Popular Posts

Sunday 20 September 2015

KEBEBASAN PERS ERA REFORMASI DI INDONESIA

Sejak era Reformasi, pers di Indonesia dapat bernafas lega dalam alam kebebasan. Gerakan reformasi politik,ekonomi dan social ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.Selama 32 tahun, rezim Orde Baru telah “memanfaatkan” pers atau media massa sebagai alat perjuangan politiknya. Pers telah dipakai sebagai alat propaganda pembangunan ekonomi yang menjadi jargon utama dari rezim Orde Baru. Kritik hubungan negara dan media dikemukakan Edward S.Herman dan Chomsky yang memandang media sebagai mesin propaganda yang mengolah persetujuan bagi tatanan sosial politik yang berlaku (dalam Idi Subandy Ibrahim,2004:71)..
            Pada masa Orde Baru, pers Indonesia dibingkai sebagai pers pembangunan atau pers Pancasila dengan mengembangkan mekanisme interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat dan konsep pers pembangunan yang dikembangkan berdasarkan model komunikasi pendukung pembangunan (the development support communication model) .Model ini mulai diperkenalkan sejak sidang ke 25 Dewan Pers, 7-8 Desember 1984 dan disahkan dengan sebutan Pers Pancasila.Yang dimaksud dengan Pers Pancasila adalah pers yang orientasi, sikap dan perilakunya didasari oleh nilai-nilai ideology Pancasila dan bertanggungjawab  untuk menerapkan Pancasila dan UUD 1945 dalam melakukan peliputan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat (Atmadi,1982:12). Menurut Selo Soemardjan (1987), dalam melaksanakan fungsinya Pers  Pancasila harus memilih dan memilah sumber-sumber berita dan melaporkan berita berdasarkan ideology Pancasila dan menyajikan berita sedemikian rupa sehingga efeknya pada masyarakat tetap harmonis, seimbang dan sesuai dengan ideology tersebut.Namun dalam praktiknya, konsep pers pembangunan atau pers Pancasila telah menjadi sistem pers otoritarian yang digunakan sebagai sarana propaganda bagi pembangunan ekonomi nasional.Dan kebebasan pers yang inheren dalam suatu sistem pers, terbukti tidak berjalan.Proses kebebasan pers yang ada  hanya tunduk pada penguasa.Dengan demikian sistem pers di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka hingga penguasa  Soeharto , menganut system otoritarian.Selama pemerintahan Orde Baru label system pers bernama system pers Pancasila atau pers Pembangunan.Praktiknya adalah  pers bebas dan bertanggungjawab,tetapi bertanggungjawab kepada penguasa.Manakala perilaku pers tidak berkenan di mata penguasa ,maka ancamannya pembreidelan atau pembatalan SIUPP. Ini merupakan salah satu cirri pers otoritarian. Setelah merdeka,pada tahun 1950-an, pihak militer mengharuskan pers mempunyai surat izin terbit (SIT). Dan ini berarti suatu kemunduran,dalam arti pers tunduk pada kemauan penguasa.Pers pada masa Orde Baru banyak menerima tekanan dari rezim yang berkuasa.Dan bagaimana praktik kebebasan pers pada era Reformasi dewasa ini,setelah pada awal Reformasi,gerbang kebebasan pers telah terkuak lebar,dan kini telah dinikmati praktik kebebasan pers tersebut.
Artikel ini akan meninjau praktik kebebasan pers pada era Reformasi,dengan uraiannya dimulai dari teori normative tentang   system pers di dunia,konsep kebebasan pers dan terakhir melihat fakta empirik melalui  praktik kebebasan pers di Tanah Air pada era Reformasi.Penggunaan teori normative  menitikberatkan  pada tujuan-tujuan atau apa-apa yang sebaiknya dicapai. Sedangkan pendekatan empirik menekankan pada penggambaran tentang “apa yang ada sekarang”.Tinjauan teoritik dan empirik  tentang praktik kebebasan pers  pada era Reformasi ini diharapkan dapat memberi inspirasi dan dorongan semangat untuk melakukan studi-studi media yang lebih signifikan bagi upaya pengembangan ilmu komunikasi pada umumnya serta  dapat memberikan kontribusi bagi diskursus tentang pengembangan  wawasan dan perspektif mengenai kebebasan pers di Indonesia.    

Konsep Teoritik Peran dan  Sistem Pers.
            Dalam tonggak perjalanan sejarah pers nasional (di Indonesia) tercatat,sejak Era Reformasi (1998),media massa memiliki kebebasan yang luas,terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif).Sejalan dengan itu,penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP),dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar ,tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu (Anwar Arifin,2003:22).
            Bagaimana sesungguhnya kedudukan kebebasan pers dalam hubungannya dengan pemerintah. Menurut Dominick, sistim media disuatu negara berkaitan dengan sistim politik dinegara tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah (dalam Elvinaro Ardianto,2004:154).
Sejarah perjalanan media massa di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut peran media massa.Pada masa Demokrasi Liberal media massa bebas melaksanakan peran dan fungsinya namun pada masa lainnya , Demokrasi Pancasila , media massa dibatasi perannya, bahkan seolah-olah ditentukan oleh penguasa.Bahkan Edward S.Herman telah meyakini bahwa media massa telah digunakan  sebagai sarana propaganda pemerintah.Dalam kurun waktu tiga dasawarsa,telah bekerja seperangkat “filter” yang telah mengontrol isi I    nformasi media,dimulai dari ukuran media dan orientasi profit serta kepemilikan media dan berlanjut hingga campur tangan para pengiklan,sumber-sumber media dan kelompok penekan serta ideology “anti komunis” dan “fundamentalisme Islam” ( dalam Idi Subandy Ibrahim,2004:71). Pengaruh yang menonjol pada masa itu,media massa telah dipengaruhi oleh sistim ideology dan sebagai sarana propaganda penguasa.Bahkan Dewan Pers yang dibentuk oleh pemerintah dan organisasi pers dan wartawan,tidak mampu berbuat banyak.Ketua Dewan Pers  dijabat menteri penerangan secara exofficio.Harapan yang terlalu tinggi terhadap Dewan Pers yang pada masanya sangat mengecewakan,juga dikeluhkan Astrid S.Susanto tahun 1989. Memasuki era reformasi pelaksanaan kebebasan pers makin terbuka dan luas. Pers dapat berperan sesuai fungsi-fungsinya.
Dalam meninjau sejarah perjalanan  pers di tanah air,tercakup pula pelaksanaan kebebasan pers,perlu ditelaah teori-teori   pers dunia.Karena menjadi landasan filosofis keberadaan ,perkembangan dan kemajuan pers nasional. Bahkan nilai-nilai idiil (ideologis-politis ) hingga teori kritis terhadap media dewasa ini bersumber dari dunia barat. Diskusi intelektual tentang media dan pemerintah,juga dianut sebagai pedoman kerja dan pandangan bagi pers di tanah air.
Sistem pers dunia telah dipetakan sebagai hasil kajian buku Four Theories of The Press oleh Fred S.Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm,1956 (dalam Empat Teori Pers,1986:8) , yang mengkategorikan teori-teori pers di dunia dalam empat teori pers.,yaitu: teori pers otoriter,teori pers bebas,,teori pers bertanggungjawab social dan teori pers komunis Soviet.  Tesis buku ini ,pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di mana pers itu beroperasi.Untuk melihat perbedaan dan perspektif di mana pers berfungsi,harus dilihat asumsi-asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu mengenai: hakikat manusia,hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran.Pada akhirnya,perbedaan antara system pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya.
            Teori pers otoriter,diakui sebagai teori pers paling tua,berasal dari abad ke-16,berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut.Penetapan tentang “hal-hal yang benar” dipercayakan hanya kepada segelintir “orang bijaksana” yang mampu memimpin.Jadi,pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke bawah.Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara.Para penerbit diawasi melalui paten-paten,izin-izin terbit dan sensor.Konsep ini  menetapkan pola asli bagi sebagian besar system-sistem pers nasional dunia, dan masih bertahan sampai sekarang.Sebagian besar dunia selama beberapa periode telah menerima prinsip-prinsip dasar otoritarianisme sebagai pedoman tindakan –tindakan social,dan telah dipakai dalam pengawasan,pengaturan dan penggunaan media komunikasi massa.Walaupun teori otoriter telah dibuang di banyak negara demokratis,tetapi praktik-praktik otoritarian cenderung mempengaruhi proses demokrasi.Bahkan,praktek otoritarian hampir memaksa pemerintah libertarian mengambil langkah-langkah balasan beberapa aspek tidak dapat dibedakan dengan cara-cara otoritarian.
            Kemudian lahir teori pers kedua,yaitu teori pers libertarian atau teori pers bebas.Teori ini mencapai puncaknya pada abad ke 19,manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar.Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran.Kemudian berkembang pandangan dalam teori ini,pers perlu mengawasi pemerintah.Dari sini atribut pers sebagai the fourth estate setelah kekuasaan eksekutif,legislative dan yudikatif  menjadi umum diterima dalam  teori pers libertarian.Oleh karenanya,pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah.Dalam upaya mencari kebenaran,semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan,sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan,sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.Teori ini paling banyak memberi landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers.Disini pers bebas paling banyak memberi informasi,hiburan dan tirasnya,namun pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit mengadakan kontrol terhadap pemerintah (Hikmat Kusumaningrat,2006:20).Dalam perusahaan pers yang menganut teori pers bebas,sebagian besar aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemilik modal.Pers jenis ini cenderung kurang sekali tertarik pada soal-soal bagi kepentingan masyarakat.
            Dua teori lainnya,social responsibility theory (teori pers bertanggungjawab social) dan Soviet communist theory (teori pers komunis Soviet) dipandang sebagai modifikasi yang diturunkan dari kedua teori sebelumnya.Teori pers bertanggungjawab social dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan.Dalam pers bebas,para pemilik dan para operator pers yang terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada publik (fungsi gatekeeper) dan dalam versi apa (fungsi framing berita).Teori pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah proses kebebasan internal dan proses konsentrasi pers.Teori pers bertanggungjawab social yang ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab social . Rumusan ini dimuat dalam laporan Commission on the Freedom ,1949,dengan ketua Robert Hutchins.
            Ada 5 syarat bagi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat,yaitu:
1.          Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya,lengkap dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.
2.         Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.
3.         Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat.
4.         Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
5.         Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi –informasi  yang tersembunyi pada suatu saat.

Pengaruh laporan komisi tersebut sedikit banyak memberi warna terutama seputar tuntutan masyarakat Amerika agar pers untuk lebih memperhatikan kepentingan masyarakatnya.Baru tahun 1956,pers Amerika mulai meninggalkan prinsip-prinsip teori pers libertarian dan bergeser ke pers yang bertanggungjawab social.Inilah bentuk kebebasan pers yang dikehendaki masyarakat Amerika yaitu kebebasan yang selalu dengan syarat terhadap kewajiban-kewajiban pers kepada masyarakat.Fungsi mendidik media massa perlu diberi ruang dan bobot yang lebih.Jangan hanya mencari keuntungan saja,tetapi juga menterjemahkan dengan tepat dari idealismenya (Sinansari Ecip,2000:77).
            Siebert dkk dalam bukunya Empat Teori Pers menetapkan 6 fungsi pers dalam system pers yang bertanggungjawab social,yaitu:
1.       Melayani system politik yang memungkinkan informasi,diskusi dan konsiderasi tentang masalah –masalah publik dapat diakses oleh masyarakat.
2.      Memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi kepentingannya sendiri.
3.      Melindungi hak –hak individu dengan bertindak sebagai watcdog erhadappemerintah.
4.      Melayani system ekonomi dengan adanya iklan dalam media,mempertemukan pembeli dan penjual.
5.      Memberikan hiburan yang baik,apapun hiburan itu dalam media.
6.      Memelihara otonomi dibidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan kepada kepentingan-kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu.

Teori pers bertanggungjawab social ini merupakan teori baru dan memberikan banyak informasi dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan kecerdasan.Teori ini tidak disukai oleh pers bebas atau libertarian,yakni menjalankan etika pers dan menjamin suara minoritas atau oposisi dalam pemberitaannya.Teori  bertanggungjawab social banyak dianut negara berkembang dengan tingkat pendidikan masyarakat yang relatif maju.
            Teori keempat,the Soviet communist theory,baru tumbuh 2 tahun setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia.Akar teori ini dari authoritarian  theory.Sebanyak 10 dari 11 negara yang dulu berada dalam USSR menganut system ini.,sehingga tidak terdapat pers bebas yang ada hanya pers pemerintah.Dengan bubarnya Uni Soviet 25 Desember 1991, negara-negara tersebut sekarang telah melepaskan system politik komunisnya.Kini teori pers komunis hanya dianut oleh RRC.
            Ciri-ciri teori pers Soviet komunis:
a) dihilangkannya motif profit,
b) menomorduakan topikalitas berita,
c) mempertahankan status quo bagi penguasa.
            Denis McQuail menambahkan  2 teori pers lagi,yaitu teori pers pembangunan dan teori pers partisipan demokratik.
            Teori pers pembangunan oleh McQuail dikaitkan dengan negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki ciri-ciri system komunikasi yang sudah maju  Pada tahun 1967,dengan berdirinya Press Foundation of Asia menawarkan konsep jurnalisme pembangunan yang mendapat sambutan bagi negara-negara berkembang.Unsur positif dari pers pembangunan,bahwa pers harus digunakan secara positif dalam pembangunan nasional.,untuk otonomi dan identitas kebudayaan nasional.
Dalam pendekatan makro teori komunikasi massa,teori peranan media dalam pembangunan dianggap sebagai teori normative.Beberapa prinsip utama teori media tersebut menurut McQuail (1991: 95) adalah sebagai berikut:           
1)      Pers harus menerima dan ditetapkan secara nasional.
2)     Kebebasan pers harus terbuka bagi pembatasan sesuai dengan prioritas-prioritas ekonomi dan kebutuhan- melaksanakan tugas-tugas pembangunan yang positif sesuai dengan kebijakan yang kebutuhan pembangunan bagi masyarakat.
3)     Pers harus memberikan prioritas isinya kepada budaya dan bahasa nasional.
4)     Pers harus memberi prioritas dalam berita dan informasi untuk menghubungkannya dengan negara-negara berkembang lain yang berdekatan secara geografis,budaya dan politis.
5)     Para wartawan dan pekerja pers lainnya  mempunyai tanggungjawab maupun kebebasan dalam tugas menghimpun  dan menyebarkan informasi mereka.
6)     Demi kepentingan tujuan pembangunan,negara mempunyai hak untuk ikut campur dalam atau membatasi ,operasi-operasi media massa ,serta penyelenggaraan sensor ,pemberian subsidi dan kontrol langsung dapat dibenarkan.

Banyak negara berkembang menggunakan teori pers pembangunan dengan konsep jurnalisme pembangunan,termasuk Indonesia.Kebebasan pers yang dilaksanakan dengan prinsip pers bebas dan bertanggungjawab.Dalam pelaksanaan banyak kontrol penguasa terhadap media.Bahkan pembredelan pers kerap terjadi.Sesungguhnya praktik pers yang dijalankan mengaut system pers otoritarian.
            Teori pers keenam,teori pers partisipan demokratik.Teori ini lahir pada masyarakat liberal yang sudah maju.Ia lahir sebagai reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media yang dimiliki swasta  dan sentralisme dari birokratisasi institusi-institusi siaran publik yang timbul dari tuntutan norma tanggungjawab social.(McQuail,1991:121). Inti dari teori partisipan demokratik terletak pada kebutuhan-kebutuhan,kepentingan dan aspirasi pihak penerima pesan komunikasi dalam masyarakat politis.Teori ini menyukai keserbaragaman,skala kecil,lokalitas,de-institusionalisasi,kesederajatan dalam masyarakat dan interaksi.
`          Kemudian,ada versi konsep normative yang lebih sederhana yang dikemukakan Altschull (dalam McQuail,1991:122), yang menyebutkan 3 bentuk dasar system pers. Yaitu:  (1) Sistem “pasar” dikaitkan dengan Dunia Pertama (kapitalis-liberal); (2) Sistem Marxis dikaitkan dengan Dunia Kedua (sosialis-Soviet),(3) Sistem “berkembang” yang dikaitkan dengan Dunia Ketiga (negara-negara sedang berkembang).
Sistem pertama merupakan gabungan dari unsure pers bebas dengan unsure tanggungjawab social.Sistem kedua merupakan model Soviet,dan system ketiga mewakili teori pembangunan (perkembangan).Ketiga system memiliki beberapa persamaan ,namun Altschull menegaskan bahwa masing-masing system itu memiliki konsep dan tanggungjawab pers yang berbeda.
Pandangan teori pasar terhadap kebebasan sangatlah berbeda,terutama dalam hal definisi kebebasan yang mengandung makna negatif (tidak adanya kontrol atau kebijakan pemerintah).Berbeda dengan kedua teori lainnya,teori pasar memandang tanggungjawab sebagai sesuatu yang berkenaan dengan kewajiban memberikan informasi nonpolitis atau kalaupun bersifat politis penerapannya haruslah adil (tidak memihak).Teori berkembang memiliki ciri khas tersendiri,yakni perhatiannya dalam upaya mempersatukan masyarakat,bukanlah memecahbelah masyarakat.Dan Altschull mengingatkan akan keterbatasan teori normative dalam menggambarkan kenyataan,terutama bagi mereka yang melakukan kontrol dan bekerja di media.
William A.Hachten (1993:22) ,melihat berbagai system pers itu berakar pada filsafat politik dan tradisi sejarah yang berlainan yang tercermin dalam 5 konsep pers yang terdapat di dunia saat ini. Yaitu: (1) konsep Otoritarian; (2) konsep Barat ( untuk tujuan perbandingan system pers internasional ini,konsep Libertarian dan konsep Tanggung Jawab Sosial keduanya dimasukkan ke dalam konsep Barat; (3) konsep Komunis; (4) konsep Revolusioner, dan (5) konsep Pembangunan (atau Dunia Ketiga).
Otoritarianisme merupakan konsep yang tertua dan paling mengakar yang sejak abad ke 20 sudah menelurkan dua modifikasi yaitu konsep Komunis dan konsep Pembangunan. Sedangkan konsep Barat,tempat pers di negara-negara demokrasi parlementer Barat berfungsi,merupakan alternatif yang asasi terhadap konsep Otoritarian. Konsep Barat berisi unsure-unsur pandangan Libertarian abad ke 18 dan Tanggung Jawab Sosial abad ke 20.Konsep Revolusioner mempunyai satu ciri yang sama dengan Konsep Barat yaitu keduanya mencoba bekerja di luar kendali pemerintah. 
Dari berbagai perbedaan system pers yang dikemukakan para ahli komunikasi dan pengamat media, bagaimana sesungguhnya peranan kebebasan pers dalam system-sistem pers tersebut ?. 
Konsep Kebebasan Pers.
Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada  sistim politik dimana pers itu berada.Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi .
Pendekatan filosofis barangkali bisa dipergunakan untuk melihat hubungan antara kebebasan dan manusia sebagai individu. John Stuart Mill ( dalam Jakob Oetama : 1985 ) berpendapat, biarlah orang seorang mengembangkan kebebasannya yang absolut. Dengan menggunakan proses kebebasan itu pikirannya yang rasional akhirnya akan menemukan kebenaran. Singkat kata, apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka inti masalahnya adalah hubungan pers dan pemerintah. Kekuasaan dan relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar kebebasan tersebut. Pengertian klasik ini tetap berlaku.Menurut Prof. Oemar Seno Adji SH, persoalan kebebasan pers terlalu disoroti dari segi hukum saja. Sedangkan dalam prakteknya, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, persoalan kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya masalah hukum yang diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan dan berpengaruh terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan ( dalam Jakob Oetama, 1989;73 )
Dengan demikian pelaksanaan kebebasan pers menegaskan, institusi pers hanya bisa dilihat dari interaksi pers dengan institusi lain, karena format institusi pers ( sebagai institusi politik, ekonomi dan budaya ) pada dasarnya dibangun oleh faktor-faktor imperatif institusi lain, antara lain yang terberat adalah dari birokrasi kekuasaan negara. Dalam masa Orde Baru, institusi pers mendapat pengendalian dari birokrasi kekuasaan negara sebelum pada akhirnya terbebas dengan bergulir era Reformasi.        
            Indonesia menurut perspektif Four Theories of the Press digolongkan negeri yang menganut system pers otoriter,tapi rupanya dengan mengenyampingkan falsafah Pancasila yang jadi dasar bagi system politik Indonesia (Wonohito,1977:4).Bahkan dalam pelaksanaan kebebasan pers bahwa pers  tanpa batas adalah tidak mungkin.Bebas tanpa batas adalah anarki ,anarki berlawanan dengan tata tertib,padahal masyarakat yang paling sederhanapun punya tata tertib.Menurut tokoh pers Wonohito,kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers) bukanlah pengertian obsolut,melainkan bersifat relatif.Wajah pers senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
            Sementara itu, Andi Muis menilai masalah pokok system pers Indonesia adalah
masalah keseimbangan antara kebebasan dan pembatasannya atau tanggungjawabnya (1999:75).  Bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi? Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab adalah garis batas kebebasan.Dan yang sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab.Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab,dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan.Keduanya tidak bisa dipisahkan (dalam Akhmadi,1997:29).                     
            Bila perdebatan difokuskan pada pers bebas dan bertanggungjawab pada masa Orde Baru,tidak akan bisa disimpulkan dengan teori pers normative saja,tetapi perlu ditambah dengan pendekatan empirik. Bagaimana seorang tokoh pers Jakob Oetama,pemimpin umum suratkabar Kompas, melukiskan  bahwa suatu kebebasan pers ibarat suatu proses perubahan yang diterima dengan penuh kesabaran. “Ibarat bermain bola,terima saja dulu lapangan yang diberikan.Karena lapangan yang diberikan kecil,maka kita bermain lima lawan lima saja.Lama-lama penonton bosan,menganggap tidak seru,kemudian minta lapangan diperbesar agar yang bermain bisa lebih banyak,sebelas lawan sebelas.Kebebasan pers yang sudah dimiliki,kita pelihara,kita tingkatkan mutunya karena memang masyarakat menghendakinya”.Dengan demikian,praktik kebebasan pers pada masa itu sangat terbatas.Sistem pers yang dianut adalah otoritarian,karena pada praktiknya kebebasan pers itu untuk memberikan pembenaran kepada penguasa otoriter dalam membatasi kebebasan pers itu sendiri.
Dalam perspektif global,analisis William A Hachten (1993: 23) melihat fakta suratkabar dan media selalu berfungsi di mana-mana,dalam berbagai bentuk pemerintahan ,system social, dan lapangan ekonomi. Bahkan system pers yang “paling tidak terikat” atau paling bebas pun harus sejalan dengan tingkah keanekaragaman peraturan yang dikeluarkan pihak penguasa.Dalam hubungan antara pemerintah dan media,pertanyaan mendasar adalah bukan apakah pemerintah mengontrol pers,melainkan seberapa jauh luasnya kontrol itu sendiri.Sebab,semua system pers berada pada suatu kontinum dengan pengawasan penuh (otoritarianisme) pada satu sisi, sampai pada pengawasan yang relatif longgar (libertarianisme) pada sisis yang lain.Kebebasan menyatakan pendapat yang mutlak adalah mitos. Di atas segalanya pengawasan terhadap pers demikian beragam dan rumit sehingga sulit, jika tidak mungkin,untuk membandingkan kebebasan pers di satu negara dengan kebebasan pers di negara lain. Pada satu negara, suratkabar mungkin di bawah pembatasan politik yang kasar dan semena-mena; di negara lain, surat kabar mungkin di bawah pembatasan badan hukum dan ekonomi yang lebih halus tapi nyata. Asumsi dasar  analisis ini bahwa semua system pers mencerminkan system politik dan system ekonomi suatu negara tempat pers itu bekerja.Meskipun karena kecenderungan sudah mengarah ke internasionalisme,system cetak dan elektronik tetap masih berjalan dalam struktur kesatuan politik nasional.Dalam era komunikasi transnasional sekarang ini,wartawan dari masyarakat terbuka ,sering harus bekerja dan mengumpulkan berita di dalam masyarakat otokratik dan tertutup,dan dengan demikian menambah peluang terjadinya bentrokan antara berbagai konsep yang berlainan.
Praktik Kebebasan Pers Pada Era Reformasi.
Pelaksanaan kebebasan pers pada Era Reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi kendala.Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi,ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar atau media,serta didirikannya partai-partai politikFenomena  euphoria kebebasan politik  berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers.Dalam realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh berkurang ,untuk tidak mengatakan tiada sama sekali terhadap pers (Hamad,2004:65). Pergulatan pers dengan sebuah rezim seolah telah usai.Pada masa reformasi pers sepenuhnya bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media yang sudah mapan secara ekonomis di masa Orde Baru.Untuk sementara pers Indonesia boleh bernafas lega dari tekanan politis sambil mencari keuntungan uang sebanyak mungkin.Fenomena ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media,seperti Gramedia Grup,Sinar Kasih Grup,Pos Kota Grup,Presindo Grup, dan Grafiti/Jawa Pos Grup.
Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah menjadi industri ditengah kebebasan politik yang baru diperolehnya.Keterbukaan yang sangat luar biasa dalam bidang politik saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi pers yang fondasinya telah dipasang sejak berlakunya UU Nomor 21 Tahun 1982 melalui ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP pasal 13 ayat 5. 
Tidak aneh jika setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998,industri media di Indonesia meningkat dengan tajam.Ratusan suratkabar dan tabloid terbit tanpa harus memakai SIUPP setelah keharusan ini dicabut oleh Menpen pada tahun itu juga.Mekanisme pasar bebas sukar dihindari lagi dalam industri pers nasional,sekaligus mengakhiri kontrol penguasa terhadap pers.
Dr.Ibnu Hamad (2004: 66),pengamat media, mengidentifikasi fenomena pertumbuhan industri  media dalam era Reformasi di Indonesia dalam 3 pemikiran: pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis; kedua, mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka; ketiga, memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers.
Dengan datangnya gelombang reformasi,di mana pers telah dibebaskan dari belenggu politik,ketiga kecenderungan itu semakin kuat.Media makin leluasa mengekspresikan keyakinan politiknya tanpa harus merasa terancam usahanya (dicabut SIUPP). Banyak media dalam pemberitaannya terkesan terbuka luas bagi tokoh-tokoh dan partai politik ,baik yang didukung maupun yang diserangnya.Kepentingan politik media lantas berbaur dengan kepentingan usaha media tersebut.
Momentum kampanye Pemilu 1999 telah dimanfaatkan media untuk terbuka dalam pemberitaannya.Kemerdekaan pers yang menjadi landasan pemikiran pokok dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers,telah mencerminkan kebebasan pers yang luar biasa. Dalam praktik kebebasan pers pada era Reformasi pers menjadi berani mengungkapkan realitas politik. Dan kebebasan pers yang ada telah merupakan indicator tumbuhnya demokrasi di Tanah Air.
Namun demikian, praktik kebebasan pers tidak begitu saja berjalan dengan mulus dan  dalam kenyataannya masih banyak mengalami hambatan.Kebebasan pers dalam era reformasi masih belum terjamin.Sepanjang 2003,tercatat kasus-kasus tentang media.Tercatat kasus pemimpin redaksi Harian Rakyat Merdeka,Karim Paputungan ,yang dijatuhi hukuman 5 bulan penjara   oleh hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan pada tanggal 9 September 2003.Kasus delik pers ini diajukan ke pengadilan gara-gara pemuatan foto parody Akbar Tanjung di Harian Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002 yang memperlihatkan bagian tubuh bertelanjang dada dan penuh keringat.Foto tersebut merupakan ilustrasi dari berita berjudul “Akbar Sengaja Dihabisi. Golkar Nangis Darah”.
Kasus lainnya,hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat   memerintahkan dilakukannya sita jamin atas rumah tinggal Gunawan Mohamad,pemimpin umumMajalah Berita Mingguan Tempo dan atas kantor Majalah Tempo.Rumah Gunawan disita jamin merespon pengaduan bos Grup Artha Graha,Tomy Winata,sehubungan pernyataan Gunawan ,” …Jangan sampai Republik ini jatuh ke tangan preman.”.Pernyataan ini dianggap Tomy sebagai pencemaran nama baiknya. Sita jamin ini menindaklanjuti vonis terhadap Pemimpin Redaksi Tempo Bambang Harimurti,dan dua wartawan nya Ahmad Taufik dan Tengku Iskandar Ali yang diadukan Tomy atas tuduhan pemuatan berita bohong majalah Tempo berjudul “Ada Tommy di Tenabang” (3-9 Maret 2003).
Kasus pers Indonesia juga dialami dengan diadukannya penanggungjawab harian Rakyat Merdeka ke pengadilan negeri Jakarta Selatan dengan tuduhan telah menyerang kehormatan Presiden Megawati.Jaksa penuntut menggunakan Pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,subsider melanggar pasal 137 ayat (1) KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dari ketiga kasus tersebut,dan contoh kasus yang lain di tempat lain tidak disebutkan dalam tulisan ini,namun dapat diketahui bahwa meskipun kebebasan pers Indonesia dijamin oleh konstitusi  maupun undang-undang,namun dalam pelaksanaannya masih saja mengalami hambatan. Hambatan itu tidak lain datang dari produk-produk hokum kolonial yang tercantum dalam pasal-pasal KUHP yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan  dan dipakai.Sementara UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,bagi masyarakat pers Inodnseia sebaiknya dijadikan lex specialis sehingga sesuai dengan asas hokum lex specialis derogate lex generalis,yaitu UU Pers ini dapat menyampingkan undang-undang lainnya sepanjang menyangkut delik pers.  
Bila menyimak Catatan Dewan Pers Tahun 2001,diungkapkan masih banyak tantangan bagi kebebasan pers.Pemahaman organisasi politik dan organisasi masyarakat tentang penyelesaian sengketa dengan pers membantu mengurangi potensi tekanan dan tindakan kekerasan terhadap pers dan wartawan.Rezim otoriter penghambat kebebasan pers telah tumbang sejak 1998,namun hingga saat ini,kebebasan pers di Indonesia belum juga mencapai titik yang stabil. Pergulatan pemikiran untuk mencari format kebebasan pers yang ideal terus bergulir.
Dewan Pers juga mencatat,hasil penelitian organisasi pers internasional Prancis,Reporters Sans Frontiers (RSF,Wartawan Tanpa Perbatasan),yang menempatkan kebebasan pers di Indonesia selama tahun 2002 pada peringkat yang lebih baik daripada di Thailand dan Filipina.Ini berbalikan dari penilaian para pengamat pers internasional pada masa-masa lampau,yang biasanya menilai kehidupan pers di Filipina dan Thailand paling bebas di Asia Tenggara.
Dari 139 negara yang diamati RSF, kebebasan pers di Indonesia,Thailand dan Filipina masing-masing berada pada peringkat ke –57,ke-66 dan ke-89.Salah satu alasan untuk menilai kebebasan pers di Indonesia yang paling baik di Asia Tenggara ialah karena di sini tidak lagi terjadi tekanan dan pengendalian oleh negara terhadap pers sejak pemerintahan Orde Baru berakhir pada bulan Mei 1998.
            Meskipun penilaian RSF perlu disambut gembira,namun pergulatan pemikiran untuk mencari format ideal kebebasan pers masih terus bergulir dan pelaksanaan kebebasan pers pada media juga merupakan fenomena yang lain lagi. Antara teori normative dengan realitanya masih terdapat perbedaan. Dan ini juga berlaku di Indonesia pada praktik kebebasan pers dalam era Reformasi. 
Kesimpulan.
            Praktik kebebasan pers di Indonesia pada pada setiap periode zamannya selalu mengikuti politik penguasa.Pada masa Orde Baru,system pers yang berjalan adalah otoritarian,meskipun secara formal disebut sebagai pers bebas dan bertanggungjawab.Tetapi bertanggung jawab kpada penguasa,bukan kepada masyarakat.Kebebasan pers berjalan dengan lambanatau terbatas,bahkan dirasakan tidak ada  kebebasan pers bagi yang beroposisi dengan penguasa.
            Dalam era Reformasi,melalui euphoria kebebasan politik berdampak pada praktik kebebasan pers yang luas.Banyak media suratkabar diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang bebas,sehingga masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut.Namun dalam praktiknya,kebebasan pers masih juga menemui hambatan juridis dan politis.Dengan demikian,praktik kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak menjerumuskan media itu dan tidak merugikan masyarakat luas. Tidak ada kebebasan pers yang tanpa batas.

No comments:

Post a Comment