IBNU RUSYD
(Kritik Terhadap Al-Ghazali, Averroisme
dan Pengaruhnya di Eropa)
Pengaruh dominan filsafat Yunani
terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan, bahkan dominasi
tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi Alkindi mengatakan
bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar
pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa
teori filsafat Yunani, khususnya Aristo dipandang sejalan dengan ajaran Islam
seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Alkindi
dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah,
pen-syarah dan juga komentator “Yunani”. Ibnu Rusyd memandang Aristoteles
sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang
memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy, Dante
mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles
dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain seperti fisika,
kedokteran dan astronomi.[1]
Dominasi pengaruh filsafat Yunani
demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap
eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan
tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam
Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak
ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai
dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah
menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim
adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum
orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk
diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena
ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada
klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu persoalan ini
diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rusyd.
B. Biografi Singkat Ibu Rusyd
Diantara para filosof Islam, Ibnu
Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama
lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad
ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15
tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya
filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi
fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia.
Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi
hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa
Khalifah al-Manshur.[2] Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada
ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian
semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini
ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai
disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang ilmuan
terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah
begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah
al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd
tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif
selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat.
Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah
menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya
pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah.[3]
Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan
politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif
dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd
yang tinggi.[4]
Pengalaman pahit dan tragis yang
dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir
kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan,
membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu
pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka
memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat
menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus
dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.
Di dunia Barat ia disebut dengan
Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk
kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose
Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata
Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan
demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi
huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi
Averrois.[5] Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam
bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd
memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya
tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang
paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya
sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau
Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd
tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani,
pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya
sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan
komentas terhadap filsafat Aristoteles.[6] Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan
tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran
Aristoteles sendiri.
Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun)
dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya
direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada
1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75
tahun menurut perhitungan Hijrah.
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
1) Kritik Terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas, bahwa
Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah
al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu
filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap
ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku
tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat
dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat
Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal
sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir,
sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
- Pendapat
filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
- Pendapat
filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/
individual/ partikular).
- Paham
filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti
bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut
Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran.[7] Polarisasi dan kesimpulan ini mampu
mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam
terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan
penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap
ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami
dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka
memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang
dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja
sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman
keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan
sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam pada itu, Ibnu Rusyd
melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan
Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham
Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan
harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan
menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan
dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya.
Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama
pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri,
yaitu al-Quran.
1. Harmonisasi agama dan filsafat
Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd
mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan manthiq
(logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan
–baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd,
kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya
sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah
memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada.[8] Disini
ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa
mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan
mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf:
185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah
tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan
dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah
diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias
wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional.
Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling
sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang
dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat.
Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
Menurut Ibnu Rusyd, karena
syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar,
maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan
oleh syara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain,
melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan
burhani tidak disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’
menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika
berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga
sesuai dengan pendapat akal.[9]
2. Qadimnya alam
Tentang qadimnya alam atau dalam
bahasa filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan
mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud yaitu;
pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang
lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah
wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua, lawannya adalah wujud yang
adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak
pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik yang pertama dan kedua
tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud ketiga yaitu, wujud
yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu,
tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh al-Qadim. Inilah alam keseluruhan,
perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang lalu. Plato
berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya
berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya dengan
waktu dan wujud mendatang. Wujud ini memiliki segi persamaan dengan wujud
muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud
qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan
wujud muhdats akan menamakan muhdats pula.[10]
Makna – makna diatas menurut Ibnu
Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam
menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi menurut
filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka
maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena
penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi.
Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini
mesti kadim.[11] Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd mengutip penjelasan
al-Quran, surat Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat
wujud sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan
bentuk wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini
Ibnu Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran
al-Quran. Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari
tiada, justeru tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.
3. Gambaran kebangkitan di akhirat
Menurut Ibnu Rusyd, filsuf
mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda
interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan
dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani.
Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia
ini.[12] Jadi para filsuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali
bahwa filsuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd
justeru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth al-falasifah
dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat
hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali
mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah
kebangkitan rohani.[13]
4. Pengetahuan Tuhan
Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf
tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’I yang
terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya.[14] Persoalannya adalah bagaimana
Tuhan mengetahui yang juz’a tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahu yang
juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat
merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan
terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan
pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi
obyek yang diketahui-Nya.[15] Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim
yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’I tersebut, bahkan sejak sebelum
yang juz’I berwujud seperti wujud saat ini.
Lebih dari itu, sebenarnya bukan
hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat Tuhan tidak mengetahuinya seperti
pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek dari sifat wujud ini, sedangkan
pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan
sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab
Tuhan yang mengadakannya.
5. Kesalahan Al-Ghazali
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali atas
kedua failasuf tidaklah definitif. Karena dalam bukunya “At-Tafriqah” bahwa
mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat
tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam persoalan seperti ini,
persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung pada kemampuan kias
rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa dilakukan oleh kaum
rashikhun fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’ yang
meyeluruh dalam bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah bahwa
orang-orang berselisih pendapat dalam persoalan yang pelik tersebut berhak
mendapat pahala jika mereka benar, tetapi bisa dimaafkan jika mereka salah.[16]
Kesalahan yang bisa dimaafkan
demikian hanyalah kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan kaum yang
dikaruniai pengetahuan khusus mengetahui takwil ketika mereka mempelajari
persoalan-persoalan rumit yang diperintah syara’ untuk mempelajarinya. Adapun
kesalahan oleh orang-orang selain kelompok ini, adalah dosa. Maka bagi kaum
burhani ini melakukan takwil terhadap ajaran-ajaran yang memberi petunjuk untuk
itu harus dilakukan, sebaliknya umat kebanyakan hanya diperintah mengambil
makna lahir ayat, jika tidak akan menyebabkan kekafiran pada masing-masing
mereka. Oleh sebab itu, larangan Al-Ghazali – terhadap semua orang – dalam
melakukan kias rasional seperti dilakukan para filsuf dan filsafat mereka tidak
tepat, karena bertentangan ajaran al-Quran.
2) Pengaruhnya di Eropa
Pengkafiran
al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan
Baghdad sebagai pusat
pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi
di samping pengkafiran
itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat
bahwa jalan sebenarnya untuk
mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi
tasawuf, bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat
sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di
dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam pemikiran filsafat
masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali
tersebut. Maka secara berangsur, kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dan
filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Hal itu terlihat dengan
banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah barat, terutama
di Andalusia dan Sisilia, sebagai maha karya kaum Muslimin di timur dan barat.
Dinamis dan semaraknya
perkembangan ilmu pengetahuan ditangan umat Islam di Andalusia dan Sisilia
akhirnya menarik minat orang-orang dari kalangan Yahudi dan Kristen untuk
menuntut ilmu ke wilayah itu dan melakukan penerjemahan-penerjemahan atas
seluruh karya-karya Aristoteles, seperti yang dilakukan St. Thomas Aquinas
dengan meminta rekannya, William Moerbeke untuk melakukan penerjemahan
tersebut. Setelah penerjemahan tersebut, tampak bahwa Ibnu Rusyd tidak
melakukan kesalahan dalam intisari filsafat.[17] Oleh kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal
Ibnu Rusyd sebagai sang pemberi penjelasan atau komentator filsafat
Aristoteles. Dante dalam syairnya Divine Comedy, mengatakan Ibnu Rusyd sebagai
komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya.
Aziz Dahlan menjelaskan para pelopor lain dalam
mempelajari filsafat tidak hanya dari kalangan intelektual tetapi juga dari
kalangan agamawan Kristen, seperti Paus Silvester II (999-1003 M). Begitu pun
setelah Toledo jatuh ketangan Alphonse (451 H/ 1058 M), dewan penerjemahan
(kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Latin) didirikan oleh Raymund (1130-1150
M), Uskup Kepala di Toledo dan dewan ini dipimpin oleh Dominikus Gundisalvus.
Pengakajian yang tidak kalah bergairah bahkan mendapat dukungan kuat dari Kaisar
Frederik II (1212-1250 M), seperti di wilayah-wilayah Italia Selatan Palermo,
Sisilia, dan Napoli. Di pusat-pusat pengkajian ini, karya-karya Ibnu Rusyd
mendapat apresiasi yang luar biasa tinggi, hal itu terlihat dari banyaknya
fasilitas yang diberikan Kaisar kepada Michael Scot (1175-1234 M) untuk
menyalin dan menterjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, sedangkan Hermanus
Allemanus (pada masa 1240-1260 M) menterjemahkan karya-karya al-Farabi. [18]
Disamping kelompok pengidola,
ternyata paham filsafat Ibnu Rusyd juga mendapat penolakan bangsa Eropa yang
datang dari kalangan gereja, seperti Keuskupan Paris “mengharamkan”
kajian-kajian terhadap buku-buku Ibnu Rusyd di berbagai perguruan tinggi pada
abad ke-13.[19] Fakta-fakta diatas terkesan berlawanan, tetapi sebenarnya
disanalah kekuatan pengaruh filsafat Ibnu Rusyd yang tidak habis dan
henti-hentinya dibahas bangsa Eropa, secara sembunyi-sembunyi sekalipun. Karena
itu sekali pun para Rahib dilarang mempelajari
hal-hal yang berbau duniawi tetapi mereka tetap mengkaji dan
mendiskusikan Ibnu Rusyd.
3) Averroisme
Ditangan Ibnu Rusyd, filsafat
menjadi demikian menantang dan menarik minat banyak orang untuk mendalaminya.
Paham rasional yang dikembangkannya menjadi titik terang bagi bangsa Eropa
untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan mereka. Kias rasional,
takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk tertinggi dalam pemikiran
Muslim yang menjadikan peradaban Muslim unggul dan maju adalah tantangan secara
diametreal bagi paham keagamaan Kristen yang terbelakang karena tertutup,
otoriter dan dogmatis.
Seperti ditulis diatas, disini
para agamawan Kristen bersikap “munafik” karena secara resmi melarang, tetapi
mempelajarinta secara diam-diam dalam gereja mereka. Karena itu larangan Gereja
tidak mempan menghalangi kaum intelektual untuk terus mengembangkan paham
filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd di Eropa. Dari sini muncullah sekelompok
intelektual yang bersemangat menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama
(al-mua’allim al-awwal). Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa
1240-1260 M) mendirikan aliran Averroisme.[20] Penamaan Averroisme sebagai
pengikut Ibnu Rusyd, menurut Sirajuddin Zar (seperti disebut sebelumnya) adalah
kurang tepat, lebih tepatnya dinisbahkan pada kakek Ibnu Rusyd sendiri.
Munculnya gerakan dan aliran
Averroisme ini sejatinya adalah lompatan besar dalam pemikiran dan semangat
keilmuan bangsa Eropa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.
Sebab sebelumnya Eropa kosong dari dari ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan
tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran hanyalah
Gereja Kristen.[21] Seperti diketahui bahwa Gereja Katolik Roma sudah
menancapkan dominasinya selama 11 abad di Eropa (abad ke-5 - abad ke-16 M) dan
sukses dalam menyatukan Eropa didalam kerajaan Gereja Katolik– ditandai dengan
supremasi gereja secara absolut diatas negara. Dalam situasi itu kehidupan
masyarakat Barat sepenuhnya dalam kontrol dan dogma gereja Katolik Roma,
sehingga tidak ada kemerdekaan dan keselamatan diluar gereja.
Menurut Sirajuddin Zar,
kendatipun Averroisme ini namanya dibangsakan kepada Ibnu Rusyd, namun ajaran
keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Hal itu disebabkan oleh latar
belakang agama yang berbeda. Kalau Ibnu Rusyd mengembangkan paham rasional
dalam bingkai ajaran Islam, sebaliknya Averroisme hanya mengambil dasar-dasar
rasional saja dengan meninggalkan keyakinan keagamaan mereka. Lebih jelasnya
Sirajuddin Zar menulis demikian.
“Ibnu Rusyd dilatarbelakangi oleh
ajaran Islam yang rasional dan dinamis. Di dalam Islam terdapat ajaran yang
bersifat dogmatis (qath’I al-dalalah) amat sedikit jumlahnya. Adapun yang
terbanyak ialah ajaran Islam yang bersifat zhanni al-dalalah. Ia datang hanya
dalam bentuk prinsip-prinsip pokok, karena itu untuk mengoperasionalkannya
diserahkan pada otak manusia setempat dimana ia hidup…berbeda dengan Islam,
agama Kristen semua ajarannya bersifat dogmatis sehingga tidak bisa didamaikan
antara ajarannya dengan filsafat. Atas dasar inilah ketika Averroisme
mengembangkan pemikiran rasional Ibnu Rusyd di Eropa, yang atara agama dan
filsafat dapat direkonsiliasikan, mendapat kesulitan.” [22]
Dari kutipan diatas dapat
dipahami bahwa dalam Islam, demikian juga paham filsafat Ibnu Rusyd tidak ada
kebenaran ganda, karena dari penjelasan sebelumnya jika terjadi ketidak
sesuaian penemuan kebanaran akal dengan kebenaran wahyu, maka dilakukan proses
takwil. Sehingga akhirnya hanya ada satu kebenaran, yaitu kesatuan kebenaran
agama dan filsafat. Sebaliknya bagi bangsa Eropa terdapat kebenaran
ganda(double truth), karena tidak mungkin mendamaikan kebenaran akal dan
kebenaran agama. Jadi konsep kebenaran ganda yang dikembangkan Averroisme
merupakan bentuk penyimpangan dari paham Ibnu Rusyd.
D. Penutup
Jika mau menilai dengan jujur,
maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi
upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan
lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan
filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran
agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan”
Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.
Maka dari itu terlihat sikap
tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri
Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd
terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan
golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf
Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.
No comments:
Post a Comment