PENDAHULUAN
Diantara bahasan yang menonjol
dalam kajian Komunikasi Politik adalah menyangkut isi pesan. Bahasan ini sama
pentingnya dari bahasan komunikator, media, khalayak dan efek komunikasi
politik. Dalam beberapa literatur disebutkan, inti komunikasi politik adalah
komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh. Urgensinya dalam
suatu sistem politik tidak diragukan lagi, karena komunikasi politik terjadi
saat keseluruhan fungsi dari sistem politik lainnya di jalankan.
Makalah ini, berupaya
mengelaborasi masalah pesan politik terutama yang ada kaitannya dengan
aktivitas persuasi. Fokus bahasan berkaitan dengan propaganda sebagai salah
satu pendekatan persuasi yang sangat populer dan banyak dilakukan oleh
komunikator politik sejak dahulu hingga saat ini. Karena dalam perkembangannya
media massa banyak digunakan sebagai medium penyampaian pesan yang sangat
diminati, maka bahasan ini secara spesifik mengamati propaganda politik melalui
media massa. Teori agenda setting dipergunakan sebagai pilihan kerangka analisa
dengan pertimbangan relevan dengan substansi pembahasan. Untuk melengkapi
bahasan, juga akan dikemukan kritik terhadap beberapa konsepsi pokok.
PROPAGANDA : Sebagai Pendekatan Persuasi Politik
Konseptualisasi
Menurut Dan Nimmo (1993), ada
tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan
retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif),
disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal
balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan
dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja
ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.
Banyak ahli mendefinisikan
persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973). Menurut dia,
persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap,
kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak
definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu
melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan
proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan
perasaan responsif pada orang lain. Selain dia juga bercirikan kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi
seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris
yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993),
propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi
yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan
suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis
melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat
ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para
kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani
diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke
wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya
kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler.
Dengan manipulasi lambang, dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan
rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat
populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu bangsa, satu imperium,
satu pemimpin).
Ellul membuat tipologi propaganda
yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda
sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka
pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan
berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua,
tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan
politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau
ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia
dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai
“penyimpang (deviants)”.
Berkaitan dengan konsepsi ini
dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda integrasi. Agitasi berusaha
agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang
langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam
tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang
kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda
ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan
terwujud dalam waktu bertahun-tahun.
Propaganda Vertikal : Satu-Kepada-Banyak
Propaganda dalam realitasnya
mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah
representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda
horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin
kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi
interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.
Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin
diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan
kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui
media massa.
Ada beberapa hal pokok yang biasa
dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo (1993) mengulas ada 7
teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika
untuk tujuan persuasif. Pertama, name calling, memberi label buruk kepada
gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji
kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai “penjahat”. Kedua,
glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu
agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu.
Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai
“Operasi Keadilan Tak Terhingga”, dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga
saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan
untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.
Ketiga, transfer, yakni
mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas, misalnya “pilih kembali
Mega di Pemilu 2004”. Keempat, testimonial, memperoleh ucapan orang yang
dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita
mengenalnya dalam dukungan politik oleh surat kabar , tokoh terkenal dll.
Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada
khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang
dari anda, hanya rakyat biasa”. Keenam, card stacking, memilih dengan teliti
pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya
untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata “pembunuhan terhadap pemimpin
kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita !”. Ketujuh,
bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran
tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.
Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan
propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media
massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai
ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam
waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir
segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan sehingga rakyat
mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.
MEDIA MASSA : Sebagai Saluran Propaganda Politik
Kalau merujuk kepada pendapat Blumler
dan Gurevitch (1995), ada empat komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji
sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik dengan aspek-aspek
komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek komunikasi
politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat
aspek-aspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik.
Pendapat hampir senada
dikemukakan Suryadi (1993), menurutnya sistem komunikasi politik terdiri dari
elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita
temui posisi penting media dalam propaganda politik. Setiap persuasi politik
yang mencoba memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat
mempertimbangkan peranan media massa.
Urgensi Media Massa
Untuk memperkuat argumen bahwa
media sangat urgen dalam proses propaganda politik, baiknya kita memahami dulu
karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan
kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan
yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Perkataan “dapat” menjadi sangat rasional karena
seperti dikatakan Alexis S.Tan (1981), komunikator dalam media massa ini
merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan
mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara
spasial terpisah.
Dengan daya jangkau yang relatif
luas, dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda.
Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat
(1994), bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator,
situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat
mengatur arus informasi, siatusi komunikasi akan mendorong belajar yang
efektif.
Dalam konteks era informasi
sekarang ini institusi media massa seperti Televisi dan surat kabar dipercaya
memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi
pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning
tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan
media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat
secara luas.
Tentu saja dalam perkembangnnya,
banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan
kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market), kelompok kepentingan
(interest group), kelompok penekan (preasure group) dll.
Menurut Denis McQuail (1987),
terdapat ciri-ciri khusus media massa antara lain : pertama memproduksi dan mendistribusikan
“pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut
merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu.
Dalam konteks propaganda, kerja produksi dan distribusi ini akan efektif untuk
wujud informasi, pandangan dan budaya sesuai dengan yang diharapkan
propagandis.
Kedua, menyediakan saluran untuk
menghubungkan orang tertentu dengan orang lain dari pengirim ke penerima dan
dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Dalam konteks propaganda sangat
urgen dalam proses pengidentifikasian diri khalayak sebagai anggota kelompok,
entah itu partisan partai, anggota ideologi tertentu atau dalam nasionalisme
sebuah negara. Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam
lingkungan publik. Ini dalam konteks propaganda merupakan suatu hal yang
strategis, karena tujuan dari persuasinya ini juga adalah manipulasi psikologi
khalayak.
Keempat partisipasi anggota
khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela, tanpa adanya
keharusan atau kewajiban sosial. Ini relevan dengan sifat persuasi yang bukan
berupa pembicaraan kekuasaan, bukan ancaman yang mengatakan “jika anda
melakukan (tidak melakukan ) X, maka saya akan melakukan Y. Menurut Dan Nimmo
mengutip Harold D. Lasswell (1993), pembicaraan kekuasaan lebih dekat kepada
kekerasan dan ancaman ketimbang kepada persuasi. Persuasi juga bukan
pembicaraan kewenangan atau autoritas yang memerintahkan “lakukan X”. Namun,
persuasi merupakan pembicaraan pengaruh yang bercirikan kemungkinan (“jika anda
melakukan X, maka anda akan melakukan Y”), diidentifikasi melalui saling
memberi dan menerima diantara pihak-pihak yang terlibat, meskipun dalam
kenyataannya tidak sesederhana itu.
Kelima, institusi media dikaitkan
dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi
dan kebutuhan pembiayaan. Ini merupakan tuntutan yang seringkali mengarahkan
media massa untuk lebih menonjolkan aspek komersialnya.
Keenam meskipun media itu sendiri
tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan
negara karena adanya kesinambungan pemakaian media. Dalam konteks propaganda,
media massa menjadikan dirinya sebagai medium pesan politik sehingga
kenyataannya kekuasaan dan pengaruh secara terus menerus diproduksi dan didistribusikan
oleh media massa.
Pembentukan Citra Politik
Media massa yang bekerja untuk
menyampaikan informasi dapat membentuk, mempertahankan atau mendefenisikan
citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi
atau sering orang mengatakannya sebagai realitas tangan kedua (second hand
reality). TV maupun surat kabar memilih tokoh atau berita tertentu dengan
mengesampingkan tokoh dan berita lainnya. Seringkali khalayak cenderung
memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media
massa. Akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdarkan
realitas kedua yang ditampilkan media massa.
Lee Loevinger mengemukakan teori
komunikasi yang disebut ‘reflektive-projektive theory’. Teori ini beranggapan
bahwa media massa mencerminkan suatu citra yang ambigu-menimbulkan tafsiran
yang bermacam-macam-sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau
melihat citranya pada penyajian media massa (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1993).
Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi karena pada masyarakat modern orang
memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Mengenai masalah ini Schudson
(1996) menyebutkan, news (berita) merupakan bagian dari latarbelakang melalui
apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan Institusi berita sebagai aktor
sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu
“sebab” terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang
visible dan terukur.
Saat media memberi publik suatu
item berita, dengan sendirinya mereka memberikan legitimasi publik. Media massa
membawa persoalan citra ini ke dalam forum publik, dimana hal ini dapat
didiskusikan oleh khalayak secara umum. Citra yang dibangun tentu saja bukan
sesuatu yang alami, melainkan hasil penyeleksian media melalui political
framing (politik pengemasan).
Propaganda politik melalui media
massa sebenarnya, merupakan upaya mengemas isu, tujuan, pengaruh, dan kekuasaan
politik dengan memanipulir psikologi khalayak. Begitu urgennya media, sehingga
Cater menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu pemerintahan
atau The Fourth Branch of Government (dalam Sparrow, 1999).
Dalam pelaksanaannya, propaganda
di media massa juga tidak bisa mengenyampingkan beberapa hal yang dikenal dalam
rumusan Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese (dikutip Susilo, 2000) sebagai
model “hierarchy of influence”.
Kalau dideskripsikan,
sekurang-kurangnya ada lima hal yang mempengaruhi berita media termasuk di
dalamnya isi propaganda. Pertama pengaruh individu-individu pekerja media
seperti karakteristik pekerja media, latarbelakang personal dan profesional.
Kedua, pengaruh rutinitas media seperti tengat waktu (deadline), keterbatasan
tempat (space) dll. Ketiga pengaruh organisasional; keempat pengaruh dari luar
organisasi media seperti dari partai politik atau pemerintah yang melakukan
propaganda. Kelima pengaruh ideologi yang merupakan sebuah pengaruh paling
menyeluruh dari semua pengaruh yang ada. Di sini ideologi dimaknai sebagai
suatu kekuatan yang mampu melakukan kohesivitas kelompok. Dengan pengaruh dari
kelima faktor tadi, propaganda bisa efektif atau tidak sangat tergantung pada
kemampuan untuk memanfaatkan media massa secara efektif. Tentu saja dengan
pemahaman terhadap karakteristik media massa yang dipakai. Tidak semua media
efektif menjadi medium propaganda dalam suatu konteks tertentu.
Prinsip Propaganda di Media Massa
Tentu saja untuk mengefektifkan
propaganda politik di media massa juga sangat perlu memperhatikan beberapa
prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari riset mengeni pengaruh komunikator
dalam keberhasilan usaha persuasif (Dan Nimmo, 1993) :
Pertama status komunikator. Artinya setiap peran
membawa status atau prestise tersendiri. Secara umum, semakin tinggi posisi
atau status seseorang di tengah masyarakat, makan akan semakin mampu dia
melakukan persuasi. Dengan demikian pemilihan propagandis terutama dalam media
massa yang diorientasikan mencapai khalayak yang heterogen membutuhkan mereka
yang punya status kuat. Misalnya saat Orde Baru, Soeharto merupakan propagandis
konsep developmentalism, sementara era Orde Lama Soekarno menjadi propagandis
dari tujuan revolusi.
Kedua kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda
mempersepsi para komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi
bahwa propagandis itu memiliki keahlian, kompetisi, keandalan, dapat dipercaya
dan autoritas, mereka menganggap bahwa komunikator itu kredibel. Memang pada
perkembangnnya khalayak media, dalam menerima pesan juga membedakan antara apa
yang dikatakan dengan kredibiltas sumbernya.
Ketiga, daya tarik komunikator,
hal ini meningkatkan daya tarik persuasif. Hal ini terutama berlaku pada
homofili, yakni tingkat kesamaan usia, latarbelakang dll seperti dipersepsi
orang. Persuasi itu sebagian besar berhasil bila orang mempersepsi komunikator
seperti dirinya sendiri secara gamblang. Karena persuasi dalam hal ini
propaganda politik merupakan upaya penyebaran informasi dan pengaruh
satu-kepada-banyak maka instrumen teknologi yang dapat menyebarkan pesan kepada
angota kelompok merupakan hal yang tepat dilakukan. Goebbels, dalam memikirkan
strategi kampanye persuasifnya membedakan haltung yang mempengaruhi prilaku,
sikap dan perbuatan orang. Sementara stimmung merupakan morel mereka,
penerimaan dan retensi imbauan persuasif.
Berbagi pesan propagandis
berhubungan dengan keefektifannya dua hal. Pertama isi pesan, hal ini
menyangkut model pilihan isi yang dikemukakan dalam propaganda di media massa.
Bisa jadi isi yang mengancam orang (isi membangkitkan rasa takut) akan
mempersuasi kalayak dalam kondisi tertentu. Kedua struktur pesan, bisa jadi
karena ,media yang dipakai adalah media massa yang memiliki keterbatasan waktu
atau tempat menyebabkan penyusunan struktur pesan yang efektif dan efesien.
Namun terlepas dari segala keterbatasan waktu dan tempat, propaganda di media
massa bisa dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu terpaan
(exposure). Misalnya, propaganda AS melawan terorisme disampaikan lewat
media-media yang berpengaruh secara internasional. Misalnya CNN, CBC, VOA dll.
Hal itu juga dilakukan dengan membuat agenda setting di media-media seluruh
dunia, mengukuhkan (reinforcement) kalau terorisme itu memang penggeraknya
adalah orang-orang timur tengah.
ANALISA : Perspektif Agenda Setting Theory
Berbicara perspektif agenda
setting theory sebenarnya merupakan model efek moderat . Ini dikembangkan oleh
Maxwell E. McComb dan Donald L Shaw. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1997)
Perspektif ini menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan fokus
penelitian yang telah bergeser. Dari efek pada sikap dan pendapat bergeser
kepada efek pada kesadaran dan pengetahuan atau dari afektif ke kognitif.
Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi
khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan
penonjolan media memberikan cues tentang mana issue yang lebih penting. Karena
itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara
penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang
diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting
oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya
apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Propaganda politik di media massa
(seperti model yang kita bahas sebelumnya) tentunya tidak lepas dari
pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting.
Propagandis yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian
pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari
efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini
berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda
khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling penting
menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh responden dan
apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek lanjutan berupa
persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan (seperti memilih
kontestan pemilu atau melakukan aksi protes). Pada kenyataannya menurut
perspektif agenda setting theory, media massa menyaring artikel, berita atau
acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting,
redaksi bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan
mana yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa
dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda
media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda
masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang
mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap
sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak
untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau peristiwa
menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau
peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya
memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu
itu penting. Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing).
Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas
dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara
antaralaian, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap
simbol budaya, generalisasi, simplikasi dll. Merujuk pada pendapat Gamson dan
Modigliani (1983), frame merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi
makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Sebuah
upaya persuasif dalam kemasan propaganda politik di media massa dari perspektif
agenda setting tentunya harus memperhatikan bebepara hal pokok. Pertama,
struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan propaganda di media yang
dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, super
struktur, yang merupakan struktur propaganda yang berhubungan dengan kerangka
suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan
kepada khalayak tersusun secara utuh. Ketiga, struktur mikro, ini merupakan
propaganda yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara
di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak
kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian. Hal-hal yang
diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk
susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang
dipakai dalam teks berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa
penekanan itu dilakukan. Propaganda dalam media massa tentu saja berbeda dengan
propaganda yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan.
Propaganda di media sangat dibatasi dengan waktu atau space yang disediakan.
Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting,
media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi
media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti
media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting.
Bila AS secara terus menerus memberi label Irak, Saddam Husein, Osama bin Laden
sebagai biang teroris maka lambat laun khalayak internasional bisa mempengaruhi
konstruk berpikir khalayak internasional mengenai teroris. Begitu juga saat
pemerintah Megawati selalu mempersuasi Bangsa Indonesia kalau Abu Bakar Baasyir
dan Jamah Islamiyah sebagai orang dan kelompok membahayakan, maka kemungkinan
besar hal ini berpengaruh pada cara berpikir masyarakat. Sama berpengaruhnya
saat media selalu menampilkan tokoh tertentu, maka orang tersebut cenderung
dianggap tokoh penting.
Seperti dikemukakan diatas, bahwa
agenda setting ini merupakan upaya memperbaharui kembali penelitian tentang
efek media yang perkasa yang sebelumnya dibangun model jarum hipodermik. Pada
model jarum hipodermik yang sering juga disebut “bullet theory”. Dalam konteks
propaganda di media massa dengan model ini diasumsikan kalau komponen-komponen
komunikator, pesan dan media amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan. Pesan
propaganda “disuntikan” langsung ke dalam jiwa komunikan yang dianggap pasif
menerima brondongan pesan-pesan. Pada umumnya propaganda kalau menggunakan
model ini bersifat linier dan stau arah.
Sementara kalau menggunakan model
Uses and Gratification justru kontras dengan jarum hipodermik. Model ini
tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak diangap
secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan. Karena penggunaan
media hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, efek media
dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. Pendirinya antara lain
Katz, Blumler dan Gurevitch. Dari perspektif teori ini berarti propaganda lewat
media hanya menjadi salah satu alternatif bagi khalayak dalam memenuhi
kebutuhannya. Kalau khalayak media tersebut tidak membutuhkannya maka dengan
sendirinya propaganda yang dilakukan tidak akan efektif.
Agenda setting lahir secara lebih
moderat, model ini mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang
diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak
kepada persoalan tersebut. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media,
akan dianggap penting pula masyarakat dan apa yang dilupakan media akan
dilupakan juga oleh publik. Dengan demikian propaganda melalui media massa akan
efektif, kalau ada upaya mengemas pesan propaganda dalam prioritas isi pesan
media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir
kalayak.
Menganalisa propaganda melalui
media massa dari perspektif agenda setting, memunculkan beberapa kritik yang
perlu dikemukakan. Pertama, tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan
propaganda sosiologi terlalu menyederhanakan masalah terutama dalam tipologi
waktunya. Dalam tipologi Ellul (1951) tersebut, propaganda politik melibatkan
usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan
strategis dan taktis. Ia beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka
pendek. Padahal dalam perspektif agenda setting yang dipengaruhi oleh media
massa itu adalah pengetahuan khalayak. Sesuatu dianggap penting oleh khalayak
kalau secara terus menerus ditampilkan dalam media massa. Ini artinya
memerlukan suatu framing waktu dan framing isu dalam suatu kurun waktu
tertentu, sehingga mempengaruhi konstruk berpikir masyarakat terhadap isu
tersebut.
Kedua, salah satu karaketristik
propaganda seperti disebutkan Dan Nimmo (1993) terdiri atas hubungan timbal
balik antar orang-orang- bukan satu mendikte yang lain –dan semuanya
menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayan, nilai dan
pengharapan pribadi. Peruasi disebutkan sebagai proses yang dialektis, baik
persuader maupun yang dipersuasi sama-sama responsif. Hanya masalahnya,
bagaimana dalam konteks media massa yang memiliki karakter delayed feedback.
Seringkali proses dialektis tidak bisa terwujud secara baik dalam propaganda
politik di media massa. Pesan politik baik permintaan dukungan, isu atau
kejadian politik yang dikemas menjadi prioritas media, memanipulasi aspek
psikologis massa. Secara real dalam masyarakat yang daya kritisismenya rendah
seperti di banyak kasus negara-negara berkembang, propaganda tidak banyak
memberi ruang untuk dialektis.
Ketiga, kita juga perlu mengkritisi perspektif
agenda setting dalam menganalisa propaganda politik dimedia massa. Agenda
setting memandang media massa melakukan ”to tell what to think about” artinya
membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dalam konteks
ini, perlu dipertanyakan, apakah penilaian khalayak tentang suatu isu atau
pesan propaganda yang dianggap penting itu karena penonjolan yang dilakukan
oleh media atau karena faktor-faktor lain. Karena dalam realitasnya, seringkali
mainset pemahaman terhadap pesan politik sebelumnya sudah terbentuk melalui
pengaruh interpersonal dalam organisasi, dalam norma kelompok atau melalui
pemuka pendapat melalui jalinan komunikasi two-step flow-communication.
KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat kita
simpulkan beberapa hal penting. Propaganda merupakan salah satu pendekatan
dalam persuasi politik, selain retorika dan periklanan. Secara sederhana
propaganda didefinisikan sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok
terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam
tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan
secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu
organisasi. Karena kaitannya dengan karakteristik propaganda sebagai transmisi
pesan satu-kepada-banyak, maka media massa menjadi medium pesan yang sangat
efektif untuk digunakan. Melalui upaya manipulasi psikologis, propaganda
berupaya menyatukan khalayak kedalam suatu organisasi atau tujuan propagandis.
Hanya saja, dalam perspektif agenda setting theory,
media massa dalam mengemas propaganda politik dipandang tidak seperkasa bullet
thery yang memandang khalayak sangat pasif. Media dipandang bisa menonjolkan
pesan propaganda tertentu, supaya menjadi hal yang penting bagi khalayak.
DAFTAR PUSTAKA
Bettinghaus, Erwin P., Persuasive Communication,
Second Edition, (New York : Reinhart and Winston, Inc., 1973)
Blumler, Jay G., and Gurevitch, Michael., The Crisis
of Public Communication, London and New York : Routledge, 1995)
Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan
Media, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993)
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma
(terj.), Jakarta : Erlangga, 1987
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, (Bandung
: Remaja Rosdakarya, 1994)
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997)
Suryadi,Syamsu, Elit Politik dalam Komunikasi
Politik di Indonesia, dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun , Indonesia dan
Komunikasi Politik, (Jakarta : Gramedia, 1993)
Schudson, Michael, The Power of News,
(Massachusetts, London : Harvard University Press, 1995)
Sparrow, Bartholomew H., The News Media as A
Political Institution Uncertain Guardian,(Baltimore and London : The Johns
Hopkins University Press, 1999)
Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and
Research, (Ohio : Grid Publising, inc., 1981)v
No comments:
Post a Comment