendiri negara akan sangat menentukan
kelangsungan hidup negara bangsa yang bersangkutan. Keteguhan pada
commitment tersebut amat vital bagi eksistensi negara yang berciri majemuk dan
heterogen seperti Indonesia, dimana ciri heterogenitas itu ditandai oleh adanya
kaitan emosional dan historis antara suku bangsa dengan tanah adat atau tanah
tempat tinggal nenek moyangnya. Pada masyarakat bangsa yang plural dan
heterogen seperti itu sangat mudah muncul isu dan sentimen kedaerahan,
separatisme dan sejenisnya, apabila tidak ada pemimpin dengan kepemimpinan yang
kuat dan sanggup melaksanakan secara konsekuen dan berlanjut upaya nation and
character building. Sebaliknya pada masyarakat bangsa berciri majemuk
akan tetapi homogen, seperti di Amerika Serikat, tidak ada kaitan historis dan
emosional antara anggota masyarakat bangsa dengan wilayah tempat tinggal mereka
seperti halnya di Indonesia sistem “melting pot” bisa diterapkan. Sungguhpun
demikian mereka tetap melaksanakan nation and character building disebabkan
oleh adanya kenyataan bahwa generasi baru selalu muncul silih berganti, dan
tiap generasi diharapkan meneruskan commitment dari para pendiri negara.
Apapun
juga rumusan atau isi dari commitment yang ada dapatlah dipastikan akan terdiri
dari dua golongan/hal yaitu untuk menjaga integritas negara,
termasuk didalamnya masalah kedaulatan, serta menjaga jatidiri bangsanya,
apapun juga yang diartikan dengan jatidiri oleh masyarkat bangsanya.
Walaupun setiap bangsa memiliki ciri yang unik bagi jatidirinya, akan tetapi
unsur kesatuan bangsa selalu berada didalamnya untuk menghindarkan bangsa yang
bersangkutan dari terpecah belah. Dapatlah dipahami apabila di dalam
upaya nation and character building penghayatan atas pentingnya
memelihara/mengamankan integritas negara serta jatidiri bangsa merupakan bagian
yang paling utama. Dari sudut inilah Wawasan Nusantara, yang mengandung
message tentang berbagai kesatuan, dapat dimengerti serta perlu diwujudkan
mengingat bahwa ia merupakan rumusan verbal yang amat ringkas dari commitment
para pendiri negara.
Selain
ciri masyarakat bangsa yang majemuk dan heterogen, serta ketidaktaatan pada
commitment para pendiri negara dapat menjadi penyebab dis-integrasi bangsa dan
negara, demikian juga bentuk geografi negara juga dapat memberikan kontribusi
terjadinya insentif untuk dis-integrasi. Hal ini disebabkan pada bentuk
morfologi geografi tertentu bisa menyebabkan satu kelompok masyarakat
menjadi amat terpencil, dan keterpencilannya itulah menimbulkan yang membuka
peluang munculnya insentif untuk memisahkan diri dari negaranya, seperti
misalnya, suku Kurdi, suku Meo, suku Karen yang kesemuanya tinggal di daerah
pengunungan yang amat sulit dijangkau. Dalam kaitan dengan itu, bentuk
negara kepulauan juga berpotensi yang sama. Disini sekali lagi kita
dihadapkan dengan kenyataan bahwa pemahaman yang mendalam atas
kesatuan ruang negara berkaitan erat
dengan faktor keamanan dan bahkan eksistensi negara.
Rasa
keterpencilan sebagian masyarakat bangsa dari yang lain atau rasa tidak
diperhatikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah pada umumnya
disebabkan oleh ketiadaan sistem sirkulasi yang memadai dan
sesuai dengan kondisi alam setempat. Tanpa adanya sistem sirkulasi yang
memadai maka interaksi dengan anggota masyarakat lainnya atau interaksi dengan
petugas dan pejabat pemerintah sangat langka terjadi. Keadaan semacam ini
terjadi disepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Sarawak. Disepanjang
perbatasan tersebut masyarakat Dayak lebih mudah berinteraksi dengan anggota
masyarakat diseberang perbatasan sehingga terjalinlah rasa “kedekatan” terhadap
mereka dibandingkan dengan saudara-saudaranya di wilayah R.I. Apabila hal
semacam ini tidak segera diatasi maka lama kelamaan masyarakat Dayak
warganegara R.I akan lebih berpaling secara psikologis, sosiologis dan bahkan
mungkin juga politis kepada seberang perbatasan negara. Bila hal ini
terjadi maka seakan-akan batas negara (boundary) bergeser ke dalam wilayah
R.I., dan terjadilah batas imajiner yang berupa batas pengaruh asing terhadap
wilayah R.I. Batas imajiner tersebut dinamakan frontier.
Bila frontier tidak segera diatasi
maka ia dapat menjadi masalah politik antar negara manakala masyarakat setempat
ingin bergabung dengan negara tetangga.
Frontier
terjadi oleh berbagai sebab atau dorongan, misalnya saja dorongan politik,
ekonomi, atau sosial budaya. Oleh karena itu kesadaran akan kemungkinan
terjadinya frontier harus selalu dihidupkan, terutama bagi negara kita yang
memiliki konfigurasi geografis yang sangat menantang.
Kesadaran tersebut antara lain akan
dapat diwujudkan melalui program angkutan udara dan laut perintis, program
relokasi suku terasing, program pengembangan kawasan pertumbuhan ekonomi dengan
negara tetangga dan sebagainya. Kesemua program tersebut pada intinya
menciptakan kesejahteraan, jaminan rasa aman, dan menghilangkan rasa
“ketersampingan” atau terimajinalisasikan baik secara politik dan sosiologis.
Pada akhirnya pembinaan tata
kehidupan nasional memerlukan kesadaran akan ruang, yang untuk sementara ini
hingga tahun 2000, hal itu belum terasa di Indonesia.
Negara kita adalah negara maritim,
akan tetapi hampir seluruh kebijaksanaan pemerintah pusat dan daerah ataupun
kebijaksanaan yang sifatnya sektoral belum ada yang mencerminkan bahwa negara
kita adalah negara maritim, yang berarti kesadaran akan ruang dalam upaya
mengejar dan mempertahankan kepentingan nasional belum dilandasi oleh
pengertian ruang. Singkatnya geopolitik belum mendapat tempat di
Indonesia, setidak-tidaknya hingga tahun 2000.
Geo-strategi Dalam
Tatanan Pemikiran di Indonesia
Idea
atau ide dasar adalah awal mula satu tatanan pemikiran yang pada ujung paling
akhirnya berupa tindakan nyata. Dalam masyarakat yang menegara atas dasar
commitment para pendiri Republik ini, ide yang dijadikan acuan brsama adalah
terbentuknya masyarakat yang berazaskan kekeluargaan dengan atribut tata laku
sebagaimana berlaku pada umumnya diantara masyarakat timur. Paternalistik,
gotong royong, mendahulukan kepentingan bersama, adalah diantara atribut
lainnya yang menjadi ciri khas masyarakat timur tadi. Apabila selanjutnya
ide dasar harus dijadikan acuan masyarakat bangsa dalam bertatalaku, maka dapat
dikatakan bahwa ia telah berubah dari satu ide menjadi pandangan hidup yang
operasional; dan apabila pandangan hidup tadi diberikan kerangka ilmiah dan
dikodifikasikan secara jelas maka terbentuklah satu falsafah bangsa.
Kemudian dari itu, apabila falsafah bangsa dijadikan landasan negara maka ia
akan mewujud sebagai satu ideologi negara. Untuk Indonesia, pandangan
hidup berbangsa, falsafah bangsa, maupun ideologi negara semua diberi nama yang
sama, yaitu Pancasila. Bagi bangsa/negara lain tidaklah demikian halnya,
masing-masing mempunyai nama yang berbeda-beda sehingga mengurangi kerancuan.
Tidak
semua negara memiliki ideologi negara karena ia memang bukanlah salah satu
syarat untuk berdirinya satu negara. Akan tetapi bagi negara yang
memiliki ideologi, ia selalu menjadi acuan bagi seluruh sistem yang ada maupun
tata-laku masyarakatnya. Kalau disimak benar maka ideologi negara kita
bukanlah berupa satu uraian ilmiah yang panjang akan tetapi lebih merupakan
patok-patok yang membatasi koridor diantara mana dinamika masyarakat kita sangat
diharapkan berada diantaranya. Apabila dilihat dari segi itu maka dapat
juga ditafsirkan bahwa kelima sila tersebut lebih berupa sebagai uraian
cita-cita nasional daripada satu rangkuman pemikiran atau falsafah secara rinci
dan ilmiah.
Sebagai satu kumpulan cita-cita ia
harus dikejar dan diupayakan agar secara bertahap dapat diwujudkan.
Misalnya saja Sila Persatuan Indonesia, keadaan kita saat ini memang amat jauh
dari cita-cita itu, akan tetapi tidak berarti bahwa hal tersebut tidak dapat
diwujudkan dikemudian hari, entah kapan. Itulah cita-cita, yang
pencapaiannya merupakan satu never ending goal.
Dalam
rangka pencapaian cita-cita tersebut diatas kita sekalian seluruh bangsa
dihadapkan pada berbagai jenis kendala, pluralisme masyarakatnya, konfigurasi
geografis maupun keadaan dinamika lingkungan strategis yang dampaknya tidak
mungkin diabaikan. Oleh karena itu berbagai prasyarat harus dipenuhi agar
perjalanan pencapaian cita-cita itu terjamin. Prasyarat semacam itu
disebut geo-politik, yang bagi kita dirumuskan secara singkat dalam
bentuk Wawasan Nusantara. Pada intinya Wawasan Nusantara mengisyaratkan
perwujudan kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam sebagai satu
prasyarat seutuhnya. Makna sesungguhnya akan pentingnya inti sari
geo politik kita itu amat terasa pada saat menjelang maupun setelah berakhirnya
Orde Baru dimana seakan-akan segala bentuk kesatuan (dan juga persatuan)
ditenggelamkan dibawah emosi kesukuan, keagamaan maupun kepolitikan.
Bahkan seolah-olah negara kesatuan pun akan ditelan habis oleh emosi
tersebut. Adakah ramalan Huntington benar?
Ataukah kita lalai melaksanakan
nation and character building sehingga kefahaman tentang kebangsaan
dan negara bangsa dikalangan generasi muda sama sekali tidak ada
bekasnya. (kalaupun pernah membekas walaupun selembut apapun).
Ataukah sistem pendidikan kita telah
mencair, dan yang tinggal hanyalah sekadar sistem pengajaran saja (dan itupun
dalam kondisi yang memerlukan perhatian besar). Apapun juga penyebabnya
atas kejadian-kejadian saat itu, nyatanya bangsa dan negara kita telah terpuruk
dalam pergaulan antar bangsa dan terkesan tentang adanya kemerosotan etik
dan moral yang ditandai antara lain oleh saling membunuh sesama anak bangsa.
Keterpurukan ini menandakan bahwa
apabila prasyarat geo-politik tidak terpenuhi maka janganlah diharapkan
cita-cita proklamasi akan tercapai.
Apabila
kita telusuri lebih jauh lagi maka dapatlah difahami bahwa setelah prasyarat
dipenuhi maka diperlukan satu metode umum atau strategi guna mewujudkan cita-cita
diatas. Metode tersebut dinamakan geo-strategi, yaitu satu strategi dalam
memanfaatkan kondisi lingkungan didalam upaya mewujudkan tujuan politik
(cita-cita nasional). Sedangkan upayanya itu sendiri akan terwujud
sebagai program-program di dalam pembangunan nasional. Bagan berikut
menunjukan tatanan dan sekaligus tataran pemikiran yang ada mulai dari ide
tentang kekeluargaan dan kebersamaan hingga metode pelaksanaan pembangunan.
Geo-strategi
Indonesia dirumuskan dalam bentuk Ketahanan Nasional yang unsur-unsur utamanya
terdiri dari kualita keuletan dan kualita kekuatan/ketangguhan.
Keuletan sesungguhnya merupakan satu
kualita integratif yang menunjukan adanya kebersamaan diantara sesama komponen
yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan. Keuletan diperlukan dalam
menghadapi tantangan/tekanan dari luar yang harus dihadapi secara elastis
konsisten dan berlanjut. Tanpa adanya kualita keuletan maka jaringan
sosial masyarakat akan retak, atau bahkan putus, apabila dihadapkan pada tantangan/tekanan
yang berkepanjangan. memerlukan keuletan masyarakat agar tidak terjadi hal-hal
yang mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat karena masyarakat memiliki
“kelenturan” yang mampu meng-absorbir tekanan kesulitan ekonomi.
Memang,
keuletan masyarakat dapat diandaikan dalam bahasa mekanika seolah-olah sebagai
koefisien kelenturan pegas, yang sudah barang tentu memiliki ambang
batas, diatas mana tekanan dari luar tidak lagi dapat ditahan dan pegaspun akan
kehilangan kelenturannya dan patah. Sebaliknya, unsur
kekuatan/ketangguhan merupakan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dari
masyarakt bangsa ke arah tata kehidupan yang lebih baik dikemudian hari.
Semakin tinggi kualita/ketangguhan maka semakin besar pula tekanan yang dapat
ditahan dan dilawan tanpa adanya kualita ini masyarakat akan stagnan, dan
apabila hal ini terjadi maka lama kelamaan akan mundur dimakan waktu.
Kekuatan
atau ketangguhan untuk berkembang merupakan kualita kemampuan yang harus
memiliki setiap masyarakat bangsa, sebab kebutuhan dan kepentingan meningkat
setiap saat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk maupun tingkat
kesejahteraannya. Tiap generasi anak bangsa mengharapkan, dan ini
sangat wajar, bahwa kehidupannya dikemudian hari lebih baik dari generasi
diatasnya. Ini adalah sikap positif terhadap kemampuan bangsa secara
keseluruhan karena dengan demikian tiap generasi termotivasi secara positif
untuk mengembangkan dirinya sejalan dengan tuntutannya sendiri. Pemenuhan
kebutuhan itu merupakan bagian dari penciptaan rasa aman dan keamanan
(sekuriti) bangsa. Namun demikian dalam pencapaian cita-cita itu satu
masyarakat bangsa tidak berada dalam ruang hampa, melainkan berada
ditengah-tengah masyarakat kawasan (atau sub-kawasan) disekitarnya.
Karena itu pencapaian cita-cita harus didasarkan atas pertimbangan lingkungan,
apalagi dalam zaman global yang tanpa batas ini. Selain dari itu perlu
juga disadari bahwa peningkatan keamanan (sekuriti), dari sisi militer, untuk
pengamanan satu bangsa pada dasarnya dapat meningkatkan rasa tidak aman
(in-security feeling) dari bangsa sekitarnya sehingga kesadaran ruang amat
diperlukan.
Singkatnya dalam upaya pembangunan
nasional, geopolitik dan geostrategi harus dijadikan pedoman yang tidak boleh
sekali-kali dilupakan, tidak hanya oleh para perencana saja akan tetapi oleh
kita sekalian seluruh anak bangsa.
BAB
II
GEOGRAFI
POLITIK
Geo-politik pada dasarnya
merupakan cabang ilmu pengetahuan yang relatif baru, dimana pada awalnya
dicurigai sebagai satu “ilmu” yang memberikan pembenaran pada konsepsi
Liebensraum di era Hitler, sehingga menimbulkan semacam “kecurigaan” akan kemanfaatannya
secara ilmiah. Lepas dari hal itu, satu hal yang sudah pasti yaitu bahwa
para pakar dibidang ilmu politik berpendapat bahwa geografi politik merupakan
cabang ilmu pengetahuan yang melandasi lahirnya geo-politik.
Jika
politik diartikan sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan
(rights) dan tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan
politik (nasional), maka geografi politik berupaya mencari hubungan antara
konstelasi geografi dengan pendistribusian tersebut diatas. Hal ini
disebabkan karena bagaimanapun juga pendistribusian itu harus “ditebarkan” pada
hamparan geografi yang memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen
diseluruh wilayah negara. Inilah cirinya yang ditengarai sebagai sebab
mengapa efek dan efektivitas pendistribusian itu terhadap masyarakat juga
tidaklah homogen sifatnya, yang disebabkan oleh dampak dan intensitas
pendistribusian yang bervariasi diseluruh wilayah negara.
Karena
adanya perbedaan cara pandang terhadap “penebaran” yang dimaksud diatas serta
dampaknya terhadap masyarakat, maka terdapat perbedaan dalam cara
mendefinisikan geografi politik. Ada yang melihat dari sudut pandang
geografer sehingga geopolitik dianggap sebagai dampak geografi atas
proses politik. Sebaliknya ada yang melihat dari kaca mata ahli politik
sehingga mendefinisikan geografi politik sebagai kajian tentang interaksi
dinamis proses politik dengan morfologi negara, misalnya saja dalam
landreform. Sedangkan sebaliknya pengaruh morfologi negara atas dinamika
politik misalnya saja terlihat dalam pembagian pemerintahan daerah maupun dalam
penentuan daerah pemilihan pada setiap pemilu.
Pada hemat penulis, antara kedua
sudut pandang tadi ada kesamaannya yaitu mempelajari distribusi spasial
serta interaksi yang terjadi sepanjang jalur spasial tadi.
Sudah barang tentu pengertian jalur spesial telah mencakup aspek morfologi
negara alias konfigurasi geografi negara. Selanjutnya, apabila
proses politik dianggap sebagai proses interaksi, maka dapat dibayangkan bahwa
secara morfologis proses politik menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai
proses interaksi, maka dapatlah dibayangkan bahwa secara morfologis proses
politik menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai satu medan politik
(medan interaksi politik). Sehingga akhirnya dapat didefinisikan geografi
politik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi spasial berbagai
kekuatan atau kepentingan dalam medan politik nasional.
Tentang
interaksi spasial ini kita dapat melihat pada fenomena alam yang berupa medan
magnit bumi. Menurut ilmu fisika, medan magnit bumi secara plastis dapat
dibayangkan terdiri dari rumpun garis gaya magnit yang secara spasial
terdistribusi dari kutub utara magnit bumi menuju ke arah kutub selatan magnit
bumi. Dalam “perjalanan” sepanjang jalur spasial tiap garisnya
dipengaruhi benda-benda atau kandungan-kandungan mineral yang ada dipermukaan
atau dibawah permukaan bumi sehingga dampaknya merupakan terbeloknya jalur atau
menjadi lemahnya garis gaya magnit bumi. Dengan mempelajari “hambatan”
terhadap garis gaya magnit sepanjang jalur utara-selatan dapat diketahui adanya
kandungan mineral di darat atau adanya kapal selam dibawah permukaan
laut. Gejala demikian ini dinamakan anomali magnetik, yang dapat
dideteksi dengan menggunakan detektor khusus MAD.
Sungguhpun disadari bahwa analogi
medan politik dengan medan magnit tidak terlalu pas, akan tetapi ia merupakan
pijakan yang memadai dalam rangka pemahaman distribusi spasial dari kekuatan
(politik) maupun kekuatan medan magnit pada ruang negara.
Setelah
diperoleh gambaran tentang adanya interaksi antara medan politik dengan
morfologi negara maka para pemikir geo-politik berkesimpulan bahwa untuk
mencapai tujuan nasional (politik) haruslah diperhatikan kenyataan-kenyataan
geografis atau geo-morfologi negara agar dimungkinkan penyesuaian-penyesuaian
tertentu sehingga pencapaian itu optimal melalui strategi yang khas sesuai
dengan geo-morfologi yang ada. Strategi semacam itu disebut
geo-strategi. Dikalangan Asean ditengarai adanya perbedaan geo-strategi
antara negara-negara anggota yang berciri maritim (Indonesia, Malaysia,
Singapura, Filipina) dengan negara yang berciri kontinental. Hal ini
disebabkan oleh adanya perbedaan geopolitik maritim dengan geopolitik
kontinental. Dari pengalaman Asean ini dapatlah dimengerti bahwa
geopolitik mengalir dari geografi politik.
Pemikiran Kontinental
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama transportasi dan komunikasi, telah
mendorong munculnya kesadaran akan adanya keterkaitan antara geografi dan dinamika
politik dunia. Kesadaran tersebut ditangkap oleh Friedrich Ratzel dan
dirumuskan dalam bentuk Antropho-geografi yang pada intinya
mengulas sintesa antara antropologi, geografi dan politik. Tujuannya
adalah mempelajari manusia, masyarakat, negara dan dunia sebagai organisme
hidup. Demikian juga Ratzel secara berulang-ulang dalam karyanya
menekankan bahwa pada akhirnya antropho-geografi harus memusatkan pandangan dan
kajiannya pada sisi organisme-nya, dan inilah sesungguhnya awal dari bibit pemikiran
mengenai geopolitik.
Pengaruh
pemikiran organismik dari Ratzel terlihat pada pengembangan geografi politik,
dimana hubungan timbal-balik antara manusia dengan alam sekitarnya lebih
ditonjolkan. Ini berarti bahwa tidak hanya geo-morfologi dan iklim saja
yang mempengaruhi manusia akan tetapi juga jenis tanah, budaya setempat dan
luas tanah atau faktor ruang (Raumfactor). Tidaklah mengherankan apabila
dinamika manusia dan produktivitasnya juga dikaitkan dengan ketersediaan ruang
hidup atau Lebensraum. Hubungan inilah yang kemudian
dieksploitir oleh Haushofen bahwa peningkatan tuntutan hidup dan kebutuhan
pengembangan tata kehidupan memerlukan perluasan dari Lebensraum
yang sudah ada.
Lebih
jauh Karl Ritter dan Ratzel secara terpisah mengidentifikasikan bahwa tabiat,
ambisi dan bahkan budaya manusia dibentuk oleh alam sekitarnya serta
menyimpulkan adanya keterkaitan anatara iklim dan budaya. Itulah sebabnya
Ritter kemudian mengkaitkan Zona Iklim dunia dengan Zona
Budaya.
Penelitian lebih lanjut tentang kaitan
antara manusia dengan alam sekitarnya menuntun Ratzel pada kesimpulan bahwa
ruang atau Raum merupakan satu faktor penting dalam perjuangan manusia dalam
memenuhi kebutuhan. Atas dasar logika ini disimpulkan bahwa bangsa yang
memiliki kepadatan penduduk yang tinggi memiliki validitas klaim yang lebih
untuk mendapat ruang tambahan. Dipandang dari kondisi politik dunia saat
itu, kesimpulan Ratzel ini amat berbahaya, karena dapat dijadikan pendorong
bahkan legitimasi terhadap kolonialisme dan ekspansionisme. Lebih tajam
lagi adalah kesimpulannya bahwa luas wilayah satu negara merupakan indikator
terbaik dari kekuatan politiknya (political power).
Apabila
kesimpulan ini dikaitkan dengan rumusan Cline mengenai kekuatan nasional satu
bangsa bila dilihat/diamati dari luar, memang berbanding lurus, antara lain
dengan critical mass dari negara bersangkutan dimana critical mass itu sendiri
adalah gabungan dari critical mass penduduk serta critical mass ruang negara.
(Uraian lebih detail periksa buku Sunardi, R.M. “Teori Ketahanan
Nasional”, Lemhannas, 1999).
Menurut Cline, Australia tidak
memiliki critical mass yang besar sebab sebagian besar ruang negaranya tidak
produktif dan ditambah lagi penduduk hanya “kecil” (± 18 juta) walaupun
kualitasnya sangat tinggi dan maju. Demikian pula halnya dengan
Singapura. Kedua negara ini sudah barang tentu berbeda dengan negara
seperti RRC yang memiliki critical mass besar; dan oleh karena itu berpotensi
menjadi negara besar.
Setiap
bangsa yang menegara, menurut Ratzel, haruslah memiliki konsep ruang;
apabila tidak bangsa bersangkutan akan terdesak menjadi bangsa marginal dalam
perpolitikan global. Kesimpulan semacam ini memang terasa valid pada era
sebelum Perang Dunia ke II, dimana hampir tiap kawasan dunia, terutama di
Eropa, persaingan untuk mendapatkan Power Position utama tidak
jarang menimbulkan konflik terbuka. Sesudah perang dunia ke II, terutama
sesudah perang dingin berakhir hampir tiap kawasan cenderung membentuk regional
grouping.
Maraknya regionalisme telah
mengakhiri tidak hanya perlombaan power position saja, akan tetapi juga
surutnya supremasi politik dan militer sebagai faktor utama penentu kekuatan
nasional satu bangsa, yang kedudukannya digeser oleh faktor ekonomi.
Dalam
kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah
penting di dalam dinamika hubungan antara negara/antarbangsa, karena batas
antar negara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka.
Sungguhpun demikian penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi
internasional, akan tetapi latar belakang sejarah setiap bangsa/negara dapat
memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam
menarik garis boundary tadi, dan akhirnya bertabrakan dengan negara lain.
Kasus konflik teritorial diantara negara-negara berkembang adalah contoh yang
amat sangat nyata, sebab boundary yang ditetapkan oleh penguasa kolonial
tidaklah sejalan dengan sejarah bangsa dan dengan aspirasi politik dari bangsa
yang telah menjadi merdeka.
Kenyataan
dilapangan membuktikan bahwa boundary tidak selamanya ditaati oleh penduduk
perbatasan (terutama didaerah terpencil) yang dengan seenaknya mengadakan
lintas batas untuk mengunjungi
sanak-keluarga diseberang boundary, atau saling berdagang secara bebas
seolah-olah tidak ada boundary. Interaksi dinamis antar penduduk dua
negara, atau interaksi dinamis antara dua budaya dapat membentuk satu batas
semu atau frontier yang berbeda letaknya secara
geografisnya dengan boundary aslinya (periksa gambar diatas).
Pada gambar - 1 terlihat telah
terbentuknya frontier di dalam ruang negara yang disebabkan oleh penetrasi
pengaruh seberang boundary. Apa yang terjadi adalah daerah asimilasi dimana
penduduknya lebih “melirik” keseberang boundary dibandingkan kepada pemerintah
daerah atau pusatnya sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Berbagai kasus yang ada di dunia
ini, frontier terbentuk karena dua hal, yaitu, pertama, tidak cukup perhatian
pemerintah pada daerah yang menjadi daerah asimilasi; kedua, tidak ada sarana
sirkulasi yang cukup.
Untuk sebab yang kedua, kelengkapan
sarana sirkulasi (transportasi dan komunikasi) biasanya terjadi di daerah yang
sukar dicapai atau daerah terpencil seperti daerah pengunungan, daerah hutan
rimba, pulau terpencil, yang kesemuanya berada di daerah sepanjang perbatasan
dengan negara lain sehingga mudah terkena penetrasi budaya, politik, ekonomi
dan sebagainya. Semakin lama daerah asimilasi tidak ditangani atau
diperhatikan oleh pemerintah maka ia bisa menjadi makin meluas; oleh karena itu
frontier sifatnya sangat dinamis.
Dilihat
dari sisi politik, rakyat di daerah asilmilasi memiliki kecenderungan untuk
membelakangi pemerintah/sistem politik dinegaranya dan tidak jarang bermuara
pada keinginan merdeka. Banyak masyarakat pengunungan yang mengalami hal
seperti itu dan ingin merdeka, misalnya suku Kurdi, suku Karem, suku Meo, dan
bahkan sebagian masyarakat propinsi xinjiang di RRC. Kesemua masyarakat
itu tinggal diwilayah pengunungan yang sukar dicapai. Tidak itu saja,
bagi negara yang wilayahnya luas sekali daerah frontier bisa terjadi
dipinggiran yang jauh dari pusat pemerintahan. Untuk itu disentralisasi
adalah jalan pemecahan yang terbaik. Dari sini terlihat dengan jelas
kaitan atau interaksi antara geografi dan politik.
Pemikiran
Maritim
Perbedaan
dengan para ahli geografi politik Jerman, seperti Ratzel, Ritter dan sebagainya
yang berorientasi kontinental, Alfred Thayer Mahan merupakan pelopor orientasi
maritim. Menurutnya kekuatan satu negara tidak hanya tergantung pada
faktor luas wilayah daratan dan seisinya, akan tetapi tergantung pula pada
faktor luasnya akses ke laut berikut bentuk pantai dari wilayah negara.
Akses
ke laut akan memudahkan perdagangan yang pada ujungnya membawa kesejahteraan
dan penguasaan perekonomian; sedangkan bentuk pantai yang menguntungkan akan
menarik masyarakat lebih berorientasi ke arah laut. Tidaklah mengherankan
apabila perhatian Mahan pertama-tama ditujukan ke Laut Tengah yang selalu
menjadi ajang perebutan dan peperangan laut pada abad ke 16, 17 dan 18.
Bentuk pantai kawasan pinggiran Laut Tengah membuat masyarakatnya berorientasi
pada laut dan perdagangan. Tidaklah mengherankan apabila kawasan Laut
tengah menjadi pusat perdagangan dunia kala itu. Dengan berkembangnya
jalur-jalur pelayaran ke Timur jauh dan Afrika serta bertambah majunya tepian
barat Atlantik, maka bergeserlah persaingan perdagangan diantara negara-negara
tepian di Eropa yang menjurus ke arah persaingan pengendalian jalur pelayaran
tadi. Inilah awal dari pelbagai jenis konflik terbuka di Atlantik antara
kekuatan-kekuatan maritim besar saat itu.
Dalam
pengamatan Mahan, negara-negara tepian Atlantik selain memiliki akses ke laut
secara luas, bentuk pantainyapun memudahkan pengembangan pelabuhan-pelabuhan
besar sehingga akan terbentuk satu masyarakat maritim yang kosmopolitan.
Selain itu, Mahan juga berkesimpulan bahwa bentuk dan panjang pantai satu
negara akan menjadi salah satu indikator utama kekuatan laut (sea power) dari
negara yang bersangkutan. Observasi dan kesimpulan demikian ini sering
disebut sebagai satu geographical determinist - bahwa geografi
menentukan tata laku dan karya manusia. Disinilah kiranya Mahan, Ratzel,
Ritter dan kawan-kawannya pada era itu dapat dikatakan sama-sama merupakan
geographical determinist. Bedanya adalah bahwa Ratzel dan Ritter menengok
ke darat dalam pengembangan kekuatan (power) satu negara, sedangkan Mahan
menengok ke laut.
Menurut
Mahan ada empat faktor alamiah yang mempengaruhi pembentukan kekuatan laut satu
negara. Pertama, situasi geografi, terutama mengenai
Topo-morfologinya yang dikaitkan dengan ada tidaknya akses ke laut serta
penyebaran penduduknya. Kedua, kekayaan alam dan zona iklim,
karena faktor ini akan terkait dengan kemampuan industri serta kemandirian
dalam penyediaan pangan. Ketiga, konfigurasi wilayah negara, yang
menurut Mahan akan mempengaruhi karakter rakyat terutama dilihat dari
orientasinya. Keempat, jumlah penduduk.
Dari keempat faktor tersebut diatas
dapat dicatat bahwa Mahan menaruh perhatian kepada konfigurasi wilayah negara
serta pengaruhnya pada karakter rakyat. Pengalaman dan sejarah umat
manusia cukup mendukung hal tersebut, misalnya karakter orang yang tinggal di
pengunungan akan berbeda dengan mereka yang tinggal didataran rendah. Demikian
juga karakter rakyat kepulauan berbeda dengan rakyat yang tinggal di kontinen.
Temuan
Mahan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ratzel yang mengatakan bahwa agar
negara menjadi kuat maka harus memiliki akses ke laut serta wilayah daratan
yang luas. Dari kesimpulan ini maka para ahli Jerman pada abad ke-20
mulai memikirkan perluasan wilayah negara Jerman ke arah timur dengan istilah
Drang nach Osten.
Dari Geografi Politik ke
Geopolitik
Pemikiran
geografi politik sampai dengan akhir abad ke-19 di dominasi oleh teori Ratzel,
Ritter dan Mahan yang menganggap negara sebagi organisme serta pengaruh alam
terhadap tata laku manusia atau geographical determinist. Pada awal abad
ke-20 muncul pemikiran dari para ahli Perancis seperti Albert Demangeon, Louis
Febure, Andre Siegfried dan Jacques Ancel, yang beranggapan bahwa negara
sebagai satu organisme hidup memiliki moral dan spritual sehingga
tidak dapat dipandang sebagai satu ruang (space) yang hampa. Adanya
nasionalisme, rasa kebangsaan, faham kebangsaan, cinta tanah air membuktikan
negara bukan sekadar ruang kosong. Pemikiran demikian ini disebut geographical
humanist.
Berdasarkan
pada pemikiran para ahli Jerman dan para ahli Perancis maka Rudolf Kjellen
berkesimpulan bahwa geo-morfologi haruslah dimanfaatkan dari segi politik, maka
lahirlah the politics of geography yang kemudian diberi nama oleh
Kjellen sebagai geopolitik. Secara umum Kjellen memberi
definisi geopolitik sebagai satu Science of the state.
Menurut Kjellen sistem politik
tentang negara (sistem geopolitik) secara lengkap adalah:
1. Tentang
Negara
: Geopolitik, terdiri dari:
a. Kedudukan
negara
: Topopolitik
b. Bentuk
negara
: Morphopolitik
c. Keadaan fisik
negara
: Physiopolitik
2. Tentang
Ekonomi
: Ekopolitik, yang terdiri dari:
a. Pengaruh ekonomi
: Emporo Politik
b.
Kemandirian
: Autharkhial Politik
c. Dinamika
ekonomi
: Ekonopolitik
3. Tentang
Rakyat
: Demopolitik, yang terdiri dari:
a. Kebangsaan
: Etnopolitik
b. Sejarah dan
asal-usul
: Plethopolitik
c. Psyche
bangsa
: Psychopolitik
4. Tentang
masyarakat bangsa :
Sosiopolitik, yang terdiri dari:
a. Bentuk dan
organisasi : Phylopolitik
b.
Eksistensi
: Biopolitik
5. Tentang
pemerintahan
: Kratopolitik, yang terdiri dari
a. Bentuk
negara
: Homopolitik
b. Eksistensi
negara
: Prexipolitik
c. Kekuasaan
negara
: Archopolitik
Dari sistematika tentang politik
negara tersebut diatas, maka Kjellen beranggapan bahwa geopolitik hanya salah
satu bagian saja. Kjellen menekankan bahwa sebagai salah satu organisme
hidup maka negara yang diciptakan oleh Kjellen merupakan satu unit kekuatan dan
kekuasaan yang selalu mengikuti hukum pertumbuhan (ingat teori Lebensraum dari
Retzel).
Model ini seakan-akan “memahami”
adanya perluasan wilayah melalui aneksasi, pendudukan maupun kolonisasi yang
sangat marak pada awal abad ke-20 itu.
Sejak
awal Kjellen sudah memperkirakan bahwa hukum pertumbuhan akhirnya akan membawa
kita pada satu keadaan dimana muncul beberapa negara besar saja yang mampu
mempengaruhi lainnya. Jika hal ini dikaitkan dengan jalur-jalur pelayaran
niaga yang penting waktu itu, maka pertumbuhan akan mengarahkan sepanjang jalur
pelayaran tadi. Bila diamati peta-peta dunia kala itu, maka dapatlah
segera dilihat bahwa koloni-koloni Inggris selalu berada pada tepian jalur
pelayaran dunia.
Pertumbuhan
melahirkan rivalitas dan permusuhan antara negara-negara besar saat itu.
Hal ini tidak hanya menarik perhatian Kjellen akan tetapi juga Mackinder dari
Inggris. Mackinder melihat bahwa konflik saat itu bukanlah sekadar konflik
antar negara-negara maritim untuk menguasai dunia. Atau dapat juga
dikatakan sebagai konflik antara kekuatan Euro-Asia (heartland) melawan
kekuatan kepulauan dan pinggiran (pheripheral).
Mackinder berpendapat, saat itu,
bahwa kekuatan Heartland akhirnya akan lebih unggul dari kekuatan Pheripheral
mengingat keunggulannya dibidang politik, ekonomi dan militer.
Bahkan sebelum perang dunia pertama
meletus, Mackinder membuat kesimpulan geopolitik sebagai berikut:
Who rules East Europe commands the Heartland,
Who rules the Heartland commands the World Island,
Who rules the World Island commands the World!
Yang dimaksud dengan the World
Island ialah Asia, Eropa dan Afrika yang dalam pemikiran Mackinder merupakan
satu continental patah. Melalui pemikiran Kjellen dan Mackinder inilah
geografi politik diantarkan menjadi geopolitik.
BAB
III
GEOPOLITIK
Dari uraian pada bab terdahulu
dapat diketahui bahwa sesungguhnya geopolitik merupakan pengembangan dari
geografi politik, dimana negara dipandang sebagai satu organisasi hidup yang
berevolusi secara spatial dalam kerangka memenuhi kebutuhan
masyarakat bangsanya atau tuntutan kebutuhan akan Lebensraum.
Ditangan para pemikir Jerman saat
itu, khususnya Haushofer, geopolitik berkembang dengan pesat sebagai satu
cabang ilmu pengetahuan dimana kekuasaan (politik) dan ruang (raum) merupakan
anasir sentralnya. Sehingga kemudian Haushofer menamakan geopolitik
sebagai satu science of the state yang mencakup bidang-bidang
politik, geografi (ruang), ekonomi, sosiologi, antropologi, sejarah dan hukum
dan pertama kali diuraikan dalam bukunya yang terkenal “Macht und Erde”
(kekuasaan/power dan dunia).
Kedekatan
hubungan antara Haushofer dengan Hitler sejak awal diperkirakan merupakan
penyebab dari menyusupnya info gagasan dalam Macht und Erde kedalam buku
“Meinkampf”. Tidakkah mengherankan apabila pada akhir perang dunia ke-2
geopolitik tidak lagi dikagumi, karena dituduh sebagai biang keladi dari
ekspansi Jerman.
Pengaruh
Haushofer juga terasa di Jepang karena dia pernah ditugaskan disana antara
tahun 1909-1911 untuk mempelajari sistem militer Jepang serta mempererat
hubungan militer antara kedua negara. Sekembalinya di Jerman Haushofer
menyusun konsep Lebensraum untuk Jepang yang diterbitkan dalam bukunya yang
berjudul “Dai Nippon” (Greater Japan). Gagasan itu kemudian juga
diperkirakan menjadi landasan sari doktrin “Fukoku Kyohei” (Rich Country Strong
Army) yang melandasi dilakukannya pembangunan besar-besaran angkatan perang
kekaisaran Jepang menjelang perang dunia ke-2.
Kalau
dilihat dari sudut pandang tataran pemikiran maka sesungguhnya Lebensraum
maupun Fukoku Kyohei merupakan satu prasyarat dalam upaya
mencapai cita-cita (baca Bab Pendahuluan) nasional. Jadi geopolitik
adalah pada hakekatnya prasyarat; dan karena harus dipenuhi secara nasional
maka dapat juga disebut sebagai doktrin dasar negara.
Sebagai satu doktrin dasar ia
mengandung empat unsur utama yaitu:
1. Konsepsi
ruang, yang merupakan pengejawantahan dari pemikiran negara sebagai
organisasi hidup;
2. Konsepsi
frontier, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan dan lingkungan;
3. Politik
kekuatan, yang menerangkan tentang kehidupan negara;
4. Tentang
keamanan negara dan bangsa, yang kemudian melahirkan geostrategi.
Konsepsi ruang
Ruang
merupakan inti dari geopolitik, sebab menurut Haushofer dan pengikutnya ruang
merupakan wadah dinamika politik dan militer. Dengan demikian
sesungguhnya geopolitik merupakan cabang ilmu pengetahuannya yang
mengaitkan ruang dengan kekuatan fisik,
dimana pada kenyataannya kekuatan politik selalu menginginkan penguasaan ruang
dalam arti ruang pengaruh, atau sebaliknya, penguasaaan ruang secara de facto
dan de jure merupakan legitimasi dari kekuasaan politik. Penguasaan ruang
atau ruang pengaruh demikian itu pada intinya (menurut geopolitik) sesungguhnya
merupakan satu fenomena spatial dari ruang itu sendiri.
Jika ruang pengaruh diperluas maka
akan ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan; dan kerugian akan menjadi
lebih besar lagi apabila hal itu dicapai melalui perang.
Pada
era perang dingin dapat kita saksikan bagaimana kedua kutub adi kuasa saling
berusaha memperluas “sphere of influence” maupun ruang hegemoninya
masing-masing. Pada era itu negara-negara Dunia Ketiga saling
diperebutkan agar ditarik ke dalam sphere of influence atau kedalam hegemoni,
baik sebagai sekutu/allies ataupun sekadar sahabat/friendly countries.
Yang penting sekurang-kurangnya tidaklah mesra dengan kubu lawan. Kita
juga lihat bersama, disaat itu, tidak peduli satu negara diperintah secara
kejam atau tidak asalkan “setia” kepada pemimpin kubunya. Tidaklah
mengherankan apabila kepala pemerintahan semacam Mobutu dirangkul, yang
kemudian hari saat perang dingin selesai dicampakkan begitu saja atas tuduhan
pelanggaran hak azasi manusia. Maka berturut-turutlah beberapa kepala
pemerintahan dinegara-negara Dunia Ketiga berguguran silih berganti setelah
“ruang” yang mereka “kuasai” tidak lagi memiliki nilai strategi lagi.
Konsepsi
strategi Indonesia yang mengatakan bahwa “pendudukan terhadap satu pulau dapat
dianggap sebagai pendudukan seluruh negara” merupakan satu bukti lagi bahwa
terdapat satu hubungan erat antara ruang dengan kekuatan dan kepentingan.
Kekuatan disini diartikan sebagai kekuatan penangkalan yang harus siaga dalam
menghadapi kemungkinan, sekecil apapun, terjadinya pendudukan atas satu bagian
kecil dari negara ini.
Keteguhan dan kesungguhan setiap
negara atau bangsa mempertaruhkan setiap jengkal ruang yang berada di dalam
wilayah kedaulatannya merupakan satu bukti juga adanya kaitan antara ruang
dengan sifat negara sebagai organisme hidup. Dalam hal ini berkurangnya
ruang negara oleh sebab apapun juga memberi dampak psikologis pada penduduk
akan berkurangnya ruang “bernafas”. Tidaklah mengherankan apabila
negara-negara kecil seperti Singapura atau Israel tidak dapat mentolerir
berkurangnya ruang negara; dan akan selalu bereaksi sangat keras terhadap
ancaman dari luar yang berpotensi untuk mampu mengurangi ruang negara
mereka. Untuk itu negara-negara semacam itu selalu mempersiapkan kekuatan
militer yang tangguh dan mampu melancarkan pre-emptive strike (bila perlu
diluncurkan dari luar negaranya).
Bertambahnya
ruang negara atau berkurangnya ruang negara oleh berbagai jenis sebab, selalu
dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara dan bangsa. Karena itu
tidaklah mengherankan bahwa tiap negara mempertahankan kehormatan dan
kedaulatannya dengan gigih dan konsisten. Bahkan negara sebesar RRC harus
berjuang mati-matian mempertahankan “haknya” atas pulau-pulau karang kecil, yang
walaupun tenggelam pada saat air pasang, di kawasan Laut Cina Selatan.
Sehingga bila disimak benar-benar konflik territorial di Laut Cina Selatan
sesungguhnya merupakan satu taruhan kehormatan dari negara-negara yang
bertikai; dan ini memang amat sulit dicari titik temunya.
Apa
sebenarnya yang amat mengherankan adalah keputusan Presiden Habibie yang begitu
saja, kemungkinan besar hanya dilandasi oleh emosi atau saran staf yang kurang
matang, memberikan dua opsi kepada rakyat Timor Timur. Dan setelah ternyata
rakyat Timor Timur memilih kemerdekaan, dengan entengnya pemerintahan
menerimanya sebagai satu kewajaran. Disini terlihat ketiadaan
pertimbangan akan datang kenyataan bahwa ruang negara, sekecil apapun, terkait
dengan kehormatan bangsa dan negara. Inilah satu contoh yang amat
mengherankan sekaligus menyedihkan.
Konsepsi
ruang amat bermakna apabila dikaitkan dengan penduduk atau suku bangsa yang
mendiaminya. Pada zaman dahulu ruang hidup (living space atau Lebensraum)
secara ideal harus dapat memenuhi atau mendukung kehidupan bangsa; karena itu
bila dirasakan tidak lagi bisa mendukung kehidupan maka ada kecenderungan untuk
“menambahnya” dan inilah awal dari peperangan. Namun dalam zaman modern
ini ruang hidup tidak harus berfungsi demikian; contohnya Singapura.
Hampir seluruh kebutuhan hidup rakyat Singapura “dibeli” dari luar, yang
kemudian dibayar dari produk jasa dan industri. Dengan demikian nilai
strategis ruang menjadi bermakna apabila dikaitkan dengan produktivitas
penduduk yang pada gilirannya terkait secara langsung dengan faktor karakter,
pengetahuan, ekonomi, industri dan sebagainya.
Apabila ahli geopolitik Jerman,
seperti misalnya Erich Obst, menekankan pentingnya luas ruang bagi kehidupan
satu bangsa (dan perkembangan dikemudian hari) maka Ray S. Clime lebih
berorientasi pada masa kritis dari ruang yang bersangkutan. Masa kritis
disini merupakan penjumlahan dari masa kritis penduduk, yaitu jumlah riil
penduduk yang produktivitasnya dapat diandalkan, ditambahkan dengan masa kritis
geografi ruang, yaitu luas riil dari ruang yang secara alami bisa mendukung
kehidupan rakyat dari segi produktivitasnya. Ruang negara boleh luas, seperti
Australia, akan tetapi karena sebagian besar berupa gurun pasir dan gurun
tandus maka dari sudut pandang Cline masa kritisnya rendah. Atau apabila
disingkat akan didapat : Mk (ruang) = MK (d) + Mk (g).
Luas
ruang negara menjadi amat bermakna apabila dilihat dari segi strategis; sebab
disitu akan berlaku strategi menukar waktu dengan ruang, dimana makna harfiahnya
adalah tersedianya / disediakannya bagian ruang tertentu untuk diduduki
sementara oleh musuh, sementara itu kita mempersiapkan serangan balasan
yang mematikan. Ini hanya bisa dilakukan apabila ruang negara cukup luas.
Karena itu, apabila ruang negara “sempit” maka hanya terbuka satu opsi yaitu :
Pre-emptive Strike atau serang sebelum musuh siap. Mengapa demikian, karena
tidak adanya cukup ruang untuk mempersiapkan dukungan logistik (ruang atau
daerah belakang), untuk digunakan persiapan tempur (ruang atau daerah
komunikasi), dan digunakan untuk manuver serta memukul musuh (ruang atau daerah
tempur).
Juga
apabila dilihat dari segi strategi, luas ruang negara menentukan tingkatan rasa
aman dari penduduknya (security feeling); artinya bagaimana mereka sebagai satu
bangsa bereaksi dan menyikapi terhadap ancaman dari luar. Tidaklah mengherankan
apabila luas ruang dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan karakter satu
bangsa. Bahkan menurut Morgenthau karakter bangsa merupakan salah satu faktor
yang menentukan kekuatan dan ketahanan bangsa.
Konsepsi Frontier
Telah
diuraikan dalam bab terdahulu bahwa frontier merupakan batas imajiner dari
pengaruh asing dari seberang boundary (batas negara secara hukum) terhadap
rakyat satu negara. Ia sangat dinamis, dalam arti bisa bergeser-geser, dan
berada diantara masyarakat bangsa. Atau dengan perkataan lain, secara politis
dapat dikatakan bahwa pengaruh efektif dari pemerintah pusat tidak lagi
mencakup seluruh wilayah kedaulatan melainkan dikurangi dengan luas wilayah sampai
dengan batas frontier yang sudah dipengaruhi oleh kekuatan asing dari seberang
boundary. Pengaruh asing itu bisa berawal dari pengaruh budaya atau dari
pengaruh ekonomi, akan tetapi yang pasti adalah bahwa hal itu tidak ditangani
dengan segera oleh Pemerintah pusat maka akan berubah menjadi pengaruh politik
yang akan berujung pada pemisahan diri dari wilayah sebatas frontier.
Pengalaman
membuktikan bahwa selama ini, sejak 1976, perbatasan antara Timor-Timur dengan
NTT adalah frontier bagi kita, sebab secara budaya kita gagal menyerap
masyarakat Timor Timur masih kedalam budaya NTT. Padahal mereka merupakan satu
suku bangsa. Contoh lainnya adalah suku Kurdi yang telah membuat frontier di
dalam negeri Turki dan Irak. Dalam halnya Turki, pemerintah secara militer
“membasmi” suku Kurdi yang berada dalam frontier dengan maksud untuk
menghilangkan sama sekali adanya frontier di dalam negara Turki.
Adanya
frontier memang mengurangi ruang efektif yang berada dalam pengaruh pemerintah
pusat, sehingga dampaknya hampir-hampir mirip dengan kehilangan sejengkal tanah
yang berada dibawah kedaulatan. Atas dasar itu dapatlah difahami reaksi keras
dari pemerintah Turki atas suku Kurdi karena kehormatan dan kewibawaan negara
dan bangsa Turki menjadi taruhannya. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah
adanya frontier merupakan masalah geopolitik yang menyangkut ruang.
Dalam
zaman sekarang ini frontier dapat juga terletak diluar batas negara dikaitkan
dengan kepentingan geopolitik yang memang harus menjangkau keluar wilayah kedaulatan.
Globalisasi telah membawa serta munculnya transparansi masyarakat bangsa dari
pengaruh luar, demikian rupa sehingga Ketahanan Nasional saja tidaklah cukup
untuk menjamin keamanan dan rasa aman bangsa dan negara apabila tidak ditopang
oleh keamanan regional. Begitu juga kerjasama bilateral saja tidak cukup kuat
apabila tidak disertai dengan kerjasama regional dan internasional.
Adanya kaitan sevara sinergis berjenjang demikian itu membawa implikasi bahwa
geopolitik harus memiliki dimensi internasional. Karena itu frontier dalam
zaman sekarang ini harus pula diberi makna batas imajiner sejauh mana
kepentingan nasional terjamin pewujudannya atau pemenuhannya.
Sesungguh hal semacam itu telah
dimainkan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia sejak dahulu, hanya saja melalui
wajah kekuatan militer. Dalam era perang dingin ia berwajah hegemoni ataupun
containment strategy. Akan tetapi esensinya sama yaitu sphere of influence,
yang batas luarnya merupakan frontier dari negara besar yang menggelar sphere
of influence tadi. Apabila dahulu Sphere of influence selalu diciptakan dan
ditegakkan melalui mekanisme politik dan militer, dalam perkembangannya
sekarang ini ia dapat diciptakan melalui mekanisme ekonomi dan perdagangan.
Lihat saja sphere of influence dari yen Jepang yang kini hampir meliputi
kawasan Asia Pacific bagian Timur, setidak-tidaknya seluruh Asia Tenggara
berada di dalamnya.
Singkatnya, frontier akan menjadi
sphere of influence apabila ia terletak diluar batas negara.
Kenyataan
sekarang telah memaksa negara-negara dalam satu sub-kawasan bekerja sama untuk
menghadapi persaingan global yang semakin ketat dengan cara meningkatkan
bargaining power.
Dalam perdagangan global bargaining
power tidak selama berupa kelebihan dalam murahnya satu produk akan tetapi juga
kelebihan dalam hanya conveniency dan security dalam arti yang luas. Jelaslah
hal ini akan lebih menguntungkan apabila ditawarkan oleh kerjasama regional,
karena conveniency maupun security akan lebih terjamin. Oleh sebab itu,
frontier yang terbentuk melalui kerjasama regional sesungguhnya merupakan satu
frontier politik; dan apabila kerjasama regional terbentuk atas dasar kesamaan
budaya atau agama maka dinamakan frontier budaya. Mengingat negara dapat
dianggap sebagai satu organisme hidup, maka frontier semacam diatas dinamakan
frontier organik yaitu bahwa adanya atau terbentuknya karena kebutuhan
organisme yang bernama negara.
Konsepsi Politik Kekuatan (Power)
Politik
kekuatan merupakan salah satu faktor dalam geopolitik karena adanya kenyataan
bahwa dinamika organisme negara di dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya
maupun di dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa selalu dilandasi oleh
kekuatan politik dan atau ekonomi, dan atau militer, atau salah dua, bahkan
ketiga-tiganya secara paralel. Jepang saat ini memainkan geopolitiknya
dilandasi oleh kekuatan ekonomi dan sedikit faktor politik. Negara-negara besar
Eropa melandasinya dengan politik dan ekonomi; sedangkan Amerika Serikat dengan
ketiga-tiganya.
Semakin
“menciutnya” ruang dunia sebagai akibat perkembangan teknologi, terutama
teknologi telekomunikasi dan transportasi, disatu pihak sedangkan kepentingan
negara-negara di dunia, terutama negara-negara besar, semakin mendunia maka
semakin besar pula kemungkinannya terjadi persinggungan ataupun konflik
kepentingan di berbagai tempat di dunia. Disini nampak bahwa konflik terbuka
atau perang pada dasarnya merupakan dinamika ruang dan kekuatan. Tidaklah
mengherankan apabila Kjellen menyimpulkan bahwa negara besar dengan kekuatan
besar selalu cenderung ekspansif secara spasial. Kalau toh sekarang ini Amerika
Serikat terkesan malang-melintang sebagai polisi dunia hanyalah disebabkan oleh
anggapannya secara unilateral bahwa ruang kepentingannya adalah dunia dan di
dukung oleh kekuatan nyata (baik ekonomi,politik, dan militer) yang mampu
digelar setiap saat. Oleh sebab itu pameran kekuatan darat, laut dan udara
adalah salah satu alat geopolitik di dalam pembentukan frontier.
Terasa
menciutnya ruang dunia juga diikuti pula dengan meluasnya hak berdaulat bagi
negara-negara pantai sebagai akibat diakuinya ZEE di dalam Konvensi Hukum Laut
1982. Sebagai akibatnya management laut menjadi semakin rumit, terutama bagi
negara kepulauan seperti Indonesia, disebabkan kepentingan negara-negara
maritim “dibatasi” dengan berkurangnya freedom of navigation. Padahal
freedom of navigation bagi negara-negara besar merupakan satu hal yang
dikeramatkan sejajar dengan hak azasi manusia dan demokrasi; maka tidaklah
mengherankan makin seringnya terjadi tabrakan kepentingan.
Tabrakan kepentingan akan menjadi
tidak berimbang apabila kekuatan nyata tidak berimbang, seperti antara
Indonesia dan Amerika Serikat. Kita mengetahui bahwa freedom of navigation bagi
negara-negara besar sangat berkait dengan projection of power dan pembentukan
sphere of influence, karena itu tidaklah mengherankan bagaimana mereka
menyikapi keinginan Indonesia dalam penetapan archipelagie sea lanes.
Pembicaraan dengan negara-negara besar memang telah dilakukan sebelum rancangan
archipelagic sealanes diserahkan kepada International Maritime Organization
(IMO) dan telah disetujui pada bulan Desember 1998.
Untuk
mewujudkan kepentingan nasional diperlukan kekuatan, yang pada gilirannya
kekuatan memerlukan ruang gerak baik itu berupa ruang geografis maupun ruang
politis. Misalkan saja kepentingan itu berupa peningkatan kegiatan
perekonomian, maka kepada para pelaku pasar harus diberikan ruang gerak yang
cukup agar lebih kompetitif dan produktif. Ruang gerak yang cukup, artinya
demokratisasi, agar kegiatan ekonomi bisa berkembang bebas diseluruh ruang
negara. Keperluan adanya demokratisasi ekonomi (tidak sekedar Liberalisasi
saja) memerlukan dukungan demokratisasi politik agar tidak terjadi
stagnasi. Dahulu, ketika Uni Sovyet mengadakan demokratisasi politik
secara luas yang tidak disertai dengan hal yang sama dibidang ekonomi maka
negara tersebut berantakan. Hal yang sama juga terjadi pada Rusia sekarang.
Lain halnya dengan RRC, dimana demokratisasi ekonomi jauh meninggalkan
demokratisasi politik maka ternyata mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak
dikehendaki, antara lain peristiwa Tienanmen.
Pelajaran yang dapat ditarik adalah
bahwa perluasan ruang gerak harus dilaksanakan secara serentak pada semua
bidang, agar mereka bisa saling menunjang.
Saat
ini telah muncul dua gejala makro dipandang dari segi strategi yaitu bahwa
dimensi ekonomi dari kekuatan telah semakin mengemuka, dan adanya pergeseran
gravitasi kepentingan ke arah maritim. Kedua-duanya memiliki implikasi yang
amat penting terhadap geopolitik, terutama bagi negara-negara maritim seperti
Indonesia. Semakin mengemukanya dimensi ekonomi dari kekuatan menyebabkan
antara lain : (a) faktor ekonomi telah dijadikan “senjata” untuk memaksakan
kehendak, (b) munculnya Lembaga Keuangan Internasional sebagai kekuatan politik
global; dan (c) berkembangnya regionalisme ekonomi sebagai upaya untuk
meningkatkan posisi power.
Dilain fihak dengan adanya
perdagangan yang mendunia, dimana setiap pasar domestik terkait satu sama lain;
maka soal akses menjadi penting, baik akses terhadap pasar maupun akses
terhadap sumber-sumber input bagi industri.
Sebagai konsekuensinya jalur-jalur
pelayaran internasional (sea lines of communication/SLOC) menjadi amat
vital. Karena itulah kepentingan bergeser kearah maritim; siapa menguasai
SLOC akan dapat menentukan pasar atau sebaliknya gangguan keamanan terhadap
SLOC akan mempengaruhi keadaan pasar.
Tidaklah
mengherankan apabila freedom of navigation dan terjaminnya keamanan sepanjang
SLOC sehingga komoditi perdagangan mengalir secara lancar adalah pusat
gravitasi kepentingan saat ini. Dapatlah dimengerti bahwa dipandang dari sisi
ini Indonesia adalah amat rawan karena SLOC vital antara Samudera Hindia
dan Samudera Pasifik semuanya melewati perairan Indonesia. Tiap perkembangan
politik dan keamanan di Indonesia serta merta menjadi perhatian negara-negara
besar hanya karena SLOC itu. Bahkan setiap pergantian pemerintah atau
pemilihan presiden-presiden mengundang berbagai bentuk intervensi.
Konsepsi Keamanan Negara dan Bangsa
Pada
akhirnya geopolitik juga ditujukan untuk menciptakan keamanan negara dan
bangsa. Dari adanya kenyataan bahwa ketahanan nasional saja tidak cukup untuk
menjamin keamanan dalam negeri maka kemudian diputuskan menggelar frontier
diluar batas negeri. Dari situ terwujudlah daerah penyangga (buffer zone) yang
digunakan untuk memperluas ruang yang dapat ditukar dengan waktu dalam
menghadapi ancaman fisik dari luar.
Jika
selama ini ruang diartikan sebagai sesuatu yang riil secara geografi, maka
sesungguhnya ruang bisa diartikan secara semu/maya dari segi keamanan yaitu
antara lain berbentuk semangat kesatuan dan atau semangat persatuan.
Maknanya adalah bahwa kesatuan dan atau persatuan merupakan penghambat atau
memperlambat datangnya ancaman/musuh sehingga seakan-akan dipertukarkan dengan
waktu.
Kesatuan dan atau persatuan yang
dianjurkan oleh pemerintah bukanlah satu retorika politik akan tetapi merupakan
langkah geopolitik. Dengan lain perkataan apabila satu negara kehilangan
kesatuan dan atau persatuan bangsa maka dampaknya akan sama dengan kehilangan
ruang.
Era
kolonialisme dengan kekuatan senjata telah berlalu akan tetapi politik dan strategi
kolonial dalam bentuk devide-et-impera masih tetap dijalankan oleh kekuatan
-kekuatan besar dunia saat ini dengan cara merontokkan persatuan dari dalam.
Atau bahkan membuyarkan kesatuan dengan taktik balkanisasi di dukung oleh
lembaga-lembaga internasional yang dimobilisir. Sehingga apabila keadaan
dunia dipotret dengan kacamata negara berkembang, maka keadaan dunia semuanya
telah berubah karena kemajuan teknologi akan tetapi hanya satu yang tetap
yaitu politik devide-et-impera negara-negara besar.
Membangun
keamanan negara dan bangsa melalui upaya peningkatan dan pemantapan ketahanan
nasional adalah langkah geopolitik, dimana hasilnya berupa ruang semu/maya yang
semakin “luas” dalam bentuk kesatuan dan atau persatuan. Karena itulah
konsepsi keamanan dan pengamanan negara dan bangsa menjadi bahagian dari
geopolitik.
BAB
IV
GEOPOLITIK
INDONESIA
Wawasan
nusantara adalah geopolitik Indonesia. Ia mengandung unsur-unsur atau
konsepsi yang terdapat dalam geopolitik seperti dipaparkan pada bab sebelumnya.
Akan tetapi ia juga dapat disebut geopolitik apabila ditinjau dari tataran
pemikiran/konsepsi yang berlaku di Indonesia, yaitu bahwa ia merupakan
pra-syarat bagi terwujudnya cita-cita nasional yang tertuang dalam Pancasila
(periksa Bab Pendahuluan). Dalam hal pra-syarat ini sudah barang tentu
memanfaatkan ruang (fisik atau semu) di dalam membentuk persatuan dan atau
kesatuan.
Konfigurasi
Indonesia adalah unik dan sekaligus amat menentang, masih ditambah lagi dengan
ciri-ciri demografi, anthropologi, meteorologi dan latar belakang sejarah yang
memberi peluang munculnya dis-integrasi bangsa. Tidaklah mengherankan
apabila para pendiri Republik sejak dini telah meletakkan dasar-dasar
geopolitik Indonesia yaitu melalui ikrar Soempah Pemoeda, dimana amanatnya
adalah: Satoe Noesa, yang berarti keutuhan ruang nusantara; Satoe
Bangsa, yang merupakan landasan kebangsaan Indonesia; Satoe Bahasa,
yang merupakan faktor pemersatu seluruh ruang nusantara bersama isinya.
Kebangsaan
Indonesia sebenarnya terdiri dari 3 (tiga) unsur geopolitik yaitu:
1. Rasa Kebangsaan
2. Paham
Kebangsaan
3. Semangat
Kebangsaan
Ketiga-tiganya menyatu secara utuh
menjadi jiwa bangsa Indonesia dan sekaligus pendorong tercapainya cita-cita
Proklamasi. Rasa kebangsaan adalah sublimasi dari Soempah Pemoeda
dan menyatukan tekad menjadi bangsa yang kuat, dihormati dan disegani diantara
bangsa-bangsa di dunia ini. Dalam kaitan dengan status bangsa yang
demikian itulah Presiden Soekarno secara konsisten menggembleng rasa kebangsaan
kita agar seluruh bangsa ini terbebas dari rasa rendah diri. Hasilnya,
kita seluruh bangsa Indonesia bangga menjadi warga bangsa walaupun secara
ekonomis sangat lemah. Rasa kebangsaan merupakan perekat persatuan dan
kesatuan, baik dalam makna spirit maupun geografi, sehingga secara operasional
dapat membantu meniadakan kemungkinan munculnya frontier. Semangat
kebangsaan bukanlah monopoli dari warga bangsa yang pribumi saja akan tetapi
dapat dan harus milik semuanya seluruh warga bangsa.
Di
atas landasan rasa kebangsaan yang kokoh dapatlah dibangun Faham Kebangsaan
yang merupakan pengertian yang mendalam tentang apa dan bagaimana bangsa
itu serta bagaimana mewujudkan masa depannya. Ia merupakan intisari dari
visi warga bangsa tentang kemana bangsa ini harus dibawa ke masa depan dalam
suasana lingkungan yang semakin menantang. Secara formal faham kebangsaan
ini dapat dibina melalui proses pendidikan dan pengajaran dalam bentuk materi
ajaran, misalnya Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Doktrin dan Strategi
Pembangunan Nasional, Sejarah dan Budaya Bangsa, dan sebagainya. Untuk
itu para perancang materi pengajaran harus benar-benar memiliki visi dan
pengetahuan tentang kebangsaan serta kaitannya dengan kepentingan geopolitik.
Pada
akhirnya menjaga kelangsungan hidup bangsa akan terpulang pada Semangat
Kebangsaan atau nasionalisme, merupakan produk akhir dari sinergi rasa
kebangsaan dengan faham kebangsaan. Banyak pakar yang berpendapat bahwa
konsepsi tentang rasa kebangsaan atau wawasan kebangsaan secara keseluruhan
sudah usang dan ketinggalan zaman. Kemungkinan besar hal itu perlu
dipikirkan kembali, sebagai contoh lihatlah negara-negara dunia ketiga yang
terkena sanksi embargo dari penguasa dunia yang bernama Dewan Keamanan
PBB. Nyatanya mereka tetap survive hingga sekarang tidak lain berkat
wawasan kebangsaan yang mantap.
Dari
uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa geopolitik hanya akan efektif apabila
dilandasi oleh wawasan kebangsaan yang mantap, karena tanpa itu ia tidak lebih
hanya permainan politik semata, sebab wawasan kebangsaan akan membuat ikrar
satoe bangsa terwujud dan bangsa yang satu itu dapat mewujudkan satoe noesa
dengan berbekal landasan satoe bahasa. Oleh karena adanya amanat yang
demikain itulah maka Wawasan Nusantara secara ilmiah dirumuskan dalam bentuk
konsepsi tentang Kesatuan yang meliputi:
1. Kesatuan
Politik,
2. Kesatuan
Ekonomi,
3. Kesatuan Sosial
Budaya, dan
4. Kesatuan
Hankam.
Keempatnya sesungguhnya merupakan
jabaran dari Soempah Pemoeda.
Kesatuan Politik
Kesatuan
politik disadari pentingnya dari adanya kebutuhan untuk mewujudkan pulau-pulau
diwilayah nusantara menjadi satu entity yang utuh sebagai tanah air. Ini
berarti bahwa tidak ada lagi laut bebas diantara pulau-pulau tersebut, sehingga
laut diantara pulau-pulau itu berubah wataknya dari pemisah menjadi
pemersatu. Tanah air nusantara. Kesadaran tersebut diatas dipacu
oleh pengalaman adanya intervensi asing berupa kapal laut maupun kapal terbang
yang membantu pemberontakan pada tahun lima puluhan. Pada tahun 1957
kesadaran demikian diwujudkan dalam bentuk Deklarasi Djuanda yang kemudian
diangkut menjadi Perpu No. 4/1960. Kesatuan geografi yang menjadi bagian
dari kesatuan politik, sebagaimana dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djuanda
itu dinamakan Azas Nusantara (ia merupakan bagian dari Wawasan
Nusantara).
Azas
Nusantara lahir karena secara langsung adanya kebutuhan rasa aman dan keamanan
bangsa dan negara, sehingga pemerintah dapat mengatur seluruh tanah air yang
satu dan utuh. Sesuai dengan Doktrin TNI bahwa ancaman terhadap satu
pulau (atau sejengkal tanah) dianggap sebagai ancaman terhadap seluruh
negara. Azas nusantara merupakan konsepsi ruang bangsa Indonesia yang
sangat unik, baik ditinjau dari pemikiran Ratzel maupun Mahan. Dengan
keyakinan bahwa laut nusantara merupakan pemersatu ruang negara maka
sesungguhnya sejak Deklarasi Djuanda secara psikologi bangsa kita menganggap
ruang negaranya merupakan satu “benua”.
Dengan telah dikukuhnya negara
Indonesia oleh Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai Archipelagic State maka semakin
mantaplah gambaran psikologis tadi. Archipelagic State merupakan hal baru
dalam khasanah hukum international positif sehingga bagi warga dunia lainnya
masih diperlukan adaptasi untuk menghadapi realitas baru ini, terutama
sekali bagi para stake holders.
Pemerintah
harus mampu menegakkan kekuasaannya disamping kewajibannya terhadap rakyat
maupun terhadap masyarakat international; untuk itu diperlukan hukum yang satu
dalam rumusan, dalam niat, dalam interprestasi, dalam pelaksanaannya serta
dalam enforcementnya.
Diseluruh wilayah negara hanya
berlaku satu hukum nasional dengan niat untuk diabadikan kepada kepentingan
bangsa dan negara. Bahwa ada daerah khusus, daerah otonomi khusus, atau daerah
otonomi diperluas hanyalah merupakan nuansa dalam administrasi
pemerintahan. Adanya satu hukum nasional dengan satu interprestasi resmi
merupakan satu keharusan bagi terwujudnya respek kepada pemerintah dan negara
tidak hanya dari rakyatnya sendiri akan tetapi juga dari masyarakat international.
Terjadinya kekisruhan dalam perundang-undangan yang ditandai oleh saling
bertabrakannya berbagai undang-undang yang dirancang oleh tiap Departemen
Teknis menunjukkan bahwa masalah kesatuan masih perlu ditata kembali.
Juga semakin populernya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara beberapa Menteri
menunjukkan kurangnya wibawa seorang Menteri dalam mengatur kegiatan
masyarakat. Dalam keadaan begini, soal good governance perlu dicermati
agar wibawa pemerintah di dalam dan di luar negeri terjaga.
Setelah
Timor Timur diizinkan untuk melaksanakan referendum maka warga Aceh menuntut
yang sama, dan ada kemungkinan disusul yang lainnya lagi. Gejala demikian
dapat dilihat dari segi tatanegara dan menyebutnya sebagai gejala dis-integrasi
atau dilihat dari segi politik sebagai gejala mencairnya kesatuan
politik. Dalam masyarakat plural dan heterogen, integrasi dan atau
kesatuan politik hanya dapat dipertahankan oleh pemerintah yang berwibawa dan
pimpinan nasional yang kuat kepemimpinannya. Lepasnya Timor Timur dari
Indonesia merupakan bukti bahwa menangkal terjadinya dis-integrasi juga
memerlukan pengertian tentang konsepsi ruang, yaitu, bahwa manakala kesatuan
politik tidak dapat dipertahankan maka serta merta muncullah frontier.
Karena itu kesatuan politik (dan ruang) adalah mutlak untuk menanggulangi
dis-integrasi bangsa dan negara.
Kesatuan Ekonomi
Telah
diuraikan terdahulu bahwa kegiatan ekonomi memerlukan ruang gerak; dan ini
dapat disediakan melalui proses demokratisasi. Akan tetapi demokrasi
tidaklah berarti berbuat sesuai aturannya sendiri-sendiri akan tetapi perlu
taat pada koridor yang telah disepakati bersama, artinya sistem perekonomian
nasional haruslah seiring dengan sistem politik nasional. Jika sistem
politik menganut azas desentralisasi, maka segala perijinan pun harus
didesentralisir. Jika pendapatan dari kekayaan alam dibagi secara adil
antara pusat dan daerah maka kewenangan untuk memberikan dan menentukan area
konsesi eksplorasi maka juga pemerintah daerah diberikan peranan secara
proporsional. Rasa ketidakberdayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah
pusat merupakan benih awal dis-integrasi.
Setelah
kegiatan ekonomi diberikan ruang gerak yang cukup maka perlu dijaga kesatuannya
diseluruh wilayah negara, antara lain, berlakunya satu mata uang tunggal, yaitu
rupiah. Pada saat krisis ekonomi memuncak dan nilai tukar rupiah sangat
labil, maka mencairlah kesatuan ekonomi karena untuk sementara para pelaku
ekonomi bertransaksi dengan dollar AS. Demikian juga sampai dengan tahun
enam puluhan di Riau diberlakukan rupiah khusus yang dinilai tukarnya dipatok
dengan dollar Singapura sebagai akibat derasnya perdagangan lintas batas dan
kurangnya kegiatan ekonomi dengan Pusat.
Kesatuan
ekonomi juga bermakna kesatuan tafsir ke arah mana perekonomian nasional
diperuntukkan. Jawabnya adalah untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi
rakyat sesuai amanat UUD ‘45. Seandainya pemanfaatan sumber dengan alam
hanya dinikmati oleh para konglomerat saja maka hilanglah kesatuan tadi, dan akibatnya
seperti yang kita saksikan bersama. Apabila cita-cita para pendiri
Republik adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur atau masyarakat
makmur yang berkeadilan, maka kesatuan ekonomi harus diwujudkan dan
dipertahankan.
Bagi
daerah perbatasan yang terpencil dan sistem sirkulasi nasional sangat minim,
kadang-kadang kesatuan ekonomi tidak terasakan. Mereka lebih terjangkau
oleh kesatun ekonomi dari sistem negara tetangga; yang apabila didiamkan saja
(banyak daerah yang mengalami hal itu) maka bisa menumbuhkan frontier.
Bagi rakyat kecil, khusus di daerah perbatasan dan daerah terpencil, kesatuan
ekonomi mungkin sekali lebih bermakna dibandingkan dengan kesatuan politik
(dalam artian sistem politik). Karena itu bagi negara seperti Indonesia ini,
yang konfigurasi geografinya amat menantang perencanaan pembangunan harus
diorientasikan pada prinsip geopolitik bangsa Wawasan Nusantara.
Datangnya
globalisasi memang merupakan tantangan bagi azas kesatuan ekonomi, karena
banyak hal-hal yang dahulu bisa diputuskan oleh pemerintah maka sekarang ini
harus diserahkan pada kekuatan pasar global. Pemerintah memang tetap
berdaulat atas mata uang rupiah akan tetapi terhadap nilai tukarnya tidak
lagi. Tiap pemerintahan yang berusaha menetapkan nilai tukar mata
uangnya akan mendapat tekanan pasar yang luar biasa. Demikian juga
munculnya lembaga-lembaga keuangan internasional yang seakan-akan merupakan
satu entitas yang berdaulat juga menjadi tantangan tersendiri terhadap
kedaulatan dan kewibawaan negara. Padahal untuk menegakkan kewibawaan
perlu kedaulatan dan sebaliknya.
Kesatuan Sosial Budaya
Bangsa
Indonesia sesungguhnya mewujud atas dasar kesepakatan bukan atas dasar sejarah
atau geografi. Dalam BPUPKI terjadi perdebatan antara para tokoh pendiri
Republik ini tentang apa itu bangsa Indonesia dan apa itu wilayah negara
Indonesia. Ini adalah salah satu bukti bahwa bangsa dan bahkan negara
Indonesia mewujud atas dasar kesepakatan. Setelah itu terjadi berbagai
kesepakatan lain yang mengikutinya, misalnya saja tentang bentuk negara
kesatuan bukan federasi. Serangkaian kesepakatan para pendiri
Republik itulah yang seyogyanya perlu dijaga dan dijadikan commitment bersama
seluruh bangsa, karena semua kesepakatan yang telah dibuat itu merupakan
bingkai dari jatidiri bangsa, yang apabila diingkari bagian-bagiannya maka
mencairlah jatidiri itu.
Ada
sementara pakar yang ahli dalam bidangnya menyarankan bahwa apa yang ada itu,
termasuk Pancasila, jangan dikeramatkan alias dapat diubah atau ditinggalkan
sama sekali. Sebenarnya kalau akan bereksperimen sudah barang tentu tidak
ada yang melarang asalkan bukan pada tingkat bangsa dan negara.
Contoh eksperimen tingkat negara yang berbahaya adalah referendum di Timor
Timur yang tidak menyelesaikan masalah akan tetapi justru menciptakan masalah
yang baru yang lebih kompleks.
Kesatuan
sosial budaya sesungguhnya merupakan sublimasi dari rasa, faham dan semangat
kebangsaan. Tanpa memandang suku, ras dan agama serta asal keturunan,
perasaan satu dimungkinkan untuk dibentuk asal sama-sama mengacu pada wawasan
kebangsaan Indonesia sebagaimana dicontohkan oleh Soempah Pemoeda.
Pelestarian serta pengembangan
budaya daerah, ciri-ciri asli daerah, memang amat diperlukan dalam rangka
pengakaran penduduk setempat pada nilai-nilai budayanya; akan tetapi hal itu
tidaklah seharusnya mendorong munculnya sentimen ke daerah sempit. Nilai
budaya daerah memang harus dilestarikan, sebab tidak ada yang dinamakan budaya
nasional, dan pelestarian itu justru dimaksudkan sebagai bagian dari pemupukan
identitas nasional. Sejarah umat manusia telah memberikan berbagai contoh
surutnya kebesaran satu bangsa atau bahkan musnah satu suku bangsa di zaman
dahulu; dan proses itu selalu didahului oleh kemorosotan budayanya karena tidak
ada upaya pelestarian. Pada zaman modern ini terjadi pula hal yang hampir
serupa yaitu musnahnya negara Yugoslavia seperti yang kita kenal dahulu.
“Bangsa” Yugoslavia adalah hasil kesepakatan diantara para pendirinya.
Beda dengan Indonesia adalah bahwa disana tidak ada satu bahasa
melainkan 4 (empat) bahasa resmi, sehingga rasa satu berlangsung hanya selama
dapat bersandar pada Tito.
Pertentangan
agama juga secara potensial menghalangi terjadinya kesatuan sosial budaya walau
kedua belah pihak berada dalam satu suku atau bangsa, misalnya apa yang terjadi
di Irlandia Utara, Bosnia, Kosovo dan sebagainya. Karena itu amat penting
apabila pengajaran agama disekolah-sekolah formal dan non-formal perlu
diberikan masukan tentang kebangsaan dan juga sebaliknya.
Mengingat agama memberikan landasan
kekuatan iman dan moral pada setiap individu masyarakat bangsa maka niscaya hal
tersebut akan berujung pada pembentukan ketahanan pribadi masing-masing
warga, dan hal inilah yang amat bermanfaat dalam pembinaan kesatuan sosial
budaya.
Kesatuan
sosial budaya dikaitkan dengan pembentukan ketahanan pribadi merupakan
penangkalan terhadap kemungkinan terjadinya frontier. Hal ini perlu diwaspadai
karena setiap budaya mempunyai ciri atau kemampuan untuk men-subversi budaya
lain secara halus dan tak terasa terjadinya. Hanya kesatuan dan kekuatan
budayalah yang dapat menangkalnya, dan itu berarti harus dijaga secara terus
menerus agar proses pewarisan berlangsung.
Kesatuan Hankam
Makna
utama dari kesatuan Hankam adalah bahwa masalah bidang Hankam, khususnya
keamanan dan pembelaan negara adalah tanggung jawab bersama. Dengan
perkataan lain kesatuan Hankam adalah perwujudan dari demokratisasi di bidang
Hankam. Sebaliknya, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan jaminan
rasa aman dan keamanan dari pemerintah agar kewajibannya secara rela
dipenuhi. Atas dasar itulah sistem Hankamrata. Ia memiliki tiga
ciri utama yaitu:
(a) orientasinya pada
rakyat, karena memang diperuntukkan terciptanya rasa aman dan
keamanan rakyat;
(b) pelibatannya secara
semesta, yang maknanya adalah bahwa setiap warga dan setiap
fasilitas dapat
dilibatkan di dalam upaya Hankam; dan
(c) digelarnya diwilyah
nusantara secara kewilayahan, yang maknanya tiap unit wilayah
harus
diupayakan agar dapat menggalang ketahanan masing-masing.
Keuletan
dari sistem ditentukan, antara lain, oleh tersedianya dukungan logistik yang
bersumber dari rakyat/wilayah. Karena pemanfaatan setiap fasilitas perlu
dirancang secara dwi-guna, yaitu penggunaan militer dan umum/non-militer.
Tiap pembangunan jalan bebas hambatan harus menyediakan satu bagian dari
penggalannya untuk digunakan sebagai landasan darurat pesawat jenis tertentu
yang dimiliki TNI AU. Demikian juga setiap fasilitas TNI harus dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Prinsip dwi guna ini dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat. Prinsip dwi guna ini dapat membuat sistem Hankam, khususnya
logistik, menjadi lebih ulet. Azas dwi guna harus selalu melandasi
proses pembangunan agar kesatuan Hankam bisa semakin nampak nyata.
Ketangguhan
dari sistem Hankam sesungguhnya terletak pada dukungan seluruh rakyat yang
berupa keterlibatannya atas dasar kesadaran bela negara. Jika hal itu
tidak terwujud maka wibawa dari sistem Hankam akan sirna dan akan menimbulkan
hal-hal yang tidak diinginkan. Kewibawaan pemerintahpun dapat
terpengaruhi oleh karenanya.
Secara
geopolitik kesatuan Hankam bermakna bahwa di dalam negeri hanya ada TNI dan
Polri sebagai satuan pengamanan bersenjata; yang berarti tidak
diperbolehkan ada satuan bersenjata diluar itu (seperti Laskar diawal
kemerdekaan). Karena itulah maka pemilikan senjata api dilarang
terkecuali mendapat ijin dari Polri untuk digunakan bagi kepentingan
khusus. Pegawai pemerintah dengan tugas khusus juga dipersenjatai sebagai
sarana self defense mengingat bidang tugasnya yang membawa konsekuensi keamanan
bagi dirinya.
BAB
V
GEOSTRATEGI
INDONESIA
Ditempat
awalnya geostrategi diartikan sebagai geopolitik untuk kepentingan militer atau
perang. Di Indonesia geostrategi diartikan sebagai metode untuk
mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD
1945, melalui proses pembangunan nasional. Karena tujuan itulah maka ia
menjadi doktrin pembangunan dan diberi nama Ketahanan Nasional.
Mengingat geostrategi Indonesia
memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi pembangunan guna
mewujudkan masa depan yang lebih baik, lebih aman, dan sebagainya, maka ia
menjadi amat berbeda wajahnya dengan yang digagaskan oleh Haushofer, Ratzel, Kjellen
dan sebagainya.
Geostrategi
Indonesia berawal dari kesadaran bahwa bangsa dan negara ini mengandung sekian
banyak anasir-anasir pemecah belah yang setiap saat dapat meledak dan
mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam era kepemimpinan Habibie
dapat disaksikan dengan jelas bagaimana hal itu terjadi beserta
akibatnya. Tidak hanya itu saja, tatkala bangsa kita lemah karena sedang
berada dalam suasana tercabik-cabik maka serentak pulalah harga diri dan
kehormatan dengan mudah menjadi bahan tertawaan di forum internasional.
Disitulah ketidakberdayaan kita menjadi tontonan masyarakat internasional, yang
sekaligus, apabila kita sekalian sadar, seharusnya menjadi pelajaran berharga.
Apabila
dikehendaki agar hal itu tidak akan terulang lagi, maka jangan sekali-kali
memberi peluang pada anasir-anasir pemecah belah untuk berkesempatan
mencabik-cabik persatuan dan kesatuan nasional. Sentimen SARA yang
membabi buta harus ditiadakan, yang mayoritas harus berlapang dada sedangkan
minoritas haruslah bersikap proporsional tanpa harus mengurut dada.
Sekali lagi terbukti bahwa pemimpin yang kuat dan disegani serta
mengenal betul watak dari bangsa Indonesia amatlah diperlukan. Dilain
pihak masyarakat perlu menjadi arif serta pandai menahan diri dalam menghadapi
provokasi maupun rongrongan/iming-iming melalu money politics. Atas dasar
adanya ancaman yang laten, terutama dalam bentuk SARA, maka geostrategi
Indonesia sebagai doktrin pembangunan mengandung metode pembentukan keuletan
dan pembentukan ketangguhan bangsa dan negara. Kedua kualita yang
harus dibangun dan dimanfaatkan secara konsisten itu tidaklah hanya ditujukan
kepada individu warga bangsa akan tetapi juga kepada sistem, lembaga dan
lingkungan.
Masyarakat
bangsa berikut segala prasarananya harus terus dibina keuletannya agar mampu
memperlihatkan stamina dalam penangkalan terhadap anasir-anasir pemecah belah
bangsa dan negara. Dapat diantisipasikan bahwa hanya anasir-anasir
tersebut bersifat laten atau hadir sepanjang masa, maka aspek atau kualita
keuletan haruslah dikedepankan. Pembinaannyapun perlu berlanjut agar
setiap generasi yang muncul faham akan pentingnya kedua kualita tersebut.
Kita dapat saksikan bersama bahwa tiap generasi baru merupakan lahan yang subur
bagi upaya-upaya yang tidak sejalan dengan visi kebangsaan, dan ini tidak hanya
terjadi di Indoensia saja. Kemajuan yang bersifat kebendaan, apalagi yang
datang dari luar, saat ini lebih memiliki daya tarik terhadap generasi muda
dibandingkan dengan hal-hal yang sifatnya falsafah dan konsepsional.
Dilain
pihak masyarakat harus dibina ketangguhan/kekuatannya agar secara aktif serta
efektif mampu menghadapi bahaya/ancaman yang sifatnya laten tadi.
Setidak-tidaknya secara bergotong-royong dalam lingkungannya masing-masing
mampu mengcontain ancaman/bahaya laten itu. Ketangguhan/kekuatan bisa,
antara lain, berupa keberanian dari massa masyarakat menghadapi apa saja yang
mereka anggap dapat berpotensi sebagai anasir pemecah belah bangsa. Ini
sudah barang tentu memerlukan kebersamaan dan kekompakan agar lebih efektif
sebagai kekuatan penangkalan.
Integrasi
bangsa adalah pemaduan berbagai unsur kekuatan bangsa ke dalam satu jiwa
kebangsaan dengan aspirasi berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan
ketentuan konstitusi. Proses integrasi bangsa adalah unik bagi tiap
masyarakat bangsa yang sangat tergantung pada sejarah serta ciri
budayanya. Bagi masyarakat bangsa yang majemuk tetapi homogen,
seperti Amerika, proses integrasi dilaksanakan dengan metode melting pot.
Mengapa demikian, karena pada masyarakat Amerika tidak ada satupun kelompok
masyarakat yang “berhak” mengklaim satu wilayahpun sebagai tempat tinggal nenek
moyang mereka, terkecuali suku Indian, karena hampir semuanya berasal dari
keturunan imigran. Tidaklah mengherankan apabila sebagai akibat tidak
adanya ikatan historis maupun psikologis kepada wilayah maka sentimen
“kedaerahan” atau “kewilayahan” tidak terjadi. Hal yang menguntungkan ini
membuat setiap warga negara Amerika, apapun juga asal keturunannya dapat
ditempa menjadi satu dalam satu kancah apapun dan dimanapun. Memang
seorang Gubernur satu negara bagian harus dipilih diantara warga negara bagian
itu akan tetap tidak harus dipilih diantara mereka yang dilahirkan dinegara
bagian yang bersangkutan. Disini sama sekali telah ada sentimen
kedaerahan tersangkut.
Lain
halnya dengan Indonesia yang masyarakatnya majemuk tetapi heterogen, metode
melting pot tidak dapat dilakukan. Tiap suku memiliki kaitan historis dan
psikologis dengan daerah tempat tinggal nenek moyangnya. Daerah pulau
Bali seakan-akan menjadi “milik” orang Bali dan bukan “milik” warga pulau Bali
karena itu hanya orang Bali saja yang dapat dicalonkan menjadi Gubernur
Bali. Logika lanjutannya dalah bahwa hanya orang Bali saja yang bisa dan
mampu memahami budaya, adat istiadat maupun agama di daerah itu. Metode
melting pot kadang-kadang juga tidak dapat diterapkan hanya pada tataran anatar
propinsi saja, akan tetapi kadang-kadang antara Kabupaten di dalam satu
propinsi juga sukar.
Sangat
boleh jadi ini adalah warisan zaman penjajahan dahulu yang kita sekalian alpa
menanganinya. Pada zaman Belanda tapak kultur, satu suku bangsa
dijadikan propinsi, sedangkan tapak sub kultur dijadikan
karesidenan. Demikian politik devide et impera diterapkan menjadi
geopolitik kolonial untuk menciptakan sentimen kedaerahan dan apabila
memungkinkan didorong menjadi gesekan antar masyarakat pada wilayah sub kultur
atau kultur. Sayangnya geopolitik kolonial ini diwarisi, diteruskan dan
malah diperberat lagi, misalnya Propinsi Sunda Kecil dimekarkan lagi Propinsi
NTT dan NTB, kemudian dimekarkan lagi menjadi NTT, NTB dan Bali. Kini
Maluku menjadi dua propinsi di Irian Jaya menjadi tiga propinsi; dan apalagi
dikemudian hari. Alasan yang digunakan adalah efisiensi manajerial
dikaitkan dengan luas wilayah. Disini jelas nampak bahwa aspek geopolitik
tidak diperhatikan, oleh karena itu pemekaran wilayah administratif
pemerintahan akan sekaligus merupakan empat penyamaian bibit pertentangan
sosial.
Kalau
pendekatan melting pot tidak dapat diterapkan maka selayaknyalah kita kembali
pada ide kesatuan yang diletakkan oleh para pendiri Republik ini, yaitu
pendekatan kekeluargaan yang disublimasikan menjadi azas kekeluargaan
dan bahkan dalam negara kekeluargaan. Inilah sesungguhnya merupakan
turunan (derivative) dari harmoni/keseimbangan.
Didalam satu keluarga maka
kepentingan keluarga harus mendahului atau didahulukan daripada
kepentingan anggota keluarga sebagai individu. Kepentingan nasional harus
didahulukan dari kepentingan propinsi; dan pada gilirannya kepentingannya
propinsi didahulukan ketimbang kepentingan Kabupaten. Demikian seterusnya
secara berjenjang yang pada ujungnya terbawah berupa kepentingan individu yang
harus disubkoordinasikan pada kepentingan umum. Itulah idealnya.
Dalam
masyarakat heterogen dan majemuk yang berazaskan kekeluargaan, kualita keuletan
diwujudkan dalam bentuk kait mengait secara integratif (bukan secara
agregratif) menjadi jaringan kepentingan yang hierarkhis dan berjenjang.
Dengan demikian mengupayakan terwujudnya jaringan integratif (dalam semangat
gotong-royong) secara berjenjang dan berhierarkhi berskala nasional adalah
geostrategi Indonesia untuk mewujudkan dan sekaligus mempertahankan integrasi
bangsa. Sedangkan kualita ketangguhan/kekuatan diwujudkan melalui
perkuatan dari tiap entity atau pelaku integrasi bangsa.
Hal itu diwujudkan melalui
pendekatan kekuasaan (dan distribusi kekuasaan) yang terkandung dalam
geopolitik, yaitu yang berupa desentralisasi dan dikonsentrasi secara penuh dan
konsekuen. Bilamana perkuatan ini dilaksanakan secara bersungguh-sungguh
dan konsisten, ada kemungkinan tidak perlu terburu-buru mengadakan pemekaran
wilayah administratif.
Dalam
era globalisasi ini muncullah tantangan baru yang lebih “soft” atau “canggih”
yang berupa dengungan ilmiah bahwa negara bangsa atau nation state seperti
Indonesia sudah tidak memadai lagi, dan harus diganti dengan bentuk lain,
misalnya berupa negara suku (ethnic state), negara kepentingan (corporate
state) dan negara agama (religious state), dan sebagainya.
Dalam alur pikir demikian itu,
pemisahan Timor Timur dari Indonesia adalah normal dan bukan malapetaka karena
adanya kepentingan yang berbeda; demikian juga seandainya terjadi pemisahan
lainnya dimasa mendatang. Satu pertanyaan yang perlu dipikirkan
jawabannya adalah: “Apakah masuknya alur pikir diatas ke Indonesia sekadar
merupakan konsekuensi globalisasi ataukah merupakan subversi yang terencana
global?”
Geostrategi Indonesia adalah metode
yang harus digunakan dalam pencarian jawaban atas pertanyaan diatas, sebab,
bentuk-bentuk negara sebagai alternatif negara-bangsa mempunyai konsekuensi
ruang, kekuasaan maupun budaya yang berbeda.
Apapun
jawabannya, berbagai bentuk negara yang tidak sejalan dengan kesepakatan para
pendiri Republik merupakan pengingkaran terhadap commitment bersama yang
sekaligus menjadi ciri jatidiri bangsa. Disitulah diperlukan keuletan
bangsa.
Disintegrasi Bangsa
Secara
harfiah disintegrasi bangsa bermakna hilangnya kaitan integratif antar
unsur-unsur kekuatan bangsa, sehingga hubungan menjadi longgar dan pada
gilirannya azas kekeluargaan ditinggalkan. Selama periode antara
menjelang Pemilu 1999 hingga selesainya SU MPR merupakan periode di dalam mana
para elite politik mendemonstrasikan secara vulgar cara-cara menyulut
dis-integrasi bangsa. Terlalu salahkah kalau pengikutnya masing-masing
menyanyikan irama serupa?
Bila dilihat dari segi geopolitik
dan geostrategi maka anasir dis-integrasi dapat dibedakan antara anasir luar
dan dalam negeri.
1. Anasir Luar
Sejak
sirnanya Uni Soviet, Barat muncul sebagai pemenang ideologi dan sekaligus
merasa sebagai pemenang “budaya”. Dalam suasana ephoria semacam itu
muncullah keyakinan dalam masyarakat Barat bahwa nilai-nilai yang mereka anut
adalah superior dan harus dipaksakan ke seluruh jagat raya dengan rumusan bahwa
sistem nilai yang mereka anut memiliki kebenaran dan karenanya juga validitas
universal. Sebagai contoh salah satu tujuan strategi Amerika Serikat di
kawasan Asia Pacific adalah mendorong dan mendukung proses demokratisasi (tentu
saja demokratisasi sesuai dengan yang berlaku di sana). Ini adalah bagian
dari dokumen Pentagon yang logikanya hanya berwarna militer. Sudah barang
tentu tujuan itu dapat dijabarkan menjadi tindakan nyata dalam bentuk terbuka
maupun tertutup (subversi) dengan menghalalkan segala cara, dan yang paling
murah dan kecil resiko fisiknya adalah melalui uang.
Tindakan
terbuka antara lain memberikan bantuan peningkatan kualitas SDM Indonesia,
khususnya generasi muda, melalui penyediaan informasi secara luas dan terbuka,
bantuan pendidikan di luar negeri, pertukaran siswa, tenaga professional, dan
sebagainya. Upaya terbuka ini dengan sangat mudah ditumpangi dengan
muatan kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat, supremasi budaya Barat,
dan sebagainya. Bahkan pertukaran misi kebudayaanpun dapat dijadikan
wahana yang baik untuk maksud tersebut; apalagi film atau sinetron.
Sedangkan tindakan tertutup, antara lain, bisa berupa pengadudombaan antar
kekuatan dalam masyarakat, mempengaruhi pemilihan pejabat penting (apalagi
jabatan Presiden), perumusan kebijaksanaan dan sebagainya.
Usaha
merekapun mendapat dukungan berbagai peluang dalam melancarkan tindakan
subversi, antara lain, adanya bibit pertentangan yang multi dimensional
di dalam negeri, adanya kebiasaan korupsi dan money politics, dan sebagainya,
serta ditambah lagi dengan adanya kenyataan bahwa aparat intelegen serta TNI
sedang terus dihujat sehingga tumpul sekali.
Pertanyaan
lanjutannya adalah : “Apakah Indonesia akan selalu menjadi sasaran intervensi
dan subversi asing?” Jawabnya “ya”, karena beberapa hal:
a) Secara
geopolitik Indonesia “menduduki” Sea Lines of Communication (SLOC) atau alur
pelayaran vital diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindie, sehingga
Indonesia harus dibuat pro-Barat dan sekurang-kurangnya akomodatif terhadap
kepentingan barat. Terlebih lagi diantara 7 (tujuh) selat strategis
dunia, 4 (empat) berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Sudah barang
tentu, menurut pandangan geopolitik Alfred Thayer Mahan Indonesia memiliki
bargaining power yang kuat berupa choke-paints dalam pengendalian lalu lintas
laut yang melewati SLOC.
b) Dalam suasana
kecemasan pihak Barat terhadap perkembangan Islam yang dashyat, mereka melihat
Indonesia merupakan negara yang moderat. Karena itu ada kepentingan
menjaga Indonesia, agar tetap moderat dan bersahabat. Untuk itu harus
dilakukan berbagai bentuk subversi.
c) Potensi
Indonesia sebagai penjuru Asean (atau memiliki Power Position di Asia
Tenggara), dengan luas wilayah ½ (setengah) dari seluruh wilayah Asia
Tenggara. “Memegang” Indonesia berarti “memegang” Asean dan ini merupakan
aset politik yang luar biasa dalam rangka membendung pengaruh Cina yang oleh
pihak Barat dipersepsikan sebagai ancaman masa depan.
Karena itulah kita sekalian tidak
boleh naif, dengan mengganggap bahwa dalam pemilihan Presiden tidak akan
intervensi luar. Indonesia terlalu “berharga” untuk dibiarkan jatuh ke
dalam lingkaran sphere of influence yang tidak/kurang bersahabat dengan Barat.
Strategi
Dalam
menghadapi anasir-anasir luar perlu disusun satu geostrategi dengan
memperhatikan adanya kenyataan bahwa dunia telah saling terkait satu sama lain
dengan derajat transparansi yang semakin tinggi. Geostrategi itu juga dilandasi
dengan kesadaran bahwa Ketahanan Nasional saja tidaklah cukup untuk menjamin
rasa aman rakyat maupun kelangsungan pembangunan nasional, apabila tidak
didukung oleh Ketahanan Regional. Atas dasar itu maka geostrategi Indonesia
secara stereoskopis berbentuk sebagai satu Kerucut Ketahanan .
Kerucut
Ketahanan pada dasarnya merupakan satu arsitektur kerjasama, yang pada bidang
dasarnya adalah visualisasi kerjasama spatial sedangkan pada bidang vertikalnya
adalah visualisasi dari kerjasama struktural yang terproyeksikan secara
kawasan. Kerucut Ketahanan harus dibina secara bersama-sama agar manfaatnya
dapat terwujud yaitu berupa “penyangga” atau “selubung” bagi Ketahanan Nasional
kita. Arsitektur demikian ini adalah representasi dari kesadaran ruang yang
harus terus dihidupkan agar dapat menjadi acuan visi politik luar negeri
(termasuk politik perekonomian) dan politik pertahanan.
|
Ketahanan
tingkat regional, dimana para unsur pelakunya merupakan negara-negara berdaulat
hanya bisa terwujud apabila terdapat saling percaya, saling menghormati yang
diwujudkan dalam bentuk kerjasama se-erat-eratnya atas dasar manfaat bersama.
Kebersamaan yang multi-dimensional ini meliputi bidang politik, ekonomi,
kebudayaan dan keamanan. Mengingat luasnya ruang yang ada maka arsitektur kerjasama
diwujudkan secara tiga dimensional sebagai berikut :
a). Secara spasial,
ruang kepentingan dibagi menjadi Kawasan Strategis Utama,
Kawasan Strategis pertama,
Kawasan Strategis kedua dan ketiga. Masing-masing
kawasan strategis memiliki dampak yang berbeda terhadap Ketahanan Nasional
kita.
Adalah
Asean / Asia Tenggara (Kawasan A) yang kita anggap memiliki dampak paling
langsung seandainya terjadi apa-apa di dalam kawasan tersebut oleh karenanya
kepentingan kita amat vital untuk menciptakan kebersamaan dalam kawasan ini.
Karena itu seyogyanyalah kawasan Asean atau proses Asean pada
umumnya dijadikan “corner stone“ dari
politik Luar Negeri Indonesia. Demikianlah
seterusnya dengan kawasan-kawasan berikutnya yaitu B dan C yang memiliki
tingkat kesegeraan
dari dampak yang timbul di masing-masing kawasan terhadap Indonesia.
b). Secara fungsional
/ vertikal, ruang kepentingan dibagi menjadi ruang kerjasama yang
saling mendukung dengan
ruang kerjasama sub-regional (misalnya Asean) dan pada
gilirannya juga harus saling mendukung dengan
ruang kerjasama regional (misalnya
APEC, ARF dsb-nya). Kita mengetahui bahwa tiap anggota Asean menjalin
kerjasama bilateral dengan banyak negara ataupun
secara multilateral. Akan tetapi mengingat tiap anggota Asean mematuhi traktat
Asean dan TAC, maka diharap atau bahkan
dapat diasumsikan bahwa berbagai kerjasama yang dilakukan tidak
merugikan Asean ; dan bahkan memperkokoh posisi Asean. Demikian juga pada
gilirannya tiap anggota
Asean juga menjadi anggota ARF maupun APEC, maka diharapkan kedua
forum dalam cakupan ruang yang berbeda luasnya itu dapat saling
menunjang dan menambah kredibilitas Asean.
Apabila
pembentukan kerucut ketahanan merupakan geostrategi Indonesia didalam
menangkal anasir-anasir luar, maka didalamnya harus dilandasi oleh saling
percaya dan saling menghargai tadi. Untuk itu, Ketahanan Regional pada
arsitektur kerucut pada dasarnya memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
a). Ketahanan
Nasional tiap negara di dalam kerucut perlu diupayakan se-optimal
mungkin, agar dapat memberikan kontribusi
positif pada kawasannya. Asumsinya
adalah bahwa
hanya dengan Ketahanan Nasional yang baik sajalah satu negara akan
dapat memberikan peran yang bermakna pada kawasan.
Sebaliknya, apabila
in-stabilitas politik dan ekonomi terus mengguncang satu negara mana mungkin
negara bersangkutan menyisakan waktu untuk
menopang kepentingan kawasan.
b). Komitmen
terhadap asosiasi negara sekawasan haruslah utuh dan konsisten
(misalnya sesuai
TAC) agar dengan demikian kepentingan bersama (misalnya saja
Asean) tidak disubordinasikan pada kepentingan lainnya (misalnya saja
kepentingan
FPDA). Komitmen terhadap Asean akan menguat apabila organisasi ini dapat
memberikan manfaat bagi anggotanya ; setidak-tidaknya mampu memberikan
exposure internasional
yang bergengsi. Sebaliknya apabila kemanfaatan rendah
(seperti SAARC) maka jangan diharapkan terwujud komitmen yang solid. Disini
nampak bahwa
manakala komitmen bagus dari seluruh anggota asosiasi, maka kawasan yang
bersangkutan tidak akan kondusif bagi persemaian anasir-anasir
negatif bagi tiap negara anggota.
c). Kualitas
interaksi antar anggota asosiasi yang komponen-komponennya adalah
tingkat kerjasama (dalam arti kualitasnya) dan
kemauan untuk mengakomodasikan
kepentingan negara anggota lainnya di dalam kebijaksanaan nasional. Terutama
yang
terakhir ini, ia hanya dapat terwujud apabila sudah terjalin rasa saling
percaya. Sebagai contoh : kepentingan Singapura untuk menjamin
keselamatan penerbangan dari
dan ke Singapura telah diakomodasikan oleh Indonesia dalam bentuk pemberian
delagasi atas sebagian FIR Indonesia. Selain saling percaya,
kualitas interaksi juga menunjukkan adanya
komitmen yang kuat.
d). Kemampuan adaptasi
dari asosiasi terhadap fluktuasi maupun arus perkembangan lingkungan.
Sesungguhnya hal ini merupakan indikator terhadap kualitas
kebersamaan yang telah terjalin.
2. Anasir Dalam
Modernisasi
disegala bidang ternyata telah memperlebar irisan pemilahan (social cleavage)
ditengah-tengah masyarakat; sesuatu yang selalu menjadi kekhawatiran dan obsesi
para pendiri Republik. Mulai dari pemilihan bahasa nasional, yang bukan
berasal dari bahasa daerah suku yang mayoritas dapat merupakan unsur integratif
karena tidak lagi suku bangsa ini. Kita harus selalu ingat dan waspada
bahwa bangsa kita menegara adalah berkat kesepakatan, karena itu tidaklah tepat
apabila demi kemajuan demokrasi (agar mendapatkan pujian dari luar negara) semua
kesepakatan diabaikan.
Kerawanan
yang melekat pada diri bangsa setiap saat dapat mengemuka menjadi unsur
dis-integratif yang mematikan, mereka antara lain adalah:
1) Ketimpangan
pertumbuhan antara Indonesia bagian barat dengan pertumbuhan bagian timur; dan
juga antara Jawa dengan luar Jawa. Sesungguhnya hal ini bukan merupakan
kesengajaan pemerintah (sejak zaman kolonial) akan tetapi dapat dipersepsikan
secara keliru bahwa ada unsur kesengajaan dari pihak Pusat untuk menelantarkan
daerah-daerah yang kurang maju. Lebih buruk lagi, ketimpangan yang
terjadi diinterprestasikan sebagai ketidakadilan pemerintah Pusat.
Bukankah hal ini pernah memicu berbagai jenis pemberontakan bersenjata
dimasa lalu? Apa yang terjadi sekarang ini di Aceh, Maluku dan Irian Jaya
adalah merupakan pengulangan dari yang pernah terjadi, atau dapat juga
dikatakan bahwa Pusat tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalunya.
Padahal kalau dilihat secara jernih, faktor curah hujan yang lebih banyak,
tanah yang lebih subur, tersedianya tenaga terampil yang cukup mendorong
Indonesia bagian barat lebih mudah berkembang. Sedangkan untuk masalah
pemasaran, jumlah penduduk yang besar merupakan sesuatu hal yang mendorong
kegiatan perekonomian yang lebih cepat dari di timur; belum lagi sistem
sirkulasi yang baik untuk distribusi dalam negeri maupun untuk eksport.
Akan tetapi memang harus diakui bahwa kenyataan-kenyataan semacam ini akan
selalu terbenam dibawah timbunan kemarahan terhadap pemerintah pusat apalagi
kalau dicampuri oleh kehadiran para provokator seperti di Ambon dan
tempat-tempat lainnya. Rasa tentang adanya ketidakadilan (belum tentu
seluruhnya benar) ditangan para petualang poitik dapat memicu konflik SARA yang
memang merupakan social clearage bangsa kita.
2) Mencairnya
perekat kesatuan dan persatuan bangsa dibawah tekanan globalisasi dan
modernisasi yang lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat kasat mata.
Kemajuan yang antara lain ditandai oleh GNP, Income per
capita, produktivitas dalam ton/jam atau ton/luas tanah, dan sebagainya,
tidaklah mudah untuk memompakan hal-hal yang sifatnya mental ideologis.
Terlebih lagi dengan tingkah laku para remaja yang sangat menggandrungi budaya
global, maka masa depan wawasan kebangsaan sebagai perekat sosial kelihatannya
tidak terlalu menggembirakan; apalagi kalau dikaitkan dengan adanya kenyataan
bahwa lembaga pendidikan hanya menyuguhkan pengajaran saja. Keadaan
semacam ini membuka peluang yang amat luas bagi kemerosotan kedaulatan bangsa
didalam menghadapi tantangan mendatang yang antara lain berbentuk
individualisme yang sangat diametral dengan azas kekeluargaan. Tidaklah
terlalu mengherankan bahwa rasa dilibas oleh logika dalam kaitannya dengan
Pancasil, antara dengan mengatakan bahwa ideologi bukanlah merupakan salah satu
syarat bagi berdirinya satu negara karena itu buat apa dipertahankan, apalagi
dikeramatkan. Itulah kira0kira argumentasi dari generasi mendatang yang
hidup dalam dunia tanpa batas.
3) Primordialisme
sebagai strategi politik dengan tujuan untuk menekan lawan atau pemaksaan
kehendak. Ini adalah pemanfaatan secara licik kerawan bangsa yang amat
mengkhawatirkan oleh kelompok politik yang tidak yakin bahwa tujuan politiknya
dapat tercapai, apapun penyebabnya.
Pada saat kampanye pemilu tiba atau pada saat menjelang dan
selama sidang umum MPR maka terjadilah tontonan yang berupa pemanfaatan
kelompok-kelompok primordial sebagai pressure group dengan berbagai
caranya. Ditingkat daerah terjadi hal yang sama pada saat pemilihan
kepala daerah, terutama ditingkat satu. Apabila kejadian semacam ini
berlangsung lama atau dalam frekuensi yang semakin meninggi maka irisan
pemilahan sosial dapat berubah menjadi jurang lebar yang menghalangi persatuan
dan kesatuan bangsa.
Dengan
memahami anasir-anasir dalam dan luar negeri seperti diuraikan diatas, maka hal
yang paling jelek bagi Indonesia adalah apabila anasir dalam ditumpangi oleh
anasir luar. Ada semacam kecurigaan bahwa hal itu bisa terjadi setiap
saat apabila kondisi didalam negeri diwarnai oleh konflik politik
berkepanjangan, dan rule of law tidak berjalan. Memahami itu semua maka
diperlukan satu strategi pembinaan masyarakat.
Strategi
Untuk
mewujudkan pembinaan keuletan dan ketangguhan bangsa didalam menghadapi
tuntutan dan tantangan masa depan perlu disusun strategi sebagai berikut:
a. Jalur Pembinaan
1)
Strategi pembinaan setiap individu, dimaksudkan untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya yang berwawasan nasional, dilaksanakan dengan
strategi 4 (empat) jalur, yaitu:
a)
Jalur pembinaan keluarga, ditujukan untuk menjangkau para pemuda dan remaja
dalam menghayati norma-norma moralita bangsa didalam suasana lingkungan
keluarga.
Upaya ini diharapkan agar sejak awal dapat menanamkan
masalah kebangsaan, rasa kebangsaan serta kerukunan hidup berkeluarga dan
bermasyarakat.
b)
Jalur pembinaan pendidikan, ditujukan untuk secara formal membina keuletan dan
ketangguhan yang diselaraskan dengan tingkat serta perkembangan daya pikir
serta pemikiran anak didik.
c)
Jalur pembinaan lingkungan kerja ditujukan untuk menjangkau lapisan masyarakat
yang berada pada tingkatan umur kerja. Dengan menggunakan pendekatan
persuasif dan promotif terhadap pimpinan lingkungan kerja secara tepat
diharapkan jalur ini akan paling efektif. Disini terdapat kesempatan
untuk menjangkau secara luas setiap kepala keluarga; sehingga keberhasilan pada
jalur ini akan membantu jalur pembinaan keluarga.
d)
Jalur pembinaan lingkungan pergaulan, dimaksudkan untuk menjangkau lapisan
masyarakat yang tidak terjangkau melalui ketiga jalur pembinaan lainnya.
2)
Strategi pembinaan masyarakat dimaksudkan untuk mengendalikan agar perkembangan
masyarakat dan pergeserannya tidak menyimpang dari moralita bangsa serta
kondusif bagi terlaksanakannya kebijaksanaan pokok.
Strategi pembinaan 2 (dua) jalur mencakup:
a)
Jalur pembinaan langsung, ditujukan untuk memperoleh hasil langsung secara
lebih cepat dengan menggunakan/melalui perangkat organisasi pemerintahan,
organisasi kemasyarakatan yang ada. Peranan pemerintah sangat aktif dan
besar dalam rangka pencapaian hasil segera. Metode yang digunakan antara
lain berupa tatap muka, pemerataan, pengaturan, perijinan dan
kewenangan-kewenangan lain yang dimiliki pemerintah.
b)
Jalur pembinaan tidak langsung, ditujukan untuk merangsang dan menumbuh-kembangkan
kesadaran masyarakat. Penumbuhan motivasi ini dilaksanakan melalui media
massa, tokoh-tokoh pimpinan informasi, ormas serta orpol dan sebagainya.
3)
Strategi Pembinaan Kelembagaan
Pembinaan kelembgaan dimaksudkan untuk menciptakan
kelancaran pembangunan nasional dan dengan demikian juga pemantapan dan
peningkatan Ketahanan Nasional.
Keberhasilan pembangunan nasional hanya mungkin diwujudkan
manakala lembaga-lembaga yang terlibat dalam pembangunan nasional yang terancam
secara komprehensif integral.
Strategi pembinaan kelembagaan ditempuh melalui 2 (dua)
jalur yaitu:
a)
Jalur pembinaan perangkat lembaga, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan
setiap lembaga yang terlibat dalam proses pembangunan pada semua aspek
berbangsa dan bernegara.
Termasuk didalamnya adalah pengembangan kelengkapan
personil, keahlian personil, mekanisme kerja dan memantapkan koordinasi
vertikal, horizontal dan diagonal.
Pemantapan peranan tiap lembaga juga mendapatkan prioritas
pembinaannya agar terwujud semua mata rantai lembaga yang utuh.
b)
Jalur pembinaan kemampuan manajerial, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan
manajerial tiap pejabat pemerintah maupun swasta di dalam bidang pekerjaan
masing-masing.
Khusus untuk sektor swasta pembinaan kemampuan manajerial
ini juga ditujukan untuk menumbuhkan kewiraswataan dikalangan masyarakat.
4)
Strategi Pembinaan Lingkungan
Pembinaan lingkungan dimaksudkan untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif terhadap pembangunan nasional maupun terhadap
kehidupan masyarakat.
Strategi pembinaan 2 (dua) jalur meliputi:
a)
Jalur pembinaan dampak positif dari lingkungan guna menciptakan dan memperbesar
peluang-peluang yang bermanfaat bagi upaya pembangunan maupun bagi kehidupan
dan penghidupan masyarakat.
b)
Jalur penggalangan dampak negatif dari lingkungan untuk menekan akibat dari
dampak negatif tersebut agar tetap berada dibawah ambang toleransi keamanan dan
pengamanan.
No comments:
Post a Comment