A.
Membumikan Aswaja
Dinamika
dan dialektika antara konservatisme yang selalu menengok Islam di masa lalu di
satu sisi dan progresivisme, yang selalu ingin merekonstruksi Islam di sisi
lain, adalah sebuah cerita yang tak kunjung padam dalam sejarah kehidupan
dunia. Terlepas dari bagaimana persetujuan umat Islam atas pembaharuan dalam
diskursus gerakan kultural menurut Muhammad Iqbal sesungguhnya Islam menolak
pandangan-pandangan kuno yang statis dan sangat mendorong pandangan baru yang
dinamis.
Dalam konteks ahl al-sunnah wa al-jama’ah persoalan ini telah menemukan jawabanya. Melalui adagium yang sangat kita kenal “Almukhafadzotu ‘ala al-qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jaddi al-aslah”, Aswaja sesungguhnya hendak memberikan semacam solusi alternatif dari pertikaian antara konservatisme dan progresivisme di atas. Yang menjadi persoalan adalah adanya ketidak seimbangan antara praktek “Almukhafadzotu ‘ala al-qodim al-shalih dan praktek al-akhdzu bi al-jaddi al-aslah. Praktek dan pemahaman “Almukhafadzotu ‘ala al-qodim al-shalih seakan telah menjadi sangat hegemonik , begitu inheren dan sudah terinternalisasi dalam nalar kehidupan umat, sedangkan kerja-kerja praksis dari al-akhdzu bi al-jaddi al-ashlah sepertinya terabaikan.
Dari situ, pertanyaanya adalah, apakah dengan begitu Aswaja menjadi kehilangan pijakan karena tidak punya pegangan jelas? Jawabanya tentu “tidak”. Tradisi masa lalu yang kita ambil adalah tradisi yang terbaik saja, dan kita harus selalu mencari yang lebih baik. Moderatisme Aswaja sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab II bukanlah moderatisme yang berhenti. Moderatisme juga mengandaikan penerimaan nilai-nilai baru yang terus berkembang seusai tantangan zaman. Ibarat sebuah kelereng moderataisme adalah intinya bila kelereng semakin besar (karena zaman semakin maju) maka inti kelereng itupun harus semakin besar (Said Aqil,1997: 43).
Disadari atau tidak, derasnya arus globalisasi yang tidak bisa dikendalikan ternyata telah mengubah kebudayaan kita melebihi angan-angan kita. Sebagaimana diungkapkan Lucyan W. Pyie, modernisme adalah budaya dunia. Arus besar yang berproses sangat mondial ini tercipta karena beberapa hal: (1) teknologi maju dan semangat ilmiah; (2) pandangan hidup yang irasional; (3) pendekatan yang sekuler alam hubungan-hubungan sosial; (4) keadilan sosial yang semakin kuat; dan (5) keyakinan arus utama politik melalui transformasi nation state.
Sementara itu pada taraf individual, manusia modern sebagimana dicirikan Alex Lukes, seorang guru besar sosiologi di Harvard University, senantiasa memiliki sifat : (1) kesiapan menerima pengalaman-pengalaman baru dan keterbukaan terhadap pembaharuan; (2) kecenderungan membuat opini mengenai sejumlah besar isu yang muncul; (3) orientasi terhadap opini bercorak demokratis; (4) lebih berorientsi pada masakini dan masa depan daripada masa lampau; (5) berpijak pada perencanaan organiasai dalam menangani kehidupan; (6) efektif; (7) menjunjung harkat diri dan senantiasa memberikan penghargaan terhadap orang lain; (8) berkeyakian pada ilmu dan teknologi; dan (9) memegang teguh keyakinan terhadap keadilan distributif.
Bila kita amati sesungguhnya ahl al-sunnah wal al-jama’ah sebagai nalar berfikir dalam memotret kehidupan modern tidaklah mendapatkan kendala, asalkan kita bisa memahami Aswaja secara kontekstual dengan “wajah baru”. Wajah baru Aswaja inilah yang perlu terus kita gulirkan dan kita bumikan secara massif.
Dalam konteks ahl al-sunnah wa al-jama’ah persoalan ini telah menemukan jawabanya. Melalui adagium yang sangat kita kenal “Almukhafadzotu ‘ala al-qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jaddi al-aslah”, Aswaja sesungguhnya hendak memberikan semacam solusi alternatif dari pertikaian antara konservatisme dan progresivisme di atas. Yang menjadi persoalan adalah adanya ketidak seimbangan antara praktek “Almukhafadzotu ‘ala al-qodim al-shalih dan praktek al-akhdzu bi al-jaddi al-aslah. Praktek dan pemahaman “Almukhafadzotu ‘ala al-qodim al-shalih seakan telah menjadi sangat hegemonik , begitu inheren dan sudah terinternalisasi dalam nalar kehidupan umat, sedangkan kerja-kerja praksis dari al-akhdzu bi al-jaddi al-ashlah sepertinya terabaikan.
Dari situ, pertanyaanya adalah, apakah dengan begitu Aswaja menjadi kehilangan pijakan karena tidak punya pegangan jelas? Jawabanya tentu “tidak”. Tradisi masa lalu yang kita ambil adalah tradisi yang terbaik saja, dan kita harus selalu mencari yang lebih baik. Moderatisme Aswaja sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab II bukanlah moderatisme yang berhenti. Moderatisme juga mengandaikan penerimaan nilai-nilai baru yang terus berkembang seusai tantangan zaman. Ibarat sebuah kelereng moderataisme adalah intinya bila kelereng semakin besar (karena zaman semakin maju) maka inti kelereng itupun harus semakin besar (Said Aqil,1997: 43).
Disadari atau tidak, derasnya arus globalisasi yang tidak bisa dikendalikan ternyata telah mengubah kebudayaan kita melebihi angan-angan kita. Sebagaimana diungkapkan Lucyan W. Pyie, modernisme adalah budaya dunia. Arus besar yang berproses sangat mondial ini tercipta karena beberapa hal: (1) teknologi maju dan semangat ilmiah; (2) pandangan hidup yang irasional; (3) pendekatan yang sekuler alam hubungan-hubungan sosial; (4) keadilan sosial yang semakin kuat; dan (5) keyakinan arus utama politik melalui transformasi nation state.
Sementara itu pada taraf individual, manusia modern sebagimana dicirikan Alex Lukes, seorang guru besar sosiologi di Harvard University, senantiasa memiliki sifat : (1) kesiapan menerima pengalaman-pengalaman baru dan keterbukaan terhadap pembaharuan; (2) kecenderungan membuat opini mengenai sejumlah besar isu yang muncul; (3) orientasi terhadap opini bercorak demokratis; (4) lebih berorientsi pada masakini dan masa depan daripada masa lampau; (5) berpijak pada perencanaan organiasai dalam menangani kehidupan; (6) efektif; (7) menjunjung harkat diri dan senantiasa memberikan penghargaan terhadap orang lain; (8) berkeyakian pada ilmu dan teknologi; dan (9) memegang teguh keyakinan terhadap keadilan distributif.
Bila kita amati sesungguhnya ahl al-sunnah wal al-jama’ah sebagai nalar berfikir dalam memotret kehidupan modern tidaklah mendapatkan kendala, asalkan kita bisa memahami Aswaja secara kontekstual dengan “wajah baru”. Wajah baru Aswaja inilah yang perlu terus kita gulirkan dan kita bumikan secara massif.
Wajah
baru Aswaja yang mestinya dimaknai dan dibumikan secara lebih konkret pada
ranah sosial bukanlah Aswaja yang diyakini sebagai madzhab melainkan hanya sebagai
metode fikir (manhaj al-fikr) semata. Lebih dari sekadar itu, Aswaja juga
seharusnya mampu dijadikan sebagai motor perubahan (manhaj al-taghayyur).
Karena jika Aswaja tetap dimaknai hanya sekadar madzhab yang beku dan stagnan,
maka ia tidak akan mampu mengawal dan mampu membawa perubahan menuju peradaban
baru.
Aswaja
yang eksklusif, ketat dan cenderung pada kebenaran absolut harus diubah menjadi
lebih inklusif, lunak dan cenderung pada kebenaran yang relatif. Upaya ini juga
perlu dikontekstualisasikan berdasarkan ruh spirirt al-Quran dan hadis.
Perubahan ini pun harus mengikutsertakan kebenaran yang didasarkan kepada ilmu
pengetahuan (analisis historis-rasional). Dengan demikian diharapkan akan
memunculkan penalaran an mendapati kebenaran baru yang lebih mencerahkan.
Pada
sisi lain anggapan bahwa Sunni adalah satu-satunya yang paling “Islam”
sementara yang lain tidaklah dianggap Islam adalah sesuatu yang harus
diluruskan. Pada mulanya memang penganut paham Aswaja secara ketat membatasi
pada Asy’ari dan Maturidi dalam bidang aqidah, empat imam (Syafi’i, Hambali,
Hanafi dan Maliki) dalam bidang fikih serta Junaidi dan al-Ghozali dalam
tasawuf. Wawasan dasar atas kesadaran tersebut haruslah dirombak sehingga tidak
lagi memaknai yang Islam adalah hanya Sunni. Pengikut Aswaja model baru harus
memiliki wawasan dan cakrawala berpikir yang luas dan pluralis.
Watak
tradisional-konservatif menjadi model Aswaja yang selama ini diyakini oleh
penganutnya. Watak ini cenderung pasrah pada keadaan yang dianggap sebagai takdir,
misalnya ketimpangan sosial yang terjadi hanya dimaknai sebagai takdir dari
Tuhan tanpa melihat kontruksi sosiologis sebuah masyarakat dan struktur
kebijakan. Sementara itu wajah baru dari watak Aswaja yang hendak dibumikan
adalah rasional-progresif. Sifat ini lebih aktif dan asketis, sehingga
ketimpangan sosial selalu dapat diurai dan dicarikan solusinya tanpa harus
mengedepankan sikap “nrimo ing pandum” dan meyakininya sebagai takdir Tuhan
yang tidak bisa diganggu gugat, melainkan sesuatu yang masih dapat disiasati
berdasarkan logika dan kesadaran atas realitas sosial yang dihadapi.
Dalam konteks hubungan sosial, “Aswaja baru” yang hendak dibumikan menekankan pada substansi dan orisionalitas gagasan bukan menekankan pada siapa penemu (status actor). Sementara pada wajah masa lalu hubungan sosial Aswaja lebih mengedepankan otoritas kyai dan ulama. Nilai-nilai kharismatik sangat menonjol dan cenderung feodal. Sikap inilah yang sepatutnya diubah menuju sikap yang lebih demokratis dan egaliter.
Rumusan wajah Aswaja yang demikianlah, yang sepatutnya menjadi spirit gerakan pelajar IPNU untuk menjalankan gerakannya. Tanpa didasari atas upaya pemaknaan ulang terhadap Aswaja dan masih meletakkannya hanya sebatas pada doktrin ajaran madzhab yang semu dan beku, maka gerakan pelajar tidak akan mampu menjalankan peran sosialnya dengan lebih visioner dan mencerahkan.
Dalam konteks hubungan sosial, “Aswaja baru” yang hendak dibumikan menekankan pada substansi dan orisionalitas gagasan bukan menekankan pada siapa penemu (status actor). Sementara pada wajah masa lalu hubungan sosial Aswaja lebih mengedepankan otoritas kyai dan ulama. Nilai-nilai kharismatik sangat menonjol dan cenderung feodal. Sikap inilah yang sepatutnya diubah menuju sikap yang lebih demokratis dan egaliter.
Rumusan wajah Aswaja yang demikianlah, yang sepatutnya menjadi spirit gerakan pelajar IPNU untuk menjalankan gerakannya. Tanpa didasari atas upaya pemaknaan ulang terhadap Aswaja dan masih meletakkannya hanya sebatas pada doktrin ajaran madzhab yang semu dan beku, maka gerakan pelajar tidak akan mampu menjalankan peran sosialnya dengan lebih visioner dan mencerahkan.
B.
Aswaja Sebagai Ideologi Perlawanan
Sejarah
perubahan sosial yang terjadi di belahan dunia manapun, selalu meniscayakan
adanya ideologi yang bergerak di dalamnya. Ideologi tersebut dijadikan ruh dan
spirit menuju perubahan yang dicita-citakannya. Tanpa ideologi yang mengikat
massanya, maka perubahan sulit terwujud. Sifat dasar ideologi yang mengikat dan
hegemonik itulah yang semestinya memberikan jalan besar menuju perubahan.
Sebagai contoh, perubahan dan beristiwa besar di abad pertengahan dan modern,
mesti selalu melibatkan emosi dan dentuman ideologi yang berkecamuk. Majunya
peradaban Eropa modern setelah terkungkung lama oleh gereja merupakan ujung tombak
dari ideologi yang dianutnya saat itu hingga sekarang yaitu Kapitalisme.
Pascarevolusi Inggris dan revolusi industri yang menyergap belahan Eropa,
menjadikan Kapitalisme sebagai paham baru, yang dianggapnya akan mengantarkan
kemajuan peradaban bagi umat manusia.
Meskipun demikian, kemunculan sebuah ideologi juga memberikan antitesis dan reaksi terhadap kemunculan ideologi baru. Dalam hal ini, Sosialisme dan Komunisme di Eropa, selanjutnya dipuja bak dewa bagi kalangan proletar yang terpinggirkan oleh gelombang kapitalisme. Dua ideologi besar itupun bertarung dan meyakini ideologinyalah yang paling benar.
Pada saat itu, gerakan Sosialisme cukup massif melawan hegemoni penguasa yang berselingkuh dengan kekuatan modal. Dengan ditunjang finansial yang memadai, dan kenikmatan yang dijanjikan oleh Sosialisme, maka penguasa akan mengeluarkan kebijakan yang sama sekali tidak populis dan menyengsarakan rakyat. Logika dasar Kapitalisme yang menghendaki untuk mendapatkan keuntungan yang seluas-luasnya menjadi spirit untuk “menghalalkan” segala cara asal keuntungan selalu dapat diraih, termasuk pula berkorporasi dengan pemegang kebijakan, yaitu penguasa.
Dalam konteks Indonesia, perubahan sosial dimulai sejak awal abad XX (lihat Bab III). Perubahan tersebut ternyata juga tidak lepas dari pengaruh gerakan Sosialisme yang muncul di Eropa. Pada masa Kolonial tersebut bangsa Indonesia menemukan momentumnya untuk bangkit dari penindasan penjajah. Hasilnya adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang menjadi mercusuar bangkitnya gerakan kaum muda untuk mengambil peran nasionalismenya.
Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, setiap perubahn yang terjadi mesti melibatkan ideologi yang mempengaruhinya. Sebagai contoh pada tahun 1966 dan 1998 terjadi proses pergeseran politik yang tidak semata-mata didasarkan pada keinginan untuk merebut kekuasaan, akan tetapi juga usaha untuk “meminta” hak kemanusiaan yang telah dikebiri oleh penguasa. Kenaikan harga, korupsi, kolusi, nepotisme, krisis politik dan pengingkaran atas hak-hak warga negara menjadi pemantik bagi meletusnya gerakan sosial yang akan terus berproses secara alamiah.
Meskipun demikian, kemunculan sebuah ideologi juga memberikan antitesis dan reaksi terhadap kemunculan ideologi baru. Dalam hal ini, Sosialisme dan Komunisme di Eropa, selanjutnya dipuja bak dewa bagi kalangan proletar yang terpinggirkan oleh gelombang kapitalisme. Dua ideologi besar itupun bertarung dan meyakini ideologinyalah yang paling benar.
Pada saat itu, gerakan Sosialisme cukup massif melawan hegemoni penguasa yang berselingkuh dengan kekuatan modal. Dengan ditunjang finansial yang memadai, dan kenikmatan yang dijanjikan oleh Sosialisme, maka penguasa akan mengeluarkan kebijakan yang sama sekali tidak populis dan menyengsarakan rakyat. Logika dasar Kapitalisme yang menghendaki untuk mendapatkan keuntungan yang seluas-luasnya menjadi spirit untuk “menghalalkan” segala cara asal keuntungan selalu dapat diraih, termasuk pula berkorporasi dengan pemegang kebijakan, yaitu penguasa.
Dalam konteks Indonesia, perubahan sosial dimulai sejak awal abad XX (lihat Bab III). Perubahan tersebut ternyata juga tidak lepas dari pengaruh gerakan Sosialisme yang muncul di Eropa. Pada masa Kolonial tersebut bangsa Indonesia menemukan momentumnya untuk bangkit dari penindasan penjajah. Hasilnya adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang menjadi mercusuar bangkitnya gerakan kaum muda untuk mengambil peran nasionalismenya.
Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, setiap perubahn yang terjadi mesti melibatkan ideologi yang mempengaruhinya. Sebagai contoh pada tahun 1966 dan 1998 terjadi proses pergeseran politik yang tidak semata-mata didasarkan pada keinginan untuk merebut kekuasaan, akan tetapi juga usaha untuk “meminta” hak kemanusiaan yang telah dikebiri oleh penguasa. Kenaikan harga, korupsi, kolusi, nepotisme, krisis politik dan pengingkaran atas hak-hak warga negara menjadi pemantik bagi meletusnya gerakan sosial yang akan terus berproses secara alamiah.
Tumbangnya
Orde Baru ternyata tidak cukup menjadi jaminan bagi terbentuknya civil society
sebagimana yang diidam-idamkan oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Krisis
ekonomi yang berkepanjangan telah menjalar bak virus penyakit yang menggeroti
sisi-sisi kehidupan kenegaraan kita yang lain. Mulai dari krisis politik,
budaya bahkan pada krisis moral dan pengetahuan. Di sisi lain terbukanya kran
demokrasi, selain telah membebaskan masyarakat dari logika penyeragaman Orde
Baru yang salah satunya adalah “ideologi” asas tunggal Pancasila, ternyata juga
telah dimanfaatkan oleh beberapa kalangan menjadi wadah kebebasan yang tanpa
batas. Beberapa kelompok memaksakan keyakinannya atas ideologi tertentu untuk
dijadikan konstitusi negara yang plural ini. Hanya berdasarkan atas logika
bahwa umat Islam di Indonesia merupakan kelompok mayoritas dan dibarengi dengan
pemahaman ajaran Islam yang dangkal, mereka melakukan “perlawanan” terhadap
negara dengan mengkampanyekan syari’at Islam sebagai dasar negara. Fenomena ini
bila dibiarkan lebih jauh sesungguhnya akan menjadi bom waktu yang akan
meluluhlantakkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan nasional. Egoisme sektarian
yang diusung sangat ekslusif dan mengingkari kenyataan perbedaan dengan anak
bangsa lain sebagai sunatullah.
Di sinilah menstinya Aswaja memiliki peran strategis sebagai ideologi alternatif yang berdasarkan ajaran Islam tanpa harus mengebiri realitas perbedaan di luar dirinya. Aswaja setidaknya mampu dijadikan sebagai ideologi terbuka bagi perbedaan apapun, karena sesungguhnya di sanalah makna rahmatan li al-’alamin Islam akan menemukan relevansinya. Tanpa memandang curiga dan menyebarkan kebencian. Pemaknaan Aswaja model baru inilah yang patut kiranya dikembangkan lebih luas.
Di sinilah menstinya Aswaja memiliki peran strategis sebagai ideologi alternatif yang berdasarkan ajaran Islam tanpa harus mengebiri realitas perbedaan di luar dirinya. Aswaja setidaknya mampu dijadikan sebagai ideologi terbuka bagi perbedaan apapun, karena sesungguhnya di sanalah makna rahmatan li al-’alamin Islam akan menemukan relevansinya. Tanpa memandang curiga dan menyebarkan kebencian. Pemaknaan Aswaja model baru inilah yang patut kiranya dikembangkan lebih luas.
Sebagaimana
diketahui bahwa dasar nilai yang dijadikan landasan dalam resolusi konflik
Aswaja adalah mengacu pada lima pokok tujuan syariat yaitu lima prinssip hak
asasi manusia (HAM) yang harus ditegakkan menjadi nilai dasar gerakan sosial.
Kelima asas tesebut dikenal dengan istilah ushul al-khamsah yaitu:
1.
Hifdz al-Din
Nilai
ini dapat dimaknai bahwa Aswaja selalu menjamin keberadaan dan keberlangsungan
agama-agama dunia, dan memberikan kebebasan untuk mengekspresikan keberagamaan
bagi umat yang menganutnya. Pemahaman yang salah adalah bahwa hifdz al-din
hanya dimaknai sekadar menjaga keberlangsungan agama Islam saja. Karena
sesungguhnya agama Islam justru mengajarkan la iqroha fi al-din, tidak ada
paksaan dalam ber-agama.
Beragama adalah hak yang paling asasi dalam kehidupan. Setiap orang bebas untuk memeluk agama apapun atau bahkan untuk tidak memeluk agama sekalipun. Sebab agama adalah pilihan hakiki yang tidak ada seorang pun dapat memaksanya. Aswaja memberikan toleransi tidak saja pada pemeluk agama-agama besar dunia, melainkan juga agama-agama lokal, agama-agama suku dan aliran kebatinan. Oleh karena itu setiap upaya untuk melakukan upaya pemaksaan harus dilawan sebab ia bertentangan dengan prinsip kebebasan dan kemanusiaan yang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Sebab agama menurut ahl al-sunah wal a-jama’ah hanyalah simbol formal, yang penting adalah substansi nilainya.
Beragama adalah hak yang paling asasi dalam kehidupan. Setiap orang bebas untuk memeluk agama apapun atau bahkan untuk tidak memeluk agama sekalipun. Sebab agama adalah pilihan hakiki yang tidak ada seorang pun dapat memaksanya. Aswaja memberikan toleransi tidak saja pada pemeluk agama-agama besar dunia, melainkan juga agama-agama lokal, agama-agama suku dan aliran kebatinan. Oleh karena itu setiap upaya untuk melakukan upaya pemaksaan harus dilawan sebab ia bertentangan dengan prinsip kebebasan dan kemanusiaan yang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Sebab agama menurut ahl al-sunah wal a-jama’ah hanyalah simbol formal, yang penting adalah substansi nilainya.
2.
Hifdz al-Nafs wa al-Ird
Menjaga
teraktualisasinya hak-hak kemanusiaan dan melakukan kehendak atas segala
sesuatu menjadi nilai penting dari misi dan substansi Aswaja. Aswaja tidak akan
tinggal diam ketika hak-hak asasi manusia diingkari oleh penguasa maupun
kelompok masyarakat tertentu di samping itu Aswaja juga memberi ruang ekspresi
bagi terciptanya kreatifitas budaya manusia.
Oleh karena itulah pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan apapun termasuk mengatasnamakan penegakan syari’at haruslah dilawan. Ketika konsepsi teologis agama apa pun bertentengan dengan HAM maka yang harus ditinjau adalah konsepsi teologis itu. Penegakan harkat kemanusiaan harus selalu dikedepankan di atas agenda-agenda lain yang tidak jarang menginjak-injak kemanusiaan itu sendiri. Aswaja harus melakukan perlawan terhadap kekerasan dalam bentuk apapun dan atas nama apapun sebab kekerasan adalah pengingkaranm terhadap nilai-nilai luhur Islam.
Oleh karena itulah pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan apapun termasuk mengatasnamakan penegakan syari’at haruslah dilawan. Ketika konsepsi teologis agama apa pun bertentengan dengan HAM maka yang harus ditinjau adalah konsepsi teologis itu. Penegakan harkat kemanusiaan harus selalu dikedepankan di atas agenda-agenda lain yang tidak jarang menginjak-injak kemanusiaan itu sendiri. Aswaja harus melakukan perlawan terhadap kekerasan dalam bentuk apapun dan atas nama apapun sebab kekerasan adalah pengingkaranm terhadap nilai-nilai luhur Islam.
3.
Hifdz al-Aql
Dalam
ranah pengetahuan, Aswaja menghargai kebebasan berpikir. Artinya Aswaja
sesungguhnya menghargai rasionaliatas. Manusia dikarunia akal untuk
dipergunakanya sebaik mungkin. Memikirkan dunia dan merubahnya. Kebebasan
berfikir menjadi penting karena di sanalah sesungguhnya eksistensi manusia
dipertaruhkan. Orang yang tidak berfikir sesungguhnya ia tidak sedang hidup.
Aswaja membela kebebsan berfikir bukan untuk menuhankan akal melainkan untuk membuktikan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan manusia yang berakal. Berpikir rasional adalah ekspresi keagamaan tertinggi sebab ia sedang melakukan perjalanan intelektual-religius. Menurut Aswaja, Rasionalisme bukanlah paham yang buruk sebab rasionalisme merupakan bentuk peningkatan kualitas kehidupan. Meskipun kebebasan berpikir tampak sering bertentangan dengan dogma-dogma agama namun sesungguhnya di sanalah letak keberagamaan tertinggi sebab berfikir rasional adalah sedang mencari kebenaran secara otentik. Karena itulah maka Aswaja menentang keras pengekangan rasionalitas dan pengebirian akal atas nama apapun, termasuk atas nama agama.
Aswaja membela kebebsan berfikir bukan untuk menuhankan akal melainkan untuk membuktikan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan manusia yang berakal. Berpikir rasional adalah ekspresi keagamaan tertinggi sebab ia sedang melakukan perjalanan intelektual-religius. Menurut Aswaja, Rasionalisme bukanlah paham yang buruk sebab rasionalisme merupakan bentuk peningkatan kualitas kehidupan. Meskipun kebebasan berpikir tampak sering bertentangan dengan dogma-dogma agama namun sesungguhnya di sanalah letak keberagamaan tertinggi sebab berfikir rasional adalah sedang mencari kebenaran secara otentik. Karena itulah maka Aswaja menentang keras pengekangan rasionalitas dan pengebirian akal atas nama apapun, termasuk atas nama agama.
4.
Hifdz al-Nasl
Dunia
ini diciptakan secara plural baik dalam hal etnis, keturunan ras atau apapun.
Akan tetapi Aswaja memandang bahwa semua itu adalah rahmat yang harus kita
junjung tinggi bersama-sama. Kita diciptakan berbeda karena memang garis
keturunan kita berbeda. Tetapi kita mengemban amanat yang sama yaitu amanat
kemanusiaan. Demikian pula Islam, diciptakan untuk semua. Maka ia harus
dibumikan dalam lokalitasnya dan tidak boleh disaturagamkan. Islam Indoneia
bukanlah Islam Arab. Islam Jawa bukan Islam Papua, sebab Islam tidak akan
pernah bertentangan dengan budaya lokal. Budaya lokal merupakan local wisdom
yang harus dijunjung tinggi.
Di samping itu, Aswaja juga melawan sistem “kasta“ yang melanggengkan kekuasan keturunan atau dinasti. Hal ini karena akan semakin menjauhkan jurang antar-satu keturunan dengan keturunan yang lain. Hal ini bertentangan dengan prinsip Islam yang memandang manusia sebagai sama di hadapam Tuhan.
Di samping itu, Aswaja juga melawan sistem “kasta“ yang melanggengkan kekuasan keturunan atau dinasti. Hal ini karena akan semakin menjauhkan jurang antar-satu keturunan dengan keturunan yang lain. Hal ini bertentangan dengan prinsip Islam yang memandang manusia sebagai sama di hadapam Tuhan.
5.
Hifdz al-Mal
Prinsip
dasar yang kelima adalah bahwa Aswaja menjamin dan menjaga kepemilikan. Menjaga
harta benda bukan sekadar dimaknai menjamin dan menjaga kepemilikan. Namun di
luar itu adalah Aswaja juga melakukan penyadaran bahwa ada kewajiban-kewajiban
sosial yang harus seimbang dengan kepemilikan. Hak-hak fakir miskin dan kaum
dhu’afa perlu terus diperjuangkan.
Hifdz al-mal juga dimaknai bahwa Aswaja akan selalu mengawal dan menjaga aset kekayaan negara -yang dalam hal ini berarti menjaga kekayaan rakyat. Proses penjagaan dan pengembangan aset baik berupa tanah, air dan udara, flora maupun fauna suatu bangsa, adalah suatu kewajiban bersama. Begitu pula dalam proses pengeloloaan dan pendistribusian kekayaan negara, Aswaja akan selalu aktif mengawal dan mengkontrol agar pengelola negara tidak gegabah dalam membawa amanat rakyat. Dalam konteks ini, artinya Aswaja secara tegas akan melawan secara sungguh-sungguh terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam bentuk apapun, oleh siapapun dan atas nama apapun.
Hifdz al-mal juga dimaknai bahwa Aswaja akan selalu mengawal dan menjaga aset kekayaan negara -yang dalam hal ini berarti menjaga kekayaan rakyat. Proses penjagaan dan pengembangan aset baik berupa tanah, air dan udara, flora maupun fauna suatu bangsa, adalah suatu kewajiban bersama. Begitu pula dalam proses pengeloloaan dan pendistribusian kekayaan negara, Aswaja akan selalu aktif mengawal dan mengkontrol agar pengelola negara tidak gegabah dalam membawa amanat rakyat. Dalam konteks ini, artinya Aswaja secara tegas akan melawan secara sungguh-sungguh terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam bentuk apapun, oleh siapapun dan atas nama apapun.
Kelima
nilai dasar yang seyogyanya menjadi landasan paradigmatik untuk melakukan
perubahan tersebut adalah keniscayaan untuk meraih peradaban yang lebih
menghargai kemanusiaan. Diakui atau tidak, konsepsi tersebut terejawantahkan
dari nilai-nilai yang terdapat dalam doktrin Mu’tazilah, akan tetapi Aswaja
harus mampu mengekspresikannya menjadi nilai yang lebih aplikatif dan
transformatif.
Sementara itu dalam memahami realitas kehidupan sosial-masyarakat, Aswaja secara sosiologis menetapkan prinsip-prinsip yang dikenal dengan mabadi khoiru ummah yang berisi: Pertama, al-tawazun (selaras dan seimbang). Bahwa dalam kehidupan sosial harus ada keimbangan antara ranah teori dan ranah aksi, antara konsep dan aplikasi. Aswaja tidak menghendaki gagasan-gagasan yang melangit yang tercerabut dari akarnya. Realitas haruslah menjadi pijakan dalam setiap menentukan pilihan dan kebijakan. Dalam aras ini suatu pengetahuan harus disejajarkan dan dikontekstualisasikan dengan realitas zamannya. Termasuk dalam hal ini pula pemaknaan agama tidak boleh berhenti tetapi harus diselaraskan dengan penguasaan teknologi yang terus maju dan berkembang.
Kedua, al-tawasuth (moderat, berada di tengah tengah). Pemaknaan moderat bukanlah dimaknai secara statis, tetapi lebih dinamis. Artinya “tengah-tengah” yang dimaksud adalah inti (pusat) dari sebuah peradaban dunia. Jadi dalam memandang realitas sosial Aswaja lebih memosisikan diri sebagai pusat perubahan. Aswaja menjadi pilihan alternatif dari segala persoalan kemasyarakatan. Jadi, moderat yang dimaksud bisa diibaratkan bahwa pandangan Aswaja bukan berada di tengah-tengah garis yang linear, meliankan lebih dipahami sebagai inti bola peradaban.
Ketiga, al-tasamuh (toleran terhadap setiap perbedaan). Dalam hal ini toleransi dalam menghadapi dan melihat berbagai pluralitas dan kemajemukan baik budaya, agama, adat istiadat dan karakter dalam masyarakat adalah sebuah pilihan sikap yang paling relevan. Di sinilah Aswaja menganggap pluralisme sebagai sebuah keniscayaan yang harus terus dipupuk dan dikembangkan.
Keempat, al-i’tidal (menjunjung tingi prinsip keadilan). Dalam setiap realitas sosial masyarakat di manapun, keadilan dan ketidakadilan pasti selalu muncul. Aswaja sebagai paham sejak awal berdirinya telah menegaskan bahwa keadilan dimuka bumi ini harus ditegakkan. Keadilan adalah prinsip yang wajib ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya yang kelima, al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘ani al-munkar. Komitmen untuk menyeru dan mengajak (al-amru) dengan cara yang baik (bi al-makruf) dan mencegah dari kemungkaran adalah prinsip yang ditawarkan Aswaja dalam rangka melaksanakan tugas profetik setiap manusia. Kebaikan haruslah disemai dan disebarluaskan namun dengan cara yang baik pula. Bukan dengan cara pemaksaan dan penghakiman sepihak, namun dengan contoh dan suritauladan yang baik (wa al-mauidzoh al-khasanah). Begitu juga dalam rangka mengurangi kemungkaran, pencegahan adalah hal yang lebih baik. Sementara dalam rangka pemberian sangsi, Aswaja menegakan hukum dengan sangat tegas dan sangat adil tanpa mengkebiri hak-hak kemanusiaan.
Dua nilai dasar di atas; ushul al-khamsah dan mabadi’ khoiro ummah dengan pemaknaan barunya yang lebih progresif, adalah sebuah “manifesto” bagi seluruh penganut paham Aswaja. Melalui manifesto inilah Aswaja menemukan relenvasinya sebagai sebuah “ideologi perlawanan” yang tak terbantahkan. Ideologi yang akan menjadi ruh bagi sebuah progresifitas baru suatu gerakan. Melalui ideologi perlawanan (Aswaja) ini pula, maka segala ketimpangan, kekuatan dan kekuasaan despotik di manapun dan dalam bentuk apapun dengan sendirinya akan berhadapan vis a-vis dengan penganut ideology Aswaja ini.
Sementara itu dalam memahami realitas kehidupan sosial-masyarakat, Aswaja secara sosiologis menetapkan prinsip-prinsip yang dikenal dengan mabadi khoiru ummah yang berisi: Pertama, al-tawazun (selaras dan seimbang). Bahwa dalam kehidupan sosial harus ada keimbangan antara ranah teori dan ranah aksi, antara konsep dan aplikasi. Aswaja tidak menghendaki gagasan-gagasan yang melangit yang tercerabut dari akarnya. Realitas haruslah menjadi pijakan dalam setiap menentukan pilihan dan kebijakan. Dalam aras ini suatu pengetahuan harus disejajarkan dan dikontekstualisasikan dengan realitas zamannya. Termasuk dalam hal ini pula pemaknaan agama tidak boleh berhenti tetapi harus diselaraskan dengan penguasaan teknologi yang terus maju dan berkembang.
Kedua, al-tawasuth (moderat, berada di tengah tengah). Pemaknaan moderat bukanlah dimaknai secara statis, tetapi lebih dinamis. Artinya “tengah-tengah” yang dimaksud adalah inti (pusat) dari sebuah peradaban dunia. Jadi dalam memandang realitas sosial Aswaja lebih memosisikan diri sebagai pusat perubahan. Aswaja menjadi pilihan alternatif dari segala persoalan kemasyarakatan. Jadi, moderat yang dimaksud bisa diibaratkan bahwa pandangan Aswaja bukan berada di tengah-tengah garis yang linear, meliankan lebih dipahami sebagai inti bola peradaban.
Ketiga, al-tasamuh (toleran terhadap setiap perbedaan). Dalam hal ini toleransi dalam menghadapi dan melihat berbagai pluralitas dan kemajemukan baik budaya, agama, adat istiadat dan karakter dalam masyarakat adalah sebuah pilihan sikap yang paling relevan. Di sinilah Aswaja menganggap pluralisme sebagai sebuah keniscayaan yang harus terus dipupuk dan dikembangkan.
Keempat, al-i’tidal (menjunjung tingi prinsip keadilan). Dalam setiap realitas sosial masyarakat di manapun, keadilan dan ketidakadilan pasti selalu muncul. Aswaja sebagai paham sejak awal berdirinya telah menegaskan bahwa keadilan dimuka bumi ini harus ditegakkan. Keadilan adalah prinsip yang wajib ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya yang kelima, al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘ani al-munkar. Komitmen untuk menyeru dan mengajak (al-amru) dengan cara yang baik (bi al-makruf) dan mencegah dari kemungkaran adalah prinsip yang ditawarkan Aswaja dalam rangka melaksanakan tugas profetik setiap manusia. Kebaikan haruslah disemai dan disebarluaskan namun dengan cara yang baik pula. Bukan dengan cara pemaksaan dan penghakiman sepihak, namun dengan contoh dan suritauladan yang baik (wa al-mauidzoh al-khasanah). Begitu juga dalam rangka mengurangi kemungkaran, pencegahan adalah hal yang lebih baik. Sementara dalam rangka pemberian sangsi, Aswaja menegakan hukum dengan sangat tegas dan sangat adil tanpa mengkebiri hak-hak kemanusiaan.
Dua nilai dasar di atas; ushul al-khamsah dan mabadi’ khoiro ummah dengan pemaknaan barunya yang lebih progresif, adalah sebuah “manifesto” bagi seluruh penganut paham Aswaja. Melalui manifesto inilah Aswaja menemukan relenvasinya sebagai sebuah “ideologi perlawanan” yang tak terbantahkan. Ideologi yang akan menjadi ruh bagi sebuah progresifitas baru suatu gerakan. Melalui ideologi perlawanan (Aswaja) ini pula, maka segala ketimpangan, kekuatan dan kekuasaan despotik di manapun dan dalam bentuk apapun dengan sendirinya akan berhadapan vis a-vis dengan penganut ideology Aswaja ini.
C.
Aswaja dan Ikhtiar Reparadigmatisasi Gerakan IPNU
Sebagai
organisasi kader di bawah “payung” NU, peranan IPNU sangat strategis dalam
melahirkan warna kader nahdliyin untuk tampil di panggung kompetisi nasional
dan internasional. IPNU harus secara jitu mempopulerkan ideologi Aswaja di
kalangan pelajar secara intensif dan komprehensif. Untuk mencapai agenda itu,
IPNU harus membangun jaringan kerja dengan sekolah-sekolah umum yang bonafied,
yang berbasis di perkotaan. Pada saat yang sama IPNU juga harus membangun
jejaring dengan organ-organ pelajar lain baik yang berbasis Islam maupun
non-Islam sekalipun.
Untuk mewujudkan gerakan IPNU yang dinamis perlu pemahaman ulang setiap warga IPNU tentang makna IPNU yang dilahirkan oleh founding fathersnya melalui tiga aspek besar, yaitu ontologi IPNU, epistimologi IPNU dann aksiologi IPNU.
Untuk mewujudkan gerakan IPNU yang dinamis perlu pemahaman ulang setiap warga IPNU tentang makna IPNU yang dilahirkan oleh founding fathersnya melalui tiga aspek besar, yaitu ontologi IPNU, epistimologi IPNU dann aksiologi IPNU.
Untuk
menjelaskan makna ontologi (hakikat) IPNU dilahirkan, harus bertumpu pada
semangat, cita-cita perjuangan NU serta cita-cita bangsa Indonesia. Sebagai
organisasi Pelajar IPNU harus tampil dengan karakteristik dan cirri khas
organisasinya.
Pada
dasarnya akar epistemologi IPNU sudah terkandung dalam Prinsip Gerakan Pelajar
yang menjadi garis perjuangannya, yaitu pembumian nilai-nilai ahl a-sunnah wa
al-jama’ah dengan wajah barunya di atas. Basis ideologi itulah yang menjadi ruh
organiasasi dalam rangk melakukan kerja-kerja peradabannya.
Sedangkan
aksiologi IPNU adalah penguatan gerakan pelajar dalam rangka melakukan
perubahan sosial baik struktural maupun kultural. Perubahan struktural adalah
perubahan yang dimulai dari perubahan sistem dan kebijakan public. Di sinalah
kerja-kerja advokasi pelajar menemukan tempatnya. Dalam bidang pendidikan
misalnya, bagaimana IPNU harus mendesakkan kebijakan-kebijakan yang memihak
pada masyarakat arus bawah agar hak pendidikan mereka bisa terealisir.
Sementara itu kerja-kerja kultural harus tetap dilakukan dengan melakukan penguatan individu pelajar dengan meningkatkan kapisitas intelektual, potensi diri dan profesionalitasnya. Kerja-kerja kultural ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari agenda IPNU masa depan, tentu dengan landasan ideologis yang penulis tawarkan. Di sini jugalah IPNU harus melakukan pencerahan intelektual bagi para kadernya yang sesuai dengan konteks zaman.
Sementara itu kerja-kerja kultural harus tetap dilakukan dengan melakukan penguatan individu pelajar dengan meningkatkan kapisitas intelektual, potensi diri dan profesionalitasnya. Kerja-kerja kultural ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari agenda IPNU masa depan, tentu dengan landasan ideologis yang penulis tawarkan. Di sini jugalah IPNU harus melakukan pencerahan intelektual bagi para kadernya yang sesuai dengan konteks zaman.
Tawaran
filosofis di atas merupakan ikhtiar reparadigmatisasi gerakan IPNU yang
menumpukan gerakannya pada ideologi Aswaja. Di sinilah “Aswaja baru”,
sebagaimana rekonstruksinya diupayakan melalui buku ini menjadi paradigma baru
bagi IPNU untuk melakukan kerja-kerja peradabannya. Pada bagian berikutnya akan
dipaparkan bagaimana IPNU dengan ideologi Aswaja memotret dan menyikapi isu-isu
aktual yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan dunia
pelajar.
D.
IPNU di Tengah Pusaran Problem Aktual
Gerakan
pelajar IPNU dalam melakukan ”gugatan” atas ketimpagan sosial pada dasarnya
adalah sedang dalam rangka melakukan tugas profetik guna terpenuhinya
kesetaraan dan keadilan bagi setiap anak bangsanya. Upaya ini menemui cadas dan
karang batu yang begitu kokoh dan hegemonik baik berupa negara maupun struktur
pengetahuan masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini, negara menjadi ”musuh”
dalam ranah struktural dan kesadaran masyarakat menjadi ”musuh” dalam ranah
kultural.
- Problem Pendidikan
Dewasa ini terjadi penurunan kualitas pendidikan di
Indonesia yang mengkhawatirkan. Pendidikan tidak lagi mendapatkan prioritas
utama oleh negara sebagai lokomotif perubahan. Hal ini dibuktikan dengan
semakin tidak konsistennya negara dalam mengusung isu pendidikan. Kebijakan
dunia pendidikan yang senantiasa berubah mengindikasikan betapa carut marutnya
sistem pendidikan nasional. Ada beberapa hal yang patut mendapatkan perhatian
IPNU sebagai organisasi kader di level pelajar menanggapi isu pendidikan.
Sesuai amanat konstitusi, anggaran nasional untuk dunia pendidikan adalah sebesar 20% dari ABPN. Akan tetapi pada realitasnya, anggaran pendidikan senantiasa dikebiri oleh kepentingan negara dan mengalihkannya untuk anggaran belanja negara yang lain. Hal ini meniscayakan dunia pendidikan hanya mendapatkan jatah sisa dari serangkaian pengeluaran APBN. Konsekuensi logis dari itu adalah minimnya anggaran untuk dunia pendidikan. Realisasi yang terjadi di lapangan menunjukkan data yang sangat jauh dari harapan. Anggaran pendidikan secara nasional yang dikucurkan pemerintah ternyata tidak lebih dari 5 % dari APBN. Kenyataan yang sangat memprihatinkan tersebut, juga harus melalui kenyataan yang sulit dimengerti. Anggaran yang sangat kecil untuk sebuah cita-cita besar tersebut harus melaui banyak “pintu” dan terus mengalami penyunatan. Mentalitas korupsi juga bersarang di dunia pendidikan. Patut disayangkan, jika pendidikan yang semestinya menjadi prioritas utama untuk membawa perubahan di negeri ini, masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Maka jika terus demikian, bangsa ini akan berjalan lambat dan tertinggal jauh dengan negara-negara maju yang menghargai pendidikan sebagai amanat penting untuk membawa perubahan bagsanya.
Dalam kerangka itu, IPNU diharapkan mampu menjadi punggawa di garda depan untuk mengawal anggaran pendidikan. Tanpa anggaran pendidikan yang memadahi, sangat mustahil melahirkan kualitas pendidikan yang baik. Tanpa kualitas pendidikan yang baik, maka mustahil pula terwujud peradaban bangsa yang berhasil. Wujud nyata dari amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus digelorakan, salah satu isu pentingnya adalah memberikan anggaran pendidikan nasional yang proporsional, demi kemajuan bangsa ini.
Sesuai amanat konstitusi, anggaran nasional untuk dunia pendidikan adalah sebesar 20% dari ABPN. Akan tetapi pada realitasnya, anggaran pendidikan senantiasa dikebiri oleh kepentingan negara dan mengalihkannya untuk anggaran belanja negara yang lain. Hal ini meniscayakan dunia pendidikan hanya mendapatkan jatah sisa dari serangkaian pengeluaran APBN. Konsekuensi logis dari itu adalah minimnya anggaran untuk dunia pendidikan. Realisasi yang terjadi di lapangan menunjukkan data yang sangat jauh dari harapan. Anggaran pendidikan secara nasional yang dikucurkan pemerintah ternyata tidak lebih dari 5 % dari APBN. Kenyataan yang sangat memprihatinkan tersebut, juga harus melalui kenyataan yang sulit dimengerti. Anggaran yang sangat kecil untuk sebuah cita-cita besar tersebut harus melaui banyak “pintu” dan terus mengalami penyunatan. Mentalitas korupsi juga bersarang di dunia pendidikan. Patut disayangkan, jika pendidikan yang semestinya menjadi prioritas utama untuk membawa perubahan di negeri ini, masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Maka jika terus demikian, bangsa ini akan berjalan lambat dan tertinggal jauh dengan negara-negara maju yang menghargai pendidikan sebagai amanat penting untuk membawa perubahan bagsanya.
Dalam kerangka itu, IPNU diharapkan mampu menjadi punggawa di garda depan untuk mengawal anggaran pendidikan. Tanpa anggaran pendidikan yang memadahi, sangat mustahil melahirkan kualitas pendidikan yang baik. Tanpa kualitas pendidikan yang baik, maka mustahil pula terwujud peradaban bangsa yang berhasil. Wujud nyata dari amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus digelorakan, salah satu isu pentingnya adalah memberikan anggaran pendidikan nasional yang proporsional, demi kemajuan bangsa ini.
Problem kebijakan pendidikan memang bukan persoalan yang
baru di Indonesia. Berdasarkan Undang Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003
tercermin sistem pendidikan yang mengklasifikasikan anak didik dalam kategori
tertentu sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemerintah kolonial yang
penjajah negeri ini. Anak (peserta) didik dikelompokkan berdasarkan kelas
sosialnya ditengah masyarakat. Maka, implikasinya adalah munculnya “sekolah
elit” dan “sekolah alit”. Hanya orang-orang kelas elit sajalah yang dapat
menembus sekolah-sekolah favorit dan terbaik negeri ini. Mereka yang memiliki
modal ekonomi cukup dengan sangat mudah menentukan sekolah sesuai dengan
seleranya. Kaum “ningrat” ini senantiasa diuntungkan oleh kebijakan negara yang
selalu berpihak dengan mereka. Materi pendidikannya pun disesuaikan dengan selera
pasar dan dunia internasional.
Di pihak lain, kelompok yang berada pada kelas sosial rendah, hanya mendapatkan sekolah-sekolah kelas dua dengan materi dan kurikilum seadanya. Mereka dibiarkan stagnan oleh mekanisme dan sistem yang mengaturnya. Pada tahap inilah maka, pendidikan yang didapatkan adalah sesuatu yang sudah usang dan tidak mendapatkan materi baru sesuai dengan semangat zaman yang ada saat ini. Masyarakat kelas dua ini pula yang sesuangguhnya menghiasi wajah pendidikan Indonesia secara umum. Mayoritas mereka hanya mendapatkan “sekolah urban” yang agaknya lebih mendingan daripada sekolah tradisional berbasiskan madrasah dan pesantren. Namun pada prinsipnya, mereka tetap berada pada posisi yag sama sebagai sub-ordinat dari sekolah-sekolah elit dan kosmopolit di kota-kota besar. Sistem pendidikan inilah yang dipraktekkan kaum kolonialis, yang memetakan para peserta didik, berdasarkan latarbelakang sosial dan kemampuan ekonomi. Jika negara terus mengadopsi model ini, maka akan sulit lahir intelektual yang memang berangkat dari realitas kedaerahan dan bangsanya untuk memperjuangkan kesejahteraan tanah airnya. Yang ada adalah kelas intelektual yang terus akan mendukung mekanisme pasar dan kapitalisme global.
Di pihak lain, kelompok yang berada pada kelas sosial rendah, hanya mendapatkan sekolah-sekolah kelas dua dengan materi dan kurikilum seadanya. Mereka dibiarkan stagnan oleh mekanisme dan sistem yang mengaturnya. Pada tahap inilah maka, pendidikan yang didapatkan adalah sesuatu yang sudah usang dan tidak mendapatkan materi baru sesuai dengan semangat zaman yang ada saat ini. Masyarakat kelas dua ini pula yang sesuangguhnya menghiasi wajah pendidikan Indonesia secara umum. Mayoritas mereka hanya mendapatkan “sekolah urban” yang agaknya lebih mendingan daripada sekolah tradisional berbasiskan madrasah dan pesantren. Namun pada prinsipnya, mereka tetap berada pada posisi yag sama sebagai sub-ordinat dari sekolah-sekolah elit dan kosmopolit di kota-kota besar. Sistem pendidikan inilah yang dipraktekkan kaum kolonialis, yang memetakan para peserta didik, berdasarkan latarbelakang sosial dan kemampuan ekonomi. Jika negara terus mengadopsi model ini, maka akan sulit lahir intelektual yang memang berangkat dari realitas kedaerahan dan bangsanya untuk memperjuangkan kesejahteraan tanah airnya. Yang ada adalah kelas intelektual yang terus akan mendukung mekanisme pasar dan kapitalisme global.
Pada ranah inilah IPNU memiliki tugas agung untuk terus
menyurakan agar sistem pendidikan nasional kita dapat berimbang dan menghargai
lokalitas. Hanya dengan itulah, diharapkan akan lahir kaum intelektual yang
tidak buta dengan realitas tanah air dan bangsanya sendiri.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah adanya
kurikulum berbasis kompetensi. Mekanisme sitem pembelajaran ini senantiasa
terus berubah mengikuti kebijakan yang diambil oleh Mendiknas, yang juga terus
berganti. Di sinilah konsistensi mekanisme pembelajaran seolah-olah hanya
dijadikan kelinci percobaan yang ditentukan oleh pengambil kebijakan. Negara
tidak memiliki piranti yang jelas dan sarana operasional yang memadahi untuk
menjalankan kebijakan yang telah dibuatnya dalam ranah pendidikan.
Pengkajian kembali secara kritis dan obyektif terhadap kurikulum berbasis kompetensi (KBK) harus segera dilakukan. Karena sesungguhnya mekanisme pembelajaran itu, ternyata hanya untuk menyokong keberlangsungan kapitalisme. Ini dibuktikan bahwa, orientasi dari kompetensi berujung pada persaingan dunia global yang memilih pasar dan kapital sebagai kiblatntya. Implikasinya adalah anak didik diharapkan mampu mengolah pengetahuan yang selanjutnya difungsikan untuk menopang kejayaan kapitalisme. Sementara itu mereka lalai dengan realitas sosial yang sesungguhnya dihadapi, yakni tentang ketertindasan, kemiskinan, kebodohan, dan lain sebagainya yang menghimpit diri dan komunitas bangsanya.
Oleh karena itu, IPNU harus berani untuk menyuarakan kurikulum berbasis realitas. Ini dianggap signifikan guna menjamin terwujudnya pendidikan yang tidak tercerabut dari akar kesejarahan dan realitas sosialnya. Kurikulum berbasis realitas meniscayakan bahwa sumber pengetahuan akan bergerak dari pengalaman yang dihadapai oleh setiap peserta didik. Dengan demikian mereka dapat membecahkan persoalan yang dihadapi bangsanya menuju perubahan yang lebih baik.
Pengkajian kembali secara kritis dan obyektif terhadap kurikulum berbasis kompetensi (KBK) harus segera dilakukan. Karena sesungguhnya mekanisme pembelajaran itu, ternyata hanya untuk menyokong keberlangsungan kapitalisme. Ini dibuktikan bahwa, orientasi dari kompetensi berujung pada persaingan dunia global yang memilih pasar dan kapital sebagai kiblatntya. Implikasinya adalah anak didik diharapkan mampu mengolah pengetahuan yang selanjutnya difungsikan untuk menopang kejayaan kapitalisme. Sementara itu mereka lalai dengan realitas sosial yang sesungguhnya dihadapi, yakni tentang ketertindasan, kemiskinan, kebodohan, dan lain sebagainya yang menghimpit diri dan komunitas bangsanya.
Oleh karena itu, IPNU harus berani untuk menyuarakan kurikulum berbasis realitas. Ini dianggap signifikan guna menjamin terwujudnya pendidikan yang tidak tercerabut dari akar kesejarahan dan realitas sosialnya. Kurikulum berbasis realitas meniscayakan bahwa sumber pengetahuan akan bergerak dari pengalaman yang dihadapai oleh setiap peserta didik. Dengan demikian mereka dapat membecahkan persoalan yang dihadapi bangsanya menuju perubahan yang lebih baik.
- Problem Sosial-Budaya
Dalam ranah sosial-budaya beragam persoalan muncul bak jamur
di musim penghujan. IPNU dengan ideologi Aswaja harus mampu mengambil peran strategis
untuk membebaskan masyarakat dari jebakan kemunduran sosial. Globalisasi yang
menjamah negara dunia ketiga, termasuk pula Indonesia, meninggalkan ironi-ironi
sosial yang membuat prihatin dan mengiris kemanusiaan kita. Oleh karena itu
upaya sungguh-sungguh, terpola, paradigmatik, dan visioner harus segera
dilakukan oleh IPNU sebagai penerus amanat tugas kenabian saat ini.
Salah satu problem sosial yang menghimpit bangsa ini adalah
persoalan eksistensi kaum lemah yang senantiasa terpinggirkan. Realitas bangsa
ini menunjukkan bahwa hampir sebagaian besar penduduk Indonesia adalah mereka
yang dikategorikan sebagai wong cilik. Kalangan rakyat yang senantiasa dikebiri
dan dibodohi oleh penguasa tersebut, jika ditilik lebih jauh adalah mereka yang
berkhidmat pada organisasi sosial keagamaan bernama NU. Mereka terdiri dari
buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan seterusnya senantiasa mendapati
kebijakan negara yang tidak populis.
Oleh karena itu, sebagai kaum terdidik dan anak kandung Nahdlatul Ulama, IPNU memiliki tanggung jawab untuk mengambil peran dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat agar lebih layak. Karena di tangan kaum muda-nyalah masa depan Nahdlatul Ulama dipertaruhkan. Sudah saatnya pula IPNU siap mengemban tugas profetik ini demi kebaikan umat.
Lain halnya dengan problematika dikalangan rakyat “proletar”, satu hal lain yang perlu dicermati adalah media massa kita yang anti realitas. Setali tiga uang, rakyat yang semakin menderita disuguhi acara media yang selalu menghadirkan mimpi yang tak pernah dicapainya. Media massa, baik cetak maupun elektronik memiliki posisi strategis bagi perubahan sosial. Namun cukup disayangkan, selama ini media massa justru seringkali tidak mengambil peran tersebut. Sebagai contoh, saat ini banyak bermunculan acara di televisi yang sesungguhnya anti realitas. Mereka membangun kesadaran semu akan sebuah kemewahan dan kesejahteraan. Dominasi kepentingan kapitalisme sangat terasa di beberapa acara tersebut. Bahkan acara yang sejatinya berkait dengan nilai-nilai spiritualitas agama telah ditunggangi dengan kepentingan kapitalisme. Dengan demikian pada akhirnya kita hanya disuguhi mimpi yang jauh dari realitas kita sendiri.
Oleh karena itu, sebagai kaum terdidik dan anak kandung Nahdlatul Ulama, IPNU memiliki tanggung jawab untuk mengambil peran dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat agar lebih layak. Karena di tangan kaum muda-nyalah masa depan Nahdlatul Ulama dipertaruhkan. Sudah saatnya pula IPNU siap mengemban tugas profetik ini demi kebaikan umat.
Lain halnya dengan problematika dikalangan rakyat “proletar”, satu hal lain yang perlu dicermati adalah media massa kita yang anti realitas. Setali tiga uang, rakyat yang semakin menderita disuguhi acara media yang selalu menghadirkan mimpi yang tak pernah dicapainya. Media massa, baik cetak maupun elektronik memiliki posisi strategis bagi perubahan sosial. Namun cukup disayangkan, selama ini media massa justru seringkali tidak mengambil peran tersebut. Sebagai contoh, saat ini banyak bermunculan acara di televisi yang sesungguhnya anti realitas. Mereka membangun kesadaran semu akan sebuah kemewahan dan kesejahteraan. Dominasi kepentingan kapitalisme sangat terasa di beberapa acara tersebut. Bahkan acara yang sejatinya berkait dengan nilai-nilai spiritualitas agama telah ditunggangi dengan kepentingan kapitalisme. Dengan demikian pada akhirnya kita hanya disuguhi mimpi yang jauh dari realitas kita sendiri.
Selain itu merebaknya, tren budaya Barat yang terus
menggerogoti nilai dan spiritualitas ketimuran juga sangat menghawatirkan. Tren
budaya Barat, yang mengkampanyekan tentang sesuatu yang mudah, instan, menarik
selalu menjadi perhatian kalangan kaum muda kita. Mereka tanpa sadar terus
digiring menuju pada kesadaran semu yang berkiblat pada kapitalisme. Sehingga
banyak jalur pintas yang pada akhirnya menjerembab kesadaran mereka akan
realitas tanah airnya sendiri.
Berdasarkan kegelisahan tersebut IPNU harus berani mengambil
sikap untuk merespon realitas tersebut. Salah satunya adalah menyerukan kepada
para pengambil kebijakan untuk meninjau kembali acara-acara televise dan media
lain yang justru anti realitas dengan bangsanya sendiri.
- Problem “Teologis”
Wilayah lain yang perlu diperhatikan adalah persoalan di
wilayah agama. Salah satunya adalah adanya penolakan paham pluralisme dan
liberalisme di Indonesia dewasa ini yang seharusnya dicermati lebih arif dan
dewasa. Beberapa komunitas Islam menyerukan untuk menolak berkembangnya
pluralisme dan liberalisme di negeri yang majemuk dan heterogen ini. Menolak pluralisme
pada prinsipnya justru terjebak pada penolakan terhadap sunnatullah, yakni
berupa perbedaan. Melalui MUI, sebagian masyarakat Islam menolak pluralisme.
Mereka perbandangan pluralisme justeru menggelincirkan seseorang untuk menjadi
murtad.
Jika dipahami secara utuh, pluralisme dapat diletakkan pada
dua prinsip yang berbeda, yaitu pluralisme teologis, dan pluralisme sosial.
Pluralisme teologis meniscayakan adanya penghormatan kepada setiap pemeluk
agama menjalankan perintah agama yang diyakininya. Dalam kerangka ini tidak
dimaksud untuk mencampuradukkan ajaran agama, sebagaimana yang dimaksud oleh
beberapa kalangan. Dengan demikian, agama tetap dijalankan sebagaimana mestinya
oleh penganutnya masing-masing. Sementara pluralisme sosial adalah kesadaran atas
kenyataan hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Dengan demikian, interaksi
sosial masyarakat beragama satu dengan yang lain akan menciptakan harmoni bila
satu sama lain saling menghargai.
Sementara itu liberalisme, adalah watak yang akan semakin
mendewasakan seseorang dan bangsanya. Tanpa kesadaran liberal, maka komunitas
masyarakat akan jumud, dan akan terbatas pada hal-hal yang sudah beku, dan
puritan. Oleh karena itu, dalam rangka menatap realitas sosial yang senantiasa
berubah, maka prinsip liberalisme menjadi penting untuk di kedepangan sebagai
mata pisau perubahan sosial yang dicita-citakan.
IPNU dengan idelogi Aswaja mengedepankan paham pluralisme,
memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal kesadaran pluralisme ini di tengah
masyarakat. Demikian pula dengan liberalisme sebagai sebuah keharusan untuk
menentukan langkah perubahan bangsa menjadi lebih baik. Dengan demikian,
bersama Aswaja yang telah dikonstruksi lebih rasional dan progresif inilah IPNU
diharapkan mampu mengambil peran kesejarahannya di tengah problematika bangsa
saat ini.
- Politik Mutakhir
Demokratisasi tengah berlangsung di negeri ini. Perubahan
sistem politik menjadi bagian dari reformasi kehidupan kenegaran Indonesia.
Pemilihan presiden secara langsung telah diselenggarakan dengan sukses oleh
bangsa ini. Prestasi politik ini sudah diakui oleh dunia internasional. Kini,
demokratiasi politik terus bergulir. Setelah pemilihan presiden, pemilihan
kepala daerah juga dilaksanakan secara langsung. Memang itu sebuah keharusan
bagi demokrasi sejati. Namun itu bukan berarti tanpa konsekuensi. Benturan arus
bawah menjadi hantu yang mencekam di sekirar pilkada langsung. Berbagai kasus
yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini menunjukkan hal ini.
Oleh karena itu IPNU sebagai kekuatan terpelajar harus
memberikan dorongan bagi terciptanya pilkada yang damai, beradab dan
mencerdaskan. Kekerasan dalam pilkada harus “dilawan”. Hal ini karena
sebagaimaan pada pemaparan dalam bagian sebelumnya, kekerasan bertentangan
dengan Islam. IPNU dengan kekutan ideologi Aswajanya yang non-violence harus
menjadi garda depan dalam membangun budaya politik yang anti-kekerasan. Karena
itulah pendidikan politik anti-kekeraan menjadi penting dilakuan.
Di sisi lain, pilkada langsung harus mencermintan budaya bangsa yang jujur. Karena itulah money politic sebagai musuh bersama dalam proses politik dan demokrasi harus dilawan. Dalam menghadapi ini, IPNU juga berpegang dengan idealogi Aswaja, terutama dengan prisip amar makruf nahi munjkar. Money politik adalah bentuk kemunkaran dalam politik. Money politic akan mengnurangi kualitas pemimpian mada depan dana merugikan watak bangsa.
Intinya, IPNU dengn basis ideologinya harus menjadi bagian dari gerakan pelajar yang memeberikan pencerahan pada masyarakat untuk menunaikan setiap proses politik yang demoktaris. Pilkada langsung harus menjadi ajang demokrasi yang sehat. Demikian juga proses poiltik nasional secara umum. Bangsa Indonesia harus mempertahankan reputasi politiknya yang telah suksus dengan pilpres langsungnya.
Di sisi lain, pilkada langsung harus mencermintan budaya bangsa yang jujur. Karena itulah money politic sebagai musuh bersama dalam proses politik dan demokrasi harus dilawan. Dalam menghadapi ini, IPNU juga berpegang dengan idealogi Aswaja, terutama dengan prisip amar makruf nahi munjkar. Money politik adalah bentuk kemunkaran dalam politik. Money politic akan mengnurangi kualitas pemimpian mada depan dana merugikan watak bangsa.
Intinya, IPNU dengn basis ideologinya harus menjadi bagian dari gerakan pelajar yang memeberikan pencerahan pada masyarakat untuk menunaikan setiap proses politik yang demoktaris. Pilkada langsung harus menjadi ajang demokrasi yang sehat. Demikian juga proses poiltik nasional secara umum. Bangsa Indonesia harus mempertahankan reputasi politiknya yang telah suksus dengan pilpres langsungnya.
No comments:
Post a Comment