Sejak era Reformasi,
pers di Indonesia dapat bernafas lega dalam alam kebebasan. Gerakan reformasi
politik,ekonomi dan social ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru di
bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.Selama 32 tahun, rezim
Orde Baru telah “memanfaatkan” pers atau media massa sebagai alat perjuangan
politiknya. Pers telah dipakai sebagai alat propaganda pembangunan ekonomi yang
menjadi jargon utama dari rezim Orde Baru. Kritik hubungan negara dan media dikemukakan
Edward S.Herman dan Chomsky yang memandang media sebagai mesin propaganda yang
mengolah persetujuan bagi tatanan sosial politik yang berlaku (dalam Idi
Subandy Ibrahim,2004:71)..
Pada
masa Orde Baru, pers Indonesia dibingkai sebagai pers pembangunan atau pers
Pancasila dengan mengembangkan mekanisme interaksi positif antara pers, pemerintah
dan masyarakat dan konsep pers pembangunan yang dikembangkan berdasarkan model komunikasi
pendukung pembangunan (the development support communication model) .Model ini
mulai diperkenalkan sejak sidang ke 25 Dewan Pers, 7-8 Desember 1984 dan
disahkan dengan sebutan Pers Pancasila.Yang dimaksud dengan Pers Pancasila
adalah pers yang orientasi, sikap dan perilakunya didasari oleh nilai-nilai
ideology Pancasila dan bertanggungjawab
untuk menerapkan Pancasila dan UUD 1945 dalam melakukan peliputan
terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat (Atmadi,1982:12). Menurut Selo Soemardjan (1987), dalam
melaksanakan fungsinya Pers Pancasila
harus memilih dan memilah sumber-sumber berita dan melaporkan berita
berdasarkan ideology Pancasila dan menyajikan berita sedemikian rupa sehingga
efeknya pada masyarakat tetap harmonis, seimbang dan sesuai dengan ideology
tersebut.Namun dalam praktiknya, konsep pers pembangunan atau pers Pancasila
telah menjadi sistem pers otoritarian yang digunakan sebagai sarana propaganda
bagi pembangunan ekonomi nasional.Dan kebebasan pers yang inheren dalam suatu sistem
pers, terbukti tidak berjalan.Proses kebebasan pers yang ada hanya tunduk pada penguasa.Dengan demikian
sistem pers di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka hingga
penguasa Soeharto , menganut system
otoritarian.Selama pemerintahan Orde Baru label system pers bernama system pers
Pancasila atau pers Pembangunan.Praktiknya adalah pers bebas dan bertanggungjawab,tetapi
bertanggungjawab kepada penguasa.Manakala perilaku pers tidak berkenan di mata
penguasa ,maka ancamannya pembreidelan atau pembatalan SIUPP. Ini merupakan
salah satu cirri pers otoritarian. Setelah merdeka,pada tahun 1950-an, pihak
militer mengharuskan pers mempunyai surat izin terbit (SIT). Dan ini berarti
suatu kemunduran,dalam arti pers tunduk pada kemauan penguasa.Pers pada masa
Orde Baru banyak menerima tekanan dari rezim yang berkuasa.Dan bagaimana
praktik kebebasan pers pada era Reformasi dewasa ini,setelah pada awal
Reformasi,gerbang kebebasan pers telah terkuak lebar,dan kini telah dinikmati
praktik kebebasan pers tersebut.
Artikel ini akan
meninjau praktik kebebasan pers pada era Reformasi,dengan uraiannya dimulai
dari teori normative tentang system
pers di dunia,konsep kebebasan pers dan terakhir melihat fakta empirik melalui praktik kebebasan pers di Tanah Air pada era
Reformasi.Penggunaan teori normative
menitikberatkan pada
tujuan-tujuan atau apa-apa yang sebaiknya dicapai. Sedangkan pendekatan empirik
menekankan pada penggambaran tentang “apa yang ada sekarang”.Tinjauan teoritik
dan empirik tentang praktik kebebasan
pers pada era Reformasi ini diharapkan
dapat memberi inspirasi dan dorongan semangat untuk melakukan studi-studi media
yang lebih signifikan bagi upaya pengembangan ilmu komunikasi pada umumnya
serta dapat memberikan kontribusi bagi
diskursus tentang pengembangan wawasan
dan perspektif mengenai kebebasan pers di Indonesia.
Konsep Teoritik Peran dan Sistem Pers.
Dalam
tonggak perjalanan sejarah pers nasional (di Indonesia) tercatat,sejak Era
Reformasi (1998),media massa memiliki kebebasan yang luas,terutama dalam
melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan
(eksekutif).Sejalan dengan itu,penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin
(Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP),dan tidak lagi dikenal adanya sensor
dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional memiliki kebebasan meskipun
seringkali terasa bahwa suratkabar ,tabloid dan majalah yang menyalahgunakan
kebebasan itu (Anwar Arifin,2003:22).
Bagaimana sesungguhnya kedudukan
kebebasan pers dalam hubungannya dengan pemerintah. Menurut Dominick, sistim
media disuatu negara berkaitan dengan sistim politik dinegara tersebut. Sistim
politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah
(dalam Elvinaro Ardianto,2004:154).
Sejarah perjalanan media massa di Indonesia memperlihatkan adanya pasang
surut peran media massa.Pada masa Demokrasi Liberal media massa bebas
melaksanakan peran dan fungsinya namun pada masa lainnya , Demokrasi Pancasila
, media massa dibatasi perannya, bahkan seolah-olah ditentukan oleh
penguasa.Bahkan Edward S.Herman telah meyakini bahwa media massa telah
digunakan sebagai sarana propaganda
pemerintah.Dalam kurun waktu tiga dasawarsa,telah bekerja seperangkat “filter”
yang telah mengontrol isi I nformasi
media,dimulai dari ukuran media dan orientasi profit serta kepemilikan media
dan berlanjut hingga campur tangan para pengiklan,sumber-sumber media dan
kelompok penekan serta ideology “anti komunis” dan “fundamentalisme Islam” (
dalam Idi Subandy Ibrahim,2004:71). Pengaruh yang menonjol pada masa itu,media
massa telah dipengaruhi oleh sistim ideology dan sebagai sarana propaganda
penguasa.Bahkan Dewan Pers yang dibentuk oleh pemerintah dan organisasi pers
dan wartawan,tidak mampu berbuat banyak.Ketua Dewan Pers dijabat menteri penerangan secara
exofficio.Harapan yang terlalu tinggi terhadap Dewan Pers yang pada masanya
sangat mengecewakan,juga dikeluhkan Astrid S.Susanto tahun 1989. Memasuki era
reformasi pelaksanaan kebebasan pers makin terbuka dan luas. Pers dapat
berperan sesuai fungsi-fungsinya.
Dalam meninjau sejarah perjalanan
pers di tanah air,tercakup pula pelaksanaan kebebasan pers,perlu
ditelaah teori-teori pers dunia.Karena
menjadi landasan filosofis keberadaan ,perkembangan dan kemajuan pers nasional.
Bahkan nilai-nilai idiil (ideologis-politis ) hingga teori kritis terhadap
media dewasa ini bersumber dari dunia barat. Diskusi intelektual tentang media
dan pemerintah,juga dianut sebagai pedoman kerja dan pandangan bagi pers di
tanah air.
Sistem pers dunia telah dipetakan sebagai hasil kajian buku Four Theories
of The Press oleh Fred S.Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm,1956
(dalam Empat Teori Pers,1986:8) , yang mengkategorikan teori-teori pers di
dunia dalam empat teori pers.,yaitu: teori pers otoriter,teori pers
bebas,,teori pers bertanggungjawab social dan teori pers komunis Soviet. Tesis buku ini ,pers selalu mengambil bentuk
dan warna struktur-struktur social politik di mana pers itu beroperasi.Untuk
melihat perbedaan dan perspektif di mana pers berfungsi,harus dilihat
asumsi-asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu mengenai: hakikat
manusia,hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara manusia dan negara, hakikat
pengetahuan dan kebenaran.Pada akhirnya,perbedaan antara system pers merupakan
perbedaan filsafat yang mendasarinya.
Teori
pers otoriter,diakui sebagai teori pers paling tua,berasal dari abad
ke-16,berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut.Penetapan
tentang “hal-hal yang benar” dipercayakan hanya kepada segelintir “orang
bijaksana” yang mampu memimpin.Jadi,pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari
atas ke bawah.Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara.Para
penerbit diawasi melalui paten-paten,izin-izin terbit dan sensor.Konsep
ini menetapkan pola asli bagi sebagian
besar system-sistem pers nasional dunia, dan masih bertahan sampai
sekarang.Sebagian besar dunia selama beberapa periode telah menerima prinsip-prinsip
dasar otoritarianisme sebagai pedoman tindakan –tindakan social,dan telah
dipakai dalam pengawasan,pengaturan dan penggunaan media komunikasi
massa.Walaupun teori otoriter telah dibuang di banyak negara demokratis,tetapi
praktik-praktik otoritarian cenderung mempengaruhi proses
demokrasi.Bahkan,praktek otoritarian hampir memaksa pemerintah libertarian
mengambil langkah-langkah balasan beberapa aspek tidak dapat dibedakan dengan
cara-cara otoritarian.
Kemudian lahir teori pers
kedua,yaitu teori pers libertarian atau teori pers bebas.Teori ini mencapai
puncaknya pada abad ke 19,manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat
membedakan antara yang benar dan tidak benar.Pers harus menjadi mitra dalam
upaya pencarian kebenaran.Kemudian berkembang pandangan dalam teori ini,pers
perlu mengawasi pemerintah.Dari sini atribut pers sebagai the fourth estate
setelah kekuasaan eksekutif,legislative dan yudikatif menjadi umum diterima dalam teori pers libertarian.Oleh karenanya,pers
harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah.Dalam upaya mencari
kebenaran,semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk
dikembangkan,sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan,sedangkan
yang sebaliknya akan lenyap.Teori ini paling banyak memberi landasan kebebasan
yang tak terbatas kepada pers.Disini pers bebas paling banyak memberi
informasi,hiburan dan tirasnya,namun pers bebas juga paling sedikit berbuat
kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit mengadakan kontrol terhadap
pemerintah (Hikmat Kusumaningrat,2006:20).Dalam perusahaan pers yang menganut
teori pers bebas,sebagian besar aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan
keuntungan berupa materi bagi pemilik modal.Pers jenis ini cenderung kurang
sekali tertarik pada soal-soal bagi kepentingan masyarakat.
Dua teori lainnya,social
responsibility theory (teori pers bertanggungjawab social) dan Soviet communist
theory (teori pers komunis Soviet) dipandang sebagai modifikasi yang diturunkan
dari kedua teori sebelumnya.Teori pers bertanggungjawab social dijabarkan
berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori pers libertarian terlalu
menyederhanakan persoalan.Dalam pers bebas,para pemilik dan para operator pers
yang terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada
publik (fungsi gatekeeper) dan dalam versi apa (fungsi framing berita).Teori
pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah proses kebebasan
internal dan proses konsentrasi pers.Teori pers bertanggungjawab social yang
ingin mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab
social . Rumusan ini dimuat
dalam laporan Commission on the Freedom ,1949,dengan ketua Robert Hutchins.
Ada 5 syarat
bagi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat,yaitu:
1.
Media harus
menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya,lengkap dan
cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.
2.
Media harus
berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.
3.
Media harus
memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen
dalam masyarakat.
4.
Media harus
menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
5.
Media harus
menyediakan akses penuh terhadap informasi –informasi yang tersembunyi pada suatu saat.
Pengaruh laporan komisi tersebut
sedikit banyak memberi warna terutama seputar tuntutan masyarakat Amerika agar
pers untuk lebih memperhatikan kepentingan masyarakatnya.Baru tahun 1956,pers
Amerika mulai meninggalkan prinsip-prinsip teori pers libertarian dan bergeser
ke pers yang bertanggungjawab social.Inilah bentuk kebebasan pers yang
dikehendaki masyarakat Amerika yaitu kebebasan yang selalu dengan syarat
terhadap kewajiban-kewajiban pers kepada masyarakat.Fungsi mendidik media massa
perlu diberi ruang dan bobot yang lebih.Jangan hanya mencari keuntungan
saja,tetapi juga menterjemahkan dengan tepat dari idealismenya (Sinansari
Ecip,2000:77).
Siebert dkk dalam
bukunya Empat Teori Pers menetapkan 6 fungsi pers dalam system pers yang
bertanggungjawab social,yaitu:
1. Melayani system politik yang memungkinkan informasi,diskusi dan konsiderasi
tentang masalah –masalah publik dapat diakses oleh masyarakat.
2. Memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi
kepentingannya sendiri.
3. Melindungi hak –hak individu dengan bertindak sebagai watcdog
erhadappemerintah.
4. Melayani system ekonomi dengan adanya iklan dalam media,mempertemukan
pembeli dan penjual.
5. Memberikan hiburan
yang baik,apapun hiburan itu dalam media.
6. Memelihara otonomi dibidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan
kepada kepentingan-kepentingan dan pengaruh-pengaruh tertentu.
Teori pers
bertanggungjawab social ini merupakan teori baru dan memberikan banyak
informasi dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkatan
kecerdasan.Teori ini tidak disukai oleh pers bebas atau libertarian,yakni
menjalankan etika pers dan menjamin suara minoritas atau oposisi dalam
pemberitaannya.Teori bertanggungjawab
social banyak dianut negara berkembang dengan tingkat pendidikan masyarakat
yang relatif maju.
Teori keempat,the Soviet communist
theory,baru tumbuh 2 tahun setelah Revolusi Oktober 1917 di Rusia.Akar teori
ini dari authoritarian theory.Sebanyak
10 dari 11 negara yang dulu berada dalam USSR menganut system ini.,sehingga
tidak terdapat pers bebas yang ada hanya pers pemerintah.Dengan bubarnya Uni
Soviet 25 Desember 1991, negara-negara tersebut sekarang telah melepaskan
system politik komunisnya.Kini teori pers komunis hanya dianut oleh RRC.
Ciri-ciri teori pers Soviet komunis:
a) dihilangkannya
motif profit,
b) menomorduakan
topikalitas berita,
c) mempertahankan
status quo bagi penguasa.
Denis McQuail menambahkan 2 teori pers lagi,yaitu teori pers
pembangunan dan teori pers partisipan demokratik.
Teori pers pembangunan oleh McQuail
dikaitkan dengan negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki ciri-ciri
system komunikasi yang sudah maju Pada
tahun 1967,dengan berdirinya Press Foundation of Asia menawarkan konsep
jurnalisme pembangunan yang mendapat sambutan bagi negara-negara
berkembang.Unsur positif dari pers pembangunan,bahwa pers harus digunakan
secara positif dalam pembangunan nasional.,untuk otonomi dan identitas
kebudayaan nasional.
Dalam pendekatan makro teori komunikasi massa,teori peranan media dalam
pembangunan dianggap sebagai teori normative.Beberapa prinsip utama teori media
tersebut menurut McQuail (1991: 95) adalah sebagai berikut:
1) Pers harus menerima dan ditetapkan secara nasional.
2) Kebebasan pers harus terbuka bagi pembatasan sesuai dengan
prioritas-prioritas ekonomi dan kebutuhan- melaksanakan tugas-tugas pembangunan
yang positif sesuai dengan kebijakan yang kebutuhan pembangunan bagi
masyarakat.
3) Pers harus memberikan prioritas isinya kepada budaya dan bahasa nasional.
4) Pers harus memberi prioritas dalam berita dan informasi untuk
menghubungkannya dengan negara-negara berkembang lain yang berdekatan secara
geografis,budaya dan politis.
5) Para wartawan dan pekerja pers lainnya
mempunyai tanggungjawab maupun kebebasan dalam tugas menghimpun dan menyebarkan informasi mereka.
6) Demi kepentingan tujuan pembangunan,negara mempunyai hak untuk ikut campur
dalam atau membatasi ,operasi-operasi media massa ,serta penyelenggaraan sensor
,pemberian subsidi dan kontrol langsung dapat dibenarkan.
Banyak negara
berkembang menggunakan teori pers pembangunan dengan konsep jurnalisme
pembangunan,termasuk Indonesia.Kebebasan pers yang dilaksanakan dengan prinsip
pers bebas dan bertanggungjawab.Dalam pelaksanaan banyak kontrol penguasa
terhadap media.Bahkan pembredelan pers kerap terjadi.Sesungguhnya praktik pers
yang dijalankan mengaut system pers otoritarian.
Teori
pers keenam,teori pers partisipan demokratik.Teori ini lahir pada masyarakat
liberal yang sudah maju.Ia lahir sebagai reaksi atas komersialisasi dan
monopolisasi media yang dimiliki swasta
dan sentralisme dari birokratisasi institusi-institusi siaran publik
yang timbul dari tuntutan norma tanggungjawab social.(McQuail,1991:121). Inti
dari teori partisipan demokratik terletak pada kebutuhan-kebutuhan,kepentingan
dan aspirasi pihak penerima pesan komunikasi dalam masyarakat politis.Teori ini
menyukai keserbaragaman,skala
kecil,lokalitas,de-institusionalisasi,kesederajatan dalam masyarakat dan
interaksi.
` Kemudian,ada versi konsep normative
yang lebih sederhana yang dikemukakan Altschull (dalam McQuail,1991:122), yang
menyebutkan 3 bentuk dasar system pers. Yaitu:
(1) Sistem “pasar” dikaitkan dengan Dunia Pertama (kapitalis-liberal);
(2) Sistem Marxis dikaitkan dengan Dunia Kedua (sosialis-Soviet),(3) Sistem
“berkembang” yang dikaitkan dengan Dunia Ketiga (negara-negara sedang
berkembang).
Sistem pertama merupakan gabungan dari unsure pers bebas dengan unsure
tanggungjawab social.Sistem kedua merupakan model Soviet,dan system ketiga
mewakili teori pembangunan (perkembangan).Ketiga system memiliki beberapa
persamaan ,namun Altschull menegaskan bahwa masing-masing system itu memiliki
konsep dan tanggungjawab pers yang berbeda.
Pandangan teori pasar terhadap kebebasan sangatlah
berbeda,terutama dalam hal definisi kebebasan yang mengandung makna negatif
(tidak adanya kontrol atau kebijakan pemerintah).Berbeda dengan kedua teori
lainnya,teori pasar memandang tanggungjawab sebagai sesuatu yang berkenaan
dengan kewajiban memberikan informasi nonpolitis atau kalaupun bersifat politis
penerapannya haruslah adil (tidak memihak).Teori berkembang memiliki ciri khas
tersendiri,yakni perhatiannya dalam upaya mempersatukan masyarakat,bukanlah
memecahbelah masyarakat.Dan Altschull mengingatkan akan keterbatasan teori
normative dalam menggambarkan kenyataan,terutama bagi mereka yang melakukan
kontrol dan bekerja di media.
William A.Hachten (1993:22) ,melihat berbagai system pers itu berakar pada
filsafat politik dan tradisi sejarah yang berlainan yang tercermin dalam 5
konsep pers yang terdapat di dunia saat ini. Yaitu: (1) konsep Otoritarian; (2)
konsep Barat ( untuk tujuan perbandingan system pers internasional ini,konsep
Libertarian dan konsep Tanggung Jawab Sosial keduanya dimasukkan ke dalam
konsep Barat; (3) konsep Komunis; (4) konsep Revolusioner, dan (5) konsep
Pembangunan (atau Dunia Ketiga).
Otoritarianisme merupakan konsep yang tertua dan paling mengakar yang sejak
abad ke 20 sudah menelurkan dua modifikasi yaitu konsep Komunis dan konsep
Pembangunan. Sedangkan konsep Barat,tempat pers di negara-negara demokrasi
parlementer Barat berfungsi,merupakan alternatif yang asasi terhadap konsep
Otoritarian. Konsep Barat berisi unsure-unsur pandangan Libertarian abad ke 18
dan Tanggung Jawab Sosial abad ke 20.Konsep Revolusioner mempunyai satu ciri
yang sama dengan Konsep Barat yaitu keduanya mencoba bekerja di luar kendali
pemerintah.
Dari berbagai perbedaan system pers yang dikemukakan para ahli komunikasi
dan pengamat media, bagaimana sesungguhnya peranan kebebasan pers dalam
system-sistem pers tersebut ?.
Konsep Kebebasan Pers.
Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada sistim politik dimana pers itu berada.Dalam
negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini
pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi,
kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat,
bebas berpendapat dan berdemokrasi .
Pendekatan filosofis barangkali bisa dipergunakan untuk
melihat hubungan antara kebebasan dan manusia sebagai individu. John Stuart
Mill ( dalam Jakob Oetama : 1985 ) berpendapat, biarlah orang seorang
mengembangkan kebebasannya yang absolut. Dengan menggunakan proses kebebasan
itu pikirannya yang rasional akhirnya akan menemukan kebenaran. Singkat kata,
apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka inti masalahnya adalah hubungan pers
dan pemerintah. Kekuasaan dan relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar
kebebasan tersebut. Pengertian klasik ini tetap berlaku.Menurut Prof. Oemar
Seno Adji SH, persoalan kebebasan pers terlalu disoroti dari segi hukum saja.
Sedangkan dalam prakteknya, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti
Indonesia, persoalan kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya
masalah hukum yang diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan
dan berpengaruh terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan ( dalam Jakob
Oetama, 1989;73 )
Dengan demikian
pelaksanaan kebebasan pers menegaskan, institusi pers hanya bisa dilihat dari
interaksi pers dengan institusi lain, karena format institusi pers ( sebagai
institusi politik, ekonomi dan budaya ) pada dasarnya dibangun oleh
faktor-faktor imperatif institusi lain, antara lain yang terberat adalah dari
birokrasi kekuasaan negara. Dalam masa Orde Baru, institusi pers mendapat
pengendalian dari birokrasi kekuasaan negara sebelum pada akhirnya terbebas
dengan bergulir era Reformasi.
Indonesia
menurut perspektif Four Theories of the Press digolongkan negeri yang menganut
system pers otoriter,tapi rupanya dengan mengenyampingkan falsafah Pancasila
yang jadi dasar bagi system politik Indonesia (Wonohito,1977:4).Bahkan dalam
pelaksanaan kebebasan pers bahwa pers
tanpa batas adalah tidak mungkin.Bebas tanpa batas adalah anarki ,anarki
berlawanan dengan tata tertib,padahal masyarakat yang paling sederhanapun punya
tata tertib.Menurut tokoh pers Wonohito,kemerdekaan pers (baca: kebebasan pers)
bukanlah pengertian obsolut,melainkan bersifat relatif.Wajah pers senantiasa
dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Sementara itu, Andi Muis menilai
masalah pokok system pers Indonesia adalah
masalah keseimbangan
antara kebebasan dan pembatasannya atau tanggungjawabnya (1999:75). Bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi?
Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab adalah garis batas kebebasan.Dan yang
sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas
tanggungjawab.Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab,dan tanpa
tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan.Keduanya tidak bisa dipisahkan
(dalam Akhmadi,1997:29).
Bila perdebatan difokuskan pada pers
bebas dan bertanggungjawab pada masa Orde Baru,tidak akan bisa disimpulkan
dengan teori pers normative saja,tetapi perlu ditambah dengan pendekatan
empirik. Bagaimana seorang tokoh pers Jakob Oetama,pemimpin umum suratkabar
Kompas, melukiskan bahwa suatu kebebasan
pers ibarat suatu proses perubahan yang diterima dengan penuh kesabaran.
“Ibarat bermain bola,terima saja dulu lapangan yang diberikan.Karena lapangan
yang diberikan kecil,maka kita bermain lima lawan lima saja.Lama-lama penonton
bosan,menganggap tidak seru,kemudian minta lapangan diperbesar agar yang
bermain bisa lebih banyak,sebelas lawan sebelas.Kebebasan pers yang sudah
dimiliki,kita pelihara,kita tingkatkan mutunya karena memang masyarakat
menghendakinya”.Dengan demikian,praktik kebebasan pers pada masa itu sangat
terbatas.Sistem pers yang dianut adalah otoritarian,karena pada praktiknya
kebebasan pers itu untuk memberikan pembenaran kepada penguasa otoriter dalam
membatasi kebebasan pers itu sendiri.
Dalam perspektif global,analisis William A Hachten (1993: 23) melihat fakta
suratkabar dan media selalu berfungsi di mana-mana,dalam berbagai bentuk
pemerintahan ,system social, dan lapangan ekonomi. Bahkan system pers yang
“paling tidak terikat” atau paling bebas pun harus sejalan dengan tingkah
keanekaragaman peraturan yang dikeluarkan pihak penguasa.Dalam hubungan antara
pemerintah dan media,pertanyaan mendasar adalah bukan apakah pemerintah
mengontrol pers,melainkan seberapa jauh luasnya kontrol itu sendiri.Sebab,semua
system pers berada pada suatu kontinum dengan pengawasan penuh
(otoritarianisme) pada satu sisi, sampai pada pengawasan yang relatif longgar
(libertarianisme) pada sisis yang lain.Kebebasan menyatakan pendapat yang
mutlak adalah mitos. Di atas segalanya pengawasan terhadap pers demikian
beragam dan rumit sehingga sulit, jika tidak mungkin,untuk membandingkan
kebebasan pers di satu negara dengan kebebasan pers di negara lain. Pada satu
negara, suratkabar mungkin di bawah pembatasan politik yang kasar dan semena-mena;
di negara lain, surat kabar mungkin di bawah pembatasan badan hukum dan ekonomi
yang lebih halus tapi nyata. Asumsi dasar
analisis ini bahwa semua system pers mencerminkan system politik dan
system ekonomi suatu negara tempat pers itu bekerja.Meskipun karena
kecenderungan sudah mengarah ke internasionalisme,system cetak dan elektronik
tetap masih berjalan dalam struktur kesatuan politik nasional.Dalam era
komunikasi transnasional sekarang ini,wartawan dari masyarakat terbuka ,sering
harus bekerja dan mengumpulkan berita di dalam masyarakat otokratik dan
tertutup,dan dengan demikian menambah peluang terjadinya bentrokan antara
berbagai konsep yang berlainan.
Praktik Kebebasan Pers Pada Era Reformasi.
Pelaksanaan kebebasan pers pada Era Reformasi dalam kenyataannya masih
banyak menghadapi kendala.Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan
berorganisasi,ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar atau
media,serta didirikannya partai-partai politikFenomena euphoria kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan
pers.Dalam realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi membawa pengaruh pada
kekuasaan pemerintah jauh berkurang ,untuk tidak mengatakan tiada sama sekali
terhadap pers (Hamad,2004:65). Pergulatan pers dengan sebuah rezim seolah telah
usai.Pada masa reformasi pers sepenuhnya bergulat dengan pasar yang semakin
membuat jaya kelompok-kelompok media yang sudah mapan secara ekonomis di masa
Orde Baru.Untuk sementara pers Indonesia boleh bernafas lega dari tekanan
politis sambil mencari keuntungan uang sebanyak mungkin.Fenomena ini kemudian
melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media,seperti Gramedia Grup,Sinar
Kasih Grup,Pos Kota Grup,Presindo Grup, dan Grafiti/Jawa Pos Grup.
Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah menjadi industri
ditengah kebebasan politik yang baru diperolehnya.Keterbukaan yang sangat luar
biasa dalam bidang politik saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan
kapitalisasi pers yang fondasinya telah dipasang sejak berlakunya UU Nomor 21
Tahun 1982 melalui ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP pasal
13 ayat 5.
Tidak aneh jika setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun
1998,industri media di Indonesia meningkat dengan tajam.Ratusan suratkabar dan
tabloid terbit tanpa harus memakai SIUPP setelah keharusan ini dicabut oleh
Menpen pada tahun itu juga.Mekanisme pasar bebas sukar dihindari lagi dalam
industri pers nasional,sekaligus mengakhiri kontrol penguasa terhadap pers.
Dr.Ibnu Hamad (2004: 66),pengamat media, mengidentifikasi fenomena
pertumbuhan industri media dalam era
Reformasi di Indonesia dalam 3 pemikiran: pertama, memberi basis yang
kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis; kedua,
mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi
bisnis utama mereka; ketiga, memunculkan kelompok-kelompok usaha
penerbitan pers.
Dengan datangnya gelombang reformasi,di mana pers telah dibebaskan dari
belenggu politik,ketiga kecenderungan itu semakin kuat.Media makin leluasa
mengekspresikan keyakinan politiknya tanpa harus merasa terancam usahanya
(dicabut SIUPP). Banyak media dalam pemberitaannya terkesan terbuka luas bagi
tokoh-tokoh dan partai politik ,baik yang didukung maupun yang
diserangnya.Kepentingan politik media lantas berbaur dengan kepentingan usaha
media tersebut.
Momentum kampanye Pemilu 1999 telah dimanfaatkan media untuk terbuka dalam
pemberitaannya.Kemerdekaan pers yang menjadi landasan pemikiran pokok dalam UU
Nomor 40 tahun 1999 tentang pers,telah mencerminkan kebebasan pers yang luar
biasa. Dalam praktik kebebasan pers pada era Reformasi pers menjadi berani
mengungkapkan realitas politik. Dan kebebasan pers yang ada telah merupakan
indicator tumbuhnya demokrasi di Tanah Air.
Namun demikian, praktik kebebasan pers tidak begitu saja berjalan dengan
mulus dan dalam kenyataannya masih
banyak mengalami hambatan.Kebebasan pers dalam era reformasi masih belum
terjamin.Sepanjang 2003,tercatat kasus-kasus tentang media.Tercatat kasus
pemimpin redaksi Harian Rakyat Merdeka,Karim Paputungan ,yang dijatuhi hukuman
5 bulan penjara oleh hakim pengadilan
negeri Jakarta Selatan pada tanggal 9 September 2003.Kasus delik pers ini
diajukan ke pengadilan gara-gara pemuatan foto parody Akbar Tanjung di Harian
Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002 yang memperlihatkan bagian tubuh
bertelanjang dada dan penuh keringat.Foto tersebut merupakan ilustrasi dari
berita berjudul “Akbar Sengaja Dihabisi. Golkar Nangis Darah”.
Kasus lainnya,hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan dilakukannya sita jamin atas
rumah tinggal Gunawan Mohamad,pemimpin umumMajalah Berita Mingguan Tempo dan
atas kantor Majalah Tempo.Rumah Gunawan disita jamin merespon pengaduan bos
Grup Artha Graha,Tomy Winata,sehubungan pernyataan Gunawan ,” …Jangan sampai
Republik ini jatuh ke tangan preman.”.Pernyataan ini dianggap Tomy sebagai
pencemaran nama baiknya. Sita jamin ini menindaklanjuti vonis terhadap Pemimpin
Redaksi Tempo Bambang Harimurti,dan dua wartawan nya Ahmad Taufik dan Tengku
Iskandar Ali yang diadukan Tomy atas tuduhan pemuatan berita bohong majalah
Tempo berjudul “Ada Tommy di Tenabang” (3-9 Maret 2003).
Kasus pers Indonesia juga dialami dengan diadukannya penanggungjawab harian
Rakyat Merdeka ke pengadilan negeri Jakarta Selatan dengan tuduhan telah
menyerang kehormatan Presiden Megawati.Jaksa penuntut menggunakan Pasal 134 jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP,subsider melanggar pasal 137 ayat (1) KUHP jo Pasal 65
ayat (1) KUHP.
Dari ketiga kasus tersebut,dan contoh kasus yang lain di tempat lain tidak
disebutkan dalam tulisan ini,namun dapat diketahui bahwa meskipun kebebasan
pers Indonesia dijamin oleh konstitusi
maupun undang-undang,namun dalam pelaksanaannya masih saja mengalami
hambatan. Hambatan itu tidak lain datang dari produk-produk hokum kolonial yang
tercantum dalam pasal-pasal KUHP yang sampai sekarang masih tetap
dipertahankan dan dipakai.Sementara UU
Pers Nomor 40 Tahun 1999,bagi masyarakat pers Inodnseia sebaiknya dijadikan lex
specialis sehingga sesuai dengan asas hokum lex specialis derogate lex generalis,yaitu
UU Pers ini dapat menyampingkan undang-undang lainnya sepanjang menyangkut
delik pers.
Bila menyimak Catatan Dewan Pers Tahun 2001,diungkapkan masih banyak
tantangan bagi kebebasan pers.Pemahaman organisasi politik dan organisasi
masyarakat tentang penyelesaian sengketa dengan pers membantu mengurangi
potensi tekanan dan tindakan kekerasan terhadap pers dan wartawan.Rezim
otoriter penghambat kebebasan pers telah tumbang sejak 1998,namun hingga saat
ini,kebebasan pers di Indonesia belum juga mencapai titik yang stabil.
Pergulatan pemikiran untuk mencari format kebebasan pers yang ideal terus
bergulir.
Dewan Pers juga mencatat,hasil penelitian organisasi pers internasional
Prancis,Reporters Sans Frontiers (RSF,Wartawan Tanpa Perbatasan),yang menempatkan
kebebasan pers di Indonesia selama tahun 2002 pada peringkat yang lebih baik
daripada di Thailand dan Filipina.Ini berbalikan dari penilaian para pengamat
pers internasional pada masa-masa lampau,yang biasanya menilai kehidupan pers
di Filipina dan Thailand paling bebas di Asia Tenggara.
Dari 139 negara yang diamati RSF, kebebasan pers di Indonesia,Thailand dan
Filipina masing-masing berada pada peringkat ke –57,ke-66 dan ke-89.Salah satu
alasan untuk menilai kebebasan pers di Indonesia yang paling baik di Asia
Tenggara ialah karena di sini tidak lagi terjadi tekanan dan pengendalian oleh
negara terhadap pers sejak pemerintahan Orde Baru berakhir pada bulan Mei 1998.
Meskipun
penilaian RSF perlu disambut gembira,namun pergulatan pemikiran untuk mencari
format ideal kebebasan pers masih terus bergulir dan pelaksanaan kebebasan pers
pada media juga merupakan fenomena yang lain lagi. Antara teori normative
dengan realitanya masih terdapat perbedaan. Dan ini juga berlaku di Indonesia
pada praktik kebebasan pers dalam era Reformasi.
Kesimpulan.
Praktik kebebasan
pers di Indonesia pada pada setiap periode zamannya selalu mengikuti politik
penguasa.Pada masa Orde Baru,system pers yang berjalan adalah
otoritarian,meskipun secara formal disebut sebagai pers bebas dan
bertanggungjawab.Tetapi bertanggung jawab kpada penguasa,bukan kepada
masyarakat.Kebebasan pers berjalan dengan lambanatau terbatas,bahkan dirasakan
tidak ada kebebasan pers bagi yang
beroposisi dengan penguasa.
Dalam era Reformasi,melalui euphoria kebebasan politik
berdampak pada praktik kebebasan pers yang luas.Banyak media suratkabar
diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang bebas,sehingga masyarakat
mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi
tersebut.Namun dalam praktiknya,kebebasan pers masih juga menemui hambatan
juridis dan politis.Dengan demikian,praktik kebebasan pers pada akhirnya harus
dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak menjerumuskan media
itu dan tidak merugikan masyarakat luas. Tidak ada kebebasan pers yang tanpa batas.
No comments:
Post a Comment