Popular Posts

Sunday 20 September 2015

SOSIOLOGI AGAMA HUBUNGAN ANTARA AGAMA DENGAN KONDISI MASYARAKAT KONTEMPORER



HUBUNGAN ANTARA AGAMA DENGAN KONDISI MASYARAKAT KONTEMPORER

A.    PENDAHULUAN
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
Menurut Shariati, suatu masyarakat  sebagaimana suatu obyek, akibat berbagai faktor dan kondisi bisa menyimpang dari posisi keseimbangannya...... menuju, misalnya spritualisme dan kesalehan ekstrim dan kecenderungan kepada keakhiratan, atau menuju kepada kebalikannya yaitu materialisme atau korupsi ekstrimdan kecenderungan kepada keduniawian. Selalu pada tahap ini suatu agama besar tampil, dan arah tendensi masyarakat umum tampak sangat jelas dan arahnya selalu secara alami tanpa rekayasa.
Saat situasi ekstrim terjadi, maka muncullah seorang nabi dan dengan kekuatan agamanya menerapkan suatu gaya yang berlawanan dengan ekstrim tersebut, sehingga perluasan agama ini dan penyebarannya dalam masyarakat menyebabkan  terjadinya equilibrium terhadap arah penyimpangannya, dan pada tahap ini misi keagamaan secara logis telah berakhir, tetapi kita tidak pernah mendapati adanya para pengikut agama tersebut mengumumkan akhir dari misi keagamaannya. Akibat dari agama yang terus menerus melancarkan kekuatannya kedalam masyarakat dengan arah yang sama, dan mencapai pada tahapan dimana agama secara paksa menjadi kekuatan negatif dan menyimpangkan sehingga menjadi ketersebaban penyimpangan kearah yang lain (ekstrim), sehingga masyarakat menjadi teralienasi atas semuanya dan mendekati kematiannya, tiba-tiba saja terbangkitkan seorang nabi yang lain melawan kekuatan agama yang lama. Kekuatan ini dilancarkan begitu hebat dan memaksa penyimpangan/ekstrim yang terdahulu untuk mencapai suatu equilibrium yang baru, hal ini berlaku secara terus menerus didalam masyarakat dan ini bisa terlihat pada agama-agama masa lalu.

RUMUSAN MASALAH
1.      TINJAUAN TENTANG PRTILAKU BERAGAMA
2.      PLURALISME AGAMA
3.      AGAMA DALAM KONTEKS MASYARAKAT KONTEMPORER
ANALISIS MASALAH
1.      Tinjauan tentang Perilaku Beragama
Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995: 755). Keberagamaan merupakan suatu padanan kata atau terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “Religiosity, (Jalaluddin Rahmat, 1985: 92). Dalam menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keberagamaan, diperlukan kehati-hatian dalam membedakan antara yang ingin dicapai oleh anggota-anggota suatu kelompok atau pemeluk tertentu dan akibat yang tidak dikehendaki dari tingkah laku mereka dalam masyarakat. (Pius Artanto dan Dahlan Al-Barry, 1994: 472)
Manakala kita mengatakan bahwa seseorang itu beragama maka sebutan tersebut dapat bermakna banyak. Keyakinan-keyakinan terhadap doktrin-doktrin agama, etika hidup, kehadiran dalam upacara peribadatan pandangan dan banyak lagi tindakan-tindakan lain. Kondisi-kondisi semua itu dapat menunjukkan kepada suatu ketaatan dan komitmen terhadap agama. Dengan refleksi diatas maka jelaslah aneka ragam makna yang dihubungkan dengan istilah beragama dapat saja berarti aspek - aspek gejala yang sama walau tak sepenuhnya sinonim, (Elizaabeth K Nottingham, 1997: 32).
Perilaku keberagamaan adalah proses tingkah laku seseorang yang didasari dengan ajaran-ajaran agama tertentu yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash. Dalam penelitian ini obyek kajian adalah masyarakat yang beragama Islam. Sehingga ajaran-ajaran Islam merupakan motivator terhadap kehidupan sehari-hari. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan kecil bahwa masyarakat miskin khususnya pengemis di Dusun Wanteyan meyakini ajaran-ajaran agama Islam sebagai pedoman hidup, namun perilaku-perilaku yang nampak dalam kehidupan sehari-hari ada persoalan yang tidak sesuai dengan norma-norma agama.
Seorang ahli sosiologi kontemporer Amerika yang bernama Yinger, mendefinisikan agama melalui pendekatan fungsional yaitu agama merupakan system kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka untuk mengatasi masalah – masalah tertinggi manusia. Agama merupakan keenganan untuk menyerah kepada kematian, menyerah dalam menghadapi frustasi dan untu menumbuhkan rasa permusuhan tehadap penghancuran ikatan-ikatan kemanusiaan, (Hendro Puspito, 1984: 35). Jadi menurut teori fungsional agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika kecewa, mengaitkan dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsure-unsur identitas. Agama juga bertindak untuk menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, menyediakan saran untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan. Selain itu agama juga dapat melakukan peran risalah dan membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang tidak terpecahkan bahkan pengaruh suversif yang mendalangi masyarakat tersebut.
Tuntunan perilaku beragama dalam ajaran Islam adalah suatu perilaku yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi transedental dan spiritual, serta dimensi sosial yang berpangkal pada etika dan moral agama. Tuntunan dan patokan tersebut telah terkandung dalam kitab suci, tauladan Nabi dan pengikutnya, (Huston Smith, 2001:275) Sebagai seorang muslim menyadari bahwa Islam mengajar, menuntun manusia ke jalan yang lurus. Selain itu Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan gabungan antara perilaku moral dan etika dalam kehidupan masa kini dengan kehidupan kelak diakhirat. Disisi lain ajaran Islam juga menyamakan perilaku moral pribadi dalam hubungannya dengan Allah SWT, sehingga praktek agama yang berasal dari perilaku amoral tidak akan diterima. (Abdul Rahman dan Abdul Kadir Kurdi, 2000: 68-69).
Teori yang berkaitan dengan masalah perilaku masyarakat dusun Wanteyan adalah teori paradigma perilaku sosial. Menurut B.F Skinner bahwa obyek studi sosiologi yang kongkrit-realistik adalah perilaku yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Paradigma tersebut pusat perhatiannya pada proses interaksi. Sedangkan paradigma behavioral sociology dan teori exchange. Pandangan teori behavioral sociology dengan jelas menerangkan tingkah laku yang terjadi di masa sekarang melalui kemungkinan akibatnya yang terjadi di masa datang. Menariknya lagi, yaitu ada hubungan historis antara akibat yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. (George Ritzer, 2004: 70-73).
Sedangkan pandangan teori “sosial - exchange” yang dikemukakan oleh James W Vander Zanden bahwa suatu keputusan atau kekecewaan yang terjadi dalam kehidupan manusia bersumber pada perilaku pihak lain. Dalam hal ini perilaku dari pihak lain tersebut juga ditimbulkan oleh dorongan dari perilaku diri sendiri. (Soerjono Soekanto, 1985: 46-49).
Perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari pasti memiliki macam-macam bentuk dan karakter yang berbeda. Untuk mempermudah memahami permasalahan tersebut ada bentuk-bentuk karakteristik perilaku sosial yang dapat ditetapkan berbagai cara, antara lain :
1. 1. Perilaku yang berorientasi pada tujuan. Perilaku ini dapat terbentuk disebabkan adanya harapan-harapan yang rasional atau menentukan suatu tujuan pribadi seseorang. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari ketergantungan manusia terhadap suatu kondisi untuk mencapai target yang diinginkan.
2. Perilaku yang berorientasi pada nilai, yaitu perilaku yang berusaha untuk mewujudkan hal-hal yang telah diyakininya tanpa menanggung resiko. Misalnya, masalah-masalah yang berhubungan dengan kewajiban yang harus dikerjakan demi kehormatan, kepercayaan, keindahan dan lain sebagainya. Maka perilaku ini dapat dianggap sebagai tingkah laku yang berdasarkan nilai.
3. Perilaku yang bersifat emosional atau afektif. Perilaku ini dapat terbentuk disebabkan adanya hasil dan konfigurasi perasaan pribadi. Apabila perilaku ini lepas secara rasional dari ketegangan-ketegangan emosional, maka kemungkinan gejala-gejala itu akan menuju pada perilaku yang berkaitan dengan nilai dan tujuan. Dasar-dasar perilaku afektif berakar dari tuntutan sementara terhadap dorongan tertentu, dengan tujuan untuk membalas dendam, bersikap pasrah dan menyalurkan ketegangan.
4. Perilaku yang bersifat tradisional. Yaitu suatu reaksi yang memberikan dorongan-dorongan untuk mengarahkan perilaku secara rutin. Permasalahan obyek tugas-tugas rutin tersebut mencakup kegiatan manusia setiap hari. Perilaku ini bisa dikaitkan dengan nilai apabila manusia mengalami kesadaran diri dalam tingkah lakunya.
Masyarakat dalam hal ini pasti suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut bagi masyarakat memiliki pengaruh yang terbatas ataupun meluas, lambat atau cepat. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat mencakup nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, interaksi sosial dan lain sebagainya. Sebab interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas sosial.
Gillin dan Gillin dalam bukunya cultural sociology mengemukakan hubungan - hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang dengan orang, antar kelompok-kelompok manusia. Sehingga interaksi sosial inilah yang mempengaruhi dan menimbulkan perubahan sosial di masyarakat. ( Soerjono Soekanto, 2002).
Kaitannya dengan agama Islam pada dasarnya hal itu merupakan bagian pranata sosial yang tercermin dalam tindakan serta perbuatan sehari-hari. Tindakan dan perbuatan tersebut sedikit banyak telah dipengaruhi oleh kondisi sosial pada umatnya. Oleh karena itu agama sebagai pendorong, penggerak maupun pengontrol perilaku individu sangat dipengaruhi oleh system nilai yang ada dalam masyarakatnya. Dengan demikian perilaku keagamaan seseorang maupun individu sangat dipegaruhi oleh lemah ataupun kuatnya nilai agama serta system sosial budaya dalam masyarakatnya.
Menurut R. Stark dan C.Y Glock keberagamaan adalah ketaatan dan komitmen terhadap agama yang meliputi beberapa unsur diantarnya yaitu keanggotaan gereja, keyakinan kepada doktrin-doktrin agama yang dianut, etika hidup kehadiran dalam acara peribadatan dan pandangan-pandangan serta lain lagi yang menunjukkan ketaatan terhadap agama. Diantara yang mendasari pengertian keagamaan menyangkut beberapa dimensi, diantaranya sebagai berikut :
1. Dimensi keyakinan agama (ideologis)
Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana seseorang yang religius berpegang teguh teehadap pendirian teologisnya, mengakui kebenarannya atas doktrin tersebut. Salah satu perkara yang paling penting dalam keberagamaan seseorang adalah keyakinan agama yang bersifat dogmatis. Di dalam islam keyakinan yang dimaksud adalah rukun iman.
2. Dimensi praktek agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan oleh orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Indikasi tersebut mengarah kepada pengalaman ibadah khusus, sejauh mana rutinitas seseorang dalam menjalankan ibdahnya, seperti sholat, puasa, zakat. Praktek-praktek agama ini terdiri atas
a. Ritual; mengacu pada seperangkat ritus: seperti tindakan keagamaan secara formal dan praktek-praktek suci yang mengharapkan pemeluknya melaksankan ibadah sholat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu;
b. Ketaatan apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik. Semua agama yang dikenal juga mempunyai tindakan persembahan yang kontemplasi personal yang relative spontan, informal dan hak pribadi. Pengertian ini diarahkan kepada amal-amal sunnah seperti sholat sunnah dan membaca Al – Qur’an.
3. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa oerang-orang yang beagama paling tidak memilki minimal ilmu pengetahuan mengenai dasar-dasar ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi, .dimensi ini menggambarjkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya yaitu sejauh mana aktifitasnya dalam manambah pengetahuan agamanya. Seperti apakah aktifitas keagamaannya diantaranya yaitu dengan membaca Al-Qur’an, megikuti pengajian serta dengan membaca buku-buku yang islami
4. Dimensi penghayatan Agama
Dimensi ini memfokuskan pada penghayatan tentang pengalaman keberagamaan seseorang, baik dari pengalaman yang diperolehnya lewat lingkungan sekitar maupun dari luar lingkungannya. Penghayatan keagamaan yang mereka dapatkan kemudian diterapkan pada kehidupan sehari-hari, apakah pengalaman keagamaannya tersebut dapat mempengaruhi proses peningkatan penghayatan keagamaannya.
5. Dimensi pengalaman agama (konsekuensial)
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat dari keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan orang dari hari ke hari. Dimensi ini menjelaskan tentang sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agama yang dianutnya

2.      PLURALISME AGAMA
Agama, sebagaimana seni, sangat sulit untuk diberi batasan yang tegas. Agama, menurut Hans Kung, bukanlkah untuk didefinisikan, apalagi untuk diperdebatkan. Agama adalah sesuatu untuk dihayati dan diamalkan. Ia bukan sesuatu yang ada diluar diri manusia.
Menurut Hans Kung, agama bukan hanya menyangkut hal-hal yang teoritik, melainkan hidup sebagaimana yang kita hayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup, dan yang terpenting adalah menyangkut perjumpaan atau relasi dengan apa yang dinamakan Rudulf Otto sebagai The Holy. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang terhadap hidup dan menyangkut “ya” atau “tidak” terhadap hidup. Menurut Kung, secara eksistensial, sadar atau tidak, manusia membutuhkan komitmen pada makna, dan komitmen pada norma.
Dalam hal ini agama selalu berkaitan dengan manusia. Sejarah agama selalu menyertai sejarah kemanusiaan. Agama tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini semenjak dimulainya sejarah kemanusiaan hingga ia punah. Sebab, menurut Max Scheler (1874-1928) merupakan kemampuan tersendiri yang palin g dasar dalam diri manusia. Bahkan, agama merupakan fitrah yang diturunkan yang telah menyatu dalam diri manusia semenjak kelahirannya.
Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antarmanusia, tetapi juga antarsesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Dalam tataran historis, misi agama tidak selalu artikulatif. Saelain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan, menurut Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan. Tetapi, jika melihat perjalanan sejarah dan realitas dimuka bumi ini, pernyataan itu menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Persoalannya, bagaimana realitas itu bisa memicu para pemelik agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya.
Berkaitan dengan itu, salah satu yang menjadi problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini, yang ditandai oleh kenyataan pluralisme, adalah bagaimana teologi suatu agama mendefinisikan diri ditengah-tengah agama lain, dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembanglah suatu paham teologia religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama.
Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 yang menolak faham pluralisme agaknya menjadi sinyal bahwa ada wacana seputar agama di negeri ini yang problematis. MUI dalam fatwanya melihat bahwa pluralisme adalah faham yang mengajarkan kesamaan semua agama sehingga itu berarti juga menyiratkan faham relativisme. Malah, pluralisme mendaku bahwa tidak boleh ada klaim mutlak mengenai ajaran (di sini MUI secara tidak langsung, menurut saya, melihat adanya aspek ideologis dalam pluralisme), yang bagi MUI akan berakibat pada persoalan teologis ”bahwa semua pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga”.
Tampaknya ada posisi yang bertakik-takik yang tersirat dalam cara bicara MUI di atas, yaitu bahwa wacana pluralisme bukanlah wacana yang sudah jelas dalam kata itu sendiri dan wacana pluralisme adalah wacana yang sarat dengan beban ideologis dan juga teologis.
Posisi yang berhati-hati atas pluralisme tampak dalam tulisan Franz Magnis-Suseno (2006). Beliau tampaknya menerima pluralisme sebagai penjelasan keadaan sosial, tetapi menolak kalau pluralisme dijadikan sebagai sikap teologis (dengan memberi alternatif, yaitu inklusivisme teologi) walau beliau tetap menyarankan perlunya sikap pluralis sebab sikap inilah yang memungkinkan seseorang menjadi toleran.
Menurut saya, di sini kita bisa paham akan posisi hati-hati Magnis-Suseno dan posisi tegas yang tecermin dalam fatwa MUI itu sebab memang pluralisme bukanlah istilah yang jelas dan mudah. Di pihak lain, saya malah hendak menyatakan betapa tertinggalnya wacana sosiologi agama di negeri ini sehingga silang sengketa seputar pluralisme itu tampak berujung dalam deadlock. Atau, akibat tidak adanya wacana sosiologis seputar pluralisme agama, maka belum-belum pluralisme ditanggapi sebagai persoalan ideologis (faham yang mendaku) ataupun teologis (beragama yang relativistis) sehingga ia menjadi medan konflik.
Tertinggalnya sosiologi agama di negeri ini dalam memberi perspektif yang nonideologis ataupun nonteologis terhadap pluralisme juga kelihatan dalam kesemrawutan pemakaian istilah pluralisme itu sendiri. Seolah, tanpa memilah-milah, fakta kemajemukan agama, multikulturalisme, demokrasi, dialog, dan keterbukaan teologis adalah isi keranjang dan makna pluralisme itu sehingga kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) prodemokrasi, Gerakan Perempuan, Inter-faith groups, pejuang masyarakat adat, dan intelektual (agama) liberal mengambil posisi berhadap-hadapan (malah frontal) dengan semua institusi yang dianggap konservatif dan eksklusif (yang secara karikatural dilekatkan pada MUI).
Padahal, dalam wacana sosiologis agama kontemporer—yang sayangnya tidak dikembangkan di Indonesia—pluralisme mengandung paling tidak tiga kenyataan yang mendasar dalam masyarakat modern, kenyataan yang belum tentu dapat dengan mudah dikelola (James Beckford, 2003). Kalau elemen-elemen pluralisme ini dikenal, mungkin saja benang kusut tidak perlu terjadi dalam wacana kita.
Pertama, pluralisme adalah ungkapan deskriptif, mengenai de facto kemajemukan agama (religious diversity). Penjelasan ini tentu tampak gamblang walau ada sejumlah turunan maknanya. Dengan kemajemukan tentu juga berarti ada derajat otonomi dalam tradisi agama masing-masing, di mana ia mampu mengelola rumah tangganya sendiri. Jadi, ada kemandirian institusional dari agama tersebut.
Yang tak kalah menarik dari ihwal kemajemukan ini ialah bahwa dalam perkembangan mutakhirnya, posisi otonomi agama tadi mendorong transformasi internalnya, yang antara lain mengakibatkan adanya kemajemukan internal dalam satu agama (sekte-sekte). Para ahli sosiologi agama melihat adanya sejumlah pola transformasi internal agama tersebut: antara lain dalam sebentuk sinkretisme (di mana ada percampuran yang melahirkan wajah baru agama itu), bisa juga pematrian aspek baru yang menyepuh agama lokal (bricolage, sesuatu yang umum dalam ekspresi agama di Afrika), atau proses belajar, meminjam dan berkembang walau tetap mempertahankan orisinalitas agamanya (bentuk hybrid). Pendek kata, pluralisme internal agama menunjukkan adanya diferensiasi di dalam agama tersebut yang menuntut semacam keleluasaan dari agama itu dalam menentukan batas-batas dirinya.
Kedua, pluralisme juga berarti pengakuan publik akan eksistensi agama-agama tertentu, yang nanti dilanjutkan pada pengakuan negara. Pengakuan publik secara sosiologis berarti ada semacam penerimaan publik bahwa eksistensi agama tertentu itu ada tanpa menjadi ancaman bagi dirinya. Demikian juga makna pengakuan negara, yaitu bahwa agama tersebut tidak akan mengguncang kekuasaannya sehingga memang dalam setiap konteks (masyarakat atau bangsa) selalu ada kepelbagaian pola dan batas-batas penerimaan atas agama-agama yang masuk. Di sini (kalau memakai terminologi agama di Indonesia) kita membicarakan pluralisme sebagai sikap toleran (di mata publik) dan sebagai kerukunan (di mata pemerintah).
Dalam konteks pemaknaan pluralisme sebagai toleransi dan kerukunan tadi, terbentang semacam tarik-ulur yang tak terhindari. Kalau ”kita” menerima lima atau enam agama resmi, itu berarti mereka kita akui sebagai kompetitor yang sah dalam menjalankan dan menyebarkan misi agamanya. Namun, segera juga persoalan ini mendatangkan persoalan baru, adakah batas kebebasan beroperasinya agama yang sudah ”kami” akui eksistensinya itu? Bukankah kebebasan itu tidak boleh sampai mengguncang konsensus yang semula ada bahwa setiap agama hendaknya juga beroperasi demi menjaga integritas masyarakat (dan negara) tersebut.
Dalam perkembangan tertentu, masing-masing masyarakat malah menerbitkan seperangkat hukum untuk menjaga integritasnya atas kemungkinan tergerusnya agama tertentu akibat beroperasinya agama lain. Pluralisme agama dalam konteks itu memang menolak free-fight liberalism, juga menolak pasar bebas agama-agama sebab selalu ada batas-batas penerimaan sosial dari masyarakat terhadap karya dan sepak terjang agama-agama.
Pluralisme di sini berarti seperti yang diserukan dalam semboyan bhineka tunggal ika (’meskipun beragam, tunggal juga’) itu, yang dipertegas dengan sambungan kata-kata tan hana dharma mangrwa (’tiada pluralisme dalam agama’, di sini saya memakai terjemahan Rachmat Subagya dalam bukunya Agama Asli Indonesia, 1981). Dengan kata lain, sekalipun saat itu di Jawa terjadi pluralisme (”agama primal” Jawa, Hindu, dan Buddha hidup berdampingan), ada batas-batasnya: ketiga agama itu bisa ditolerir selama mereka rukun dan konsensus dalam masyarakat saat itu tidak dilanggar (kala itu konsensusnya masih bercorak kosmis, yaitu bahwa dharma itu bagaimana pun satu jua).
Ketiga, dan di sini kita gontai—dan sayangnya sosiologi agama di Indonesia belum datang menolon—ialah bahwa pluralisme adalah sebentuk komitmen normatif. Pluralisme menjadi sebentuk misi pada dirinya, ia adalah kebenaran itu sendiri, mirip dengan tuntutan multikulturalisme. Di sini kita bisa katakan ia menjadi kelanjutan dari semangat Pencerahan sebab ia menuntut sebentuk sikap ideal (atau bahkan sikap etis) tentang kemajemukan yang nanti hendak diterapkan dalam konteks sosial. Jadi, pluralisme menjadi imperatif yang dianggap bernalar dan niscaya kalau kepelbagaian sosial hendak dikelola dengan baik sebab hanya dalam pluralisme terjamin kebebasan individual di mana religious freedom (juga freedom to change one’s religion) menjadi turunannya.
Mengutip Diana Eck, Zuhairi Misrawi mengatakan bahwa pluralisme adalah upaya menemukan komitmen di antara partikularitas-partikularitas (2005), dan komitmen itu nantinya menjadi moral untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Dengan demikian, sebenarnya agama-agama harus melepas warisan memori religiusnya tentang kesatuan masyarakat dan agama, ia harus berhenti menjelaskan baik-buruk kehidupan ini semata-mata dalam kerangka agamanya. Dengan kata lain, bahasa agama tidak sama dan tidak bisa persis diterapkan ke dalam masyarakat! Soalnya, masyarakat berisikan kepelbagaian arus informasi dan, karena masyarakat adalah interaksi dari sekian banyak pikiran dan keyakinan, maka yang harus ditemukan oleh agama ialah sebuah komitmen di luar ataupun melampaui gramatika dirinya; sebuah moral pasca-agama, moral pascapartikularitas, yaitu moral pluralisme iu sendiri.
Persoalannya tentulah apakah social fabric di negeri kita mampu menanggung jenis pluralisme demikian? Bisakah agama-agama yang hidup di Indonesia meneken akad untuk sebentuk moral sosial pluralisme sedemikian, di mana ia hanyalah salah satu peyangganya? Sebab misalnya, dalam pengalaman pluralisme di Belanda, partikularitas agama Protestan (yang harus bersanding dengan partikularitas agama Katolik) toh dari sudut sosiologis tidak lantas bisa rela begitu saja melepaskan kukunya dari masyarakat. Ada mediasi antara partikularitasnya dan pluralisme masyarakat sekular: melalui pilarisasi (verzuilen). Saat itu, di pertengahan abad ke-19, semua orang Protestan membaca koran yang sama, bersekolah di tempat yang sama, ke rumah sakit yang sama, bekerja di firma yang sama, dan berpolitik di partai yang sama. Seolah semua aspek kehidupan sosial masih 100 persen Protestan. Dengan kata lain, teologi saat itu seolah-olah adalah sosiologi. Di sini ada semacam langkah-antara (intermediary associations) sebelum memasuki masyarakat yang sama sekali lepas dari ikatan konfesi satu agama tertentu.
Sekali lagi, untuk konteks Indonesia, kita hanya tahu kesiapan agama untuk pluralisme demikian kalau sosiologi agama terlebih dulu memberitahu hasil risetnya tentang daya lentur dan integritas masyarakat kita. Kita amat perlu juga mendengar apakah ada semacam asosiasi yang memperantarai agama-agama di negeri ini sekiranya konflik normatif terjadi dalam konteks pluralisme demikian.
Di sini nama Peter Berger muncul mengemuka, bukan karena kesohorannya, melainkan karena penerjemahan buku-bukunya, khususnya seputar isu agama, yang oleh penerbit LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial) seolah sebentuk upaya uji coba pluralisme tersebut di tengah masyarakat kita. LP3ES sebagai lembaga berkumpulnya para intelektual kritis promodernitas dan pembangunan (Daniel Dhakidae, 2003) tampaknya sadar bahwa agama akan mengalami masalah dalam konteks modern itu. LP3ES pun memperkenalkan ihwal tadi dengan menerjemahkan karya Berger pada tahun 1990 mengenai metode sosiologinya (bersama Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan), lalu pada tahun 1991 mengenai krisis agama (Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial), dan tahun 1992 mengenai pencarian teologis di tengah krisis tadi (Kabar Angin dari Langit). Bahkan, bisa dikatakan perkembangan terakhir sosiologi agama di Indonesia ada di situ, yang bagaimanapun sayang terhenti di awal tahun 1990-an.
Menurut Peter Berger, pluralisme adalah isyarat bahwa agama tengah mengalami krisis sebab pada momen itulah awal agama tidak lagi memonopoli penjelasan dan legitimasi suatu masyarakat. Masyarakat modern sudah sedemikian terfragmentasi, terjadi segregasi lintas institusi di dalamnya, sehingga jalan satu-satunya agama untuk berkembang ialah dengan memasarkan dirinya di tengah kegaduhan pasar agama-agama dan ideologi. Itu pun tidak mudah sebab ia terjadi dalam kesadaran modern proses disenchantment (luruhnya tuah agama)—Langit Suci telah retak—dan agama selanjutnya secara internal dipaksa berjuang menegakkan keberterimaan nalar (plausibility) imannya di hadapan rasio modern.
Ketika datang ke Indonesia (1995), Berger mengatakan bahwa di tengah pluralisme sedemikian—yang rupanya adalah turunan proses sekularisasi—dalam diri agama terjadilah cognitive dissonance, suatu krisis akibat munculnya ide dan suasana baru yang kontradiktif dengan norma dan etik yang ia warisi. Dan menurut Berger, agama bervariasi dalam menghadapi ihwal tadi, bisa melakukan perlawanan mati-matian (dalam fundamentalisme agama), bisa terasing bertapa atau berilusi tentang rahasia-rahasia ilahi, atau melakukan tawar-menawar dengan mencoba mendukung pluralisme dari dalam agama itu (semisal teologi pluralisme).
Di sini kepentingan gagasan Berger terkait dengan situasi kita. Jadi, secara sosiologis bagaimanalah masyarakat kita menghadapi pluralisme itu? Adakah sebentuk data bahwa memang proses tawar-menawar telah berlangsung di negeri kita sehingga kita optimistis bahwa pluralisme malah akan menyehatkan tubuh agama-agama dan masyarakatnya. Atau, sebaliknya, agama-agama di Indonesia telah menghunus pedang perlawanannya terhadap pluralisme dan tidak mau menerima situasi krisis akibat goyahnya tuah agama tadi sehingga fundamentalismelah yang terlebih menjadi pilihan agama-agama atas situasi pluralisme tadi, yang tentu memberi kontribusi pada gejala kekerasan seputar agama (baik intern agama maupun lintas agama) yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia.
Di sini tampaknya tidak ada yang bisa menjawab dengan tuntas. Namun, ada kesimpulan yang bisa kita tarik bahwa agama memang bertumbuh sendirian dan tanpa sokongan atau pun input dari sosiologi agama di negeri ini—demikian juga para elitenya—dan sosiologi agama tampak terhenti di hadapan kegaduhan sosial pasca-Reformasi di Indonesia.

3.      AGAMA DALAM KONTEKS MASYARAKAT KONTEMPORER
a.       Pengetahuan agama
Pada hakekatnya orang-orang yang beragama paling tidak memiliki pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakianan dari kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi ini menggambarkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Selain itu juga untuk mengetahui sejauh mana aktifitas dalam menambah pengetahuan agama, seperti mengikuti pengajian, membaca buku islami atau juga membaca al-qur’an.
Pemahaman keagamaan masyarakat terhadap agama yang dianutnya juga menggembirakan, mereka mengaku memeluk agama islam, mengakui bahwa Allah SWT sebagai tuhan mereka, mereka juga mengakui bahwa rukun iman dan rukun islam benar adanya, namun faktor ekonomi yang menyebabkan mereka terpaksa menjadi pengemis, mereka juga menyadari bahwa hal tersebut yaitu pekerjaan mengemis bertentangan dengan ajaran islam yang sesungguhnya, karena haram bagi orang yang mampu namun mendapatkan harta dari meminta-minta, selain itu juga bertentangan dengan norma agama dan norma sosial.
Pemahaman keagamaan pada umumnya dipahami oleh setiap pemeluk agama apapun itu, namun terkadang pemahaman keagamaan belum tentu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang terjadi dikalangan pengemis, mereka mengakui beragama Islam namun tingkah laku mereka justru bertentangan dengan ajaran islam.
b.      Hubungan agama dengan perubahan masyarakat
Moralitas atau etika sosial yang menjadi standar perilaku interaksi antar manusia mulai ‘jungkir balik’ secara dramatik sepanjang sejarah peradaban umat manusia ketika kapitalisme yang sesungguhnya lahir secara utuh.[1] Hugh Dalziel Duncan[2] melukiskan kapitalisme sebagai peradaban yang bercirikan uang, dimana uang pertama kali dipercakapkan dalam ranah peristilahan transendental. Perjuangan demi keadilan ekonomi merupakan reduksi legal dari setiap terma perjuangan demi keadilan. Pada babak yang lebih matang, perubahan uang dari lambang kejahatan menjadi lambang kebaikan.[3] Hugh mengutip Bernard de Mandeville bahwa dalam  babak peradaban baru ini agama adalah satu hal dan dagang adalah hal lain. Bagaimana formasi agama dalam babak sejarah yang dianggap baru sepanjang peradaban ?

 Wacana agama dan ‘perubahannya’ hari ini menjadi penggalan pendek dari garis sejarah peradaban.  Hubungan agama dengan negara;  hubungan islam dengan demokrasi; islamisasi ilmu atau hindunisasi ilmu; ekonomi islam; kebangunan islam; fundamentalisme agama dan pembaharuan pemikiran bisa jadi merupakan daftar asesoris dari grand wacana hubungan panjang dan (mungikn) tidak pernah selesai antara agama dengan perubahan sosial. Hubungan tersebut dibangun dari rumusan pertanyaan dan ragam tesis mengenai  letak agama dalam perubahan sosial hari ini.

Merujuk Max Weber (1864 – 1920), agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Setelah pengikut Weber dari Amerika, Talcot Parson, menterjemahkan karya Weber  kedalam bahasa inggris dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism tahun 1958, buku Weber ini menjadi bacaan wajib bagi para penggemar sosiologi.

 Namun Weber, bukanlah manusia ‘hari ini’, tesisnya mengenai  agama sebagai motor  perubahan sosial itu dilahirkan sekitar seratus empatpuluh tahun yang lalu . Hari ini kelihatannya yang terjadi sebaliknya, agama (utamanya) melalui instrumen teologinya harus mengejar ‘kebaruan’ pola interaksi sosial. Kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang jaya hari ini tidak lagi memerlukan dukungan agama. Tesis ini berangkat dari sebuah teori kritis yang menyeruak sekitar tahun 60-an utamanya melalui Mazdhab Frankfurt. Atau, pada tataran epistemologi menjadi sebuah alternatif atas metodologi positivistik.

Sehingga paling tidak hingga hari ini, hemat saya, terdapat tarik – menarik  yang begitu besar pada wacana yang berpengaruh dalam hubungan antara agama dengan perubahan sosial. Pertama, pendapat yang  menempatkan agama (harusnya) berubah mengikuti arus kondisi interaksi manusia. Kedua, lebih dipicu oleh  ‘kegelisahan’ terhadap perkembangan kondisi interaksi manusia hari ini yang semakin membangun jarak terhadap kontrol agama, berpendapat kondisi hari inilah yang harus (dirubah) menyesuaikan (teks-teks) agama.

Pendapat yang pertama tersebut menempatkan agama sebagai suprastruktur sosial. Agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial diluarnya.[4] Bahkan entitas ‘luar agama’ itu bisa jadi mendikte (perubahan) agama.[5] Agama terus berubah mengikuti pergeseran struktur ekonomi dan struktur budaya. Karen Amstrong bahkan menggunakan term Tuhan (God), A History of God  dalam menggambarkan betapa ‘agama’ terus berubah berdialektika dengan alam dan struktur sosialnya. Tuhan berevolusi.

Sebuah buku terbitan Cross Cultural Publication tahun 1994 yang diedit George B. Grose dan Benjamin J. Hubbart, The Abraham Connection: A Jew, Cristian and Muslim in Dialogue, diterjemahkan ke Indonesia Tiga Agama Satu Tuhan oleh Penerbit Mizan, tahun 1998 persis memperkuat tesis Karen Amstrong dalam cara penuturan yang jauh berbeda. Buku ini disambut ‘biasa’ saja oleh pengamat (perilaku) ke-agama-an atau para agamawan. Hemat saya buku hasil dialog pemuka tiga agama, yaitu antara David Gordis (Yahudi), George Grose (Kristen) dan Muzammil Siddiq (Islam)  ini ‘luar biasa’. Karena titik temu agama - agama yang selama ini didengungkan melalui wacana teologi, atau lebih dari itu melalui semacan etika, moralitas agama yang dikandung, maka buku ini merupakan eksplorasi serius ‘kesatuan’ agama - agama melalui sejarah yang otentik dan mudah dilacak. Mengutip Kitab Suci masing-masing malah semakin menunjukan otentisitas ‘kesatuan’ agama itu. Kesan yang dapat ditangkap, polarisasi menjadi tiga agama adalah persoalan interpretasi dibalik struktur sosial yang mendasarinya.

Ketika Karen Amstrong mengeksplorasi bagian “Kematian Tuhan” menuliskan,



“Kaum muslim tidak mempunyai banyak waktu atau energi untuk mengembangkan pemahaman tradisional mereka tentang Tuhan. Mereka sibuk dalam upaya mengejar ketertinggalan dari Barat…. Di Barat, “Tuhan” dipandang sebagai suara keterasingan; di dunia islam suara tersebut berasal dari proses kolonial Karena tercerabut dari akar budaya sendiri, orang – orang merasa kehilangan arah dan putus asa. Sebagian pembaharu Muslim berupaya mempercepat langkah kemajuan dengan cara paksa meletakkan islam pada posisi minor”.[6]

          Tesis yang dikembangkan Keren Amstrong tersebut  mensejajarkan  agama dengan ide, filsafat, seni, hukum dan ideologi berada pada posisi super struktur dari infrastruktur material. Secara substantif tesis ini bukan baru, bahkan jauh  melampaui masa kelahiran Karl Marx (1818), tesis itu diintrodusir ilmuwan muslim kelahiran Tunisia, Ibn Khaldun (1332–1406). Khaldun meneliti pengaruh lingkungan fisik terhadap bentuk-bentuk organisasi sosial primitif dan modern, hubungan antar kelompok dan berbagai fenomena kultural (kesenian, kerajinan, ilmu pengetahuan, solidaritas atau kohesi sosial).[7] Sungguhpun demikian dalam sejarah khasanah intelektual islam tesis semacam ini dipersoalkan sebagai sebuah masalah teologik, bukan sebuah persoalan keilmuan yang positiv dalam matra epistemologik atau metodologik. Sehingga aktifitas keilmuan yang bertumpu pada metode induktif di kalangan muslim terhenti karena studi empirik (induktif) yang lahir dari pendekatan Ibn Khaldun dihampiri secara deduktif-teologik.[8] Kritik terhadap perspektif Khaldunian[9] secara keilmuan (bukan bentuk kritik teologiknya) sulit ditemui dikalangan ilmuwan muslim. Kritik yang relefan hanya dapat ditemukan ditemukan pada perspektif idealistik yang bermuara dari pandangan Alfred North Whitehead yang menyatakan “ide umum selalu mengancam tatanan yang ada”. Kemudian Auguste Comte, Frederich Hegel dan kajian induktif secara monumental bermuara pada Max Weber dalam studinya mengenai hubungan agama dengan perkembangan ekonomi.

          “Perang dingin” teologi di kalangan muslim terjadi dalam merespon implikasi perspektif. Perspektif materialism menempatkan agama hanya sebagai bagian dari ragam institusi yang ada di dalam masyarakat dan ‘berlokasi’ diujung mata rantai ketika terjadi perubahan sosial. Ilyas Ba.Yunus[10], sosiolog dari The State University, New York mengkritik tajam pendekatan yang disebutnya sebagai bias Barat ini dari  ranah epistemologis. Bahwa kesalahan besar pandangan ini adalah menempatkan agama sebagai segmen atau bagian kecil saja dari masyarakat. Tangkisan untuk menolak tesis mengenai agama sebagai supra-struktur dari infrastruktur material adalah bahwa tesis tersebut hanya belaku  pada pengalaman sejarah Barat – Kristen. Unsur pengalaman Barat seperti sekularisme[11], pemisahan agama dari kehidupan publik tidak terjadi dalam masyarakat muslim.

Kemudian sekularisme seperti sontak tiba – tiba menjadi tema utama yang menantang  sejak proses perubahan struktural di masyarakat dunia ketiga pada tahun 60-an. Pergeseran struktural sebagai sebuah data empirik ke arah defferensiasi struktural yang gelagatnya menyamai sistim sosial Barat sulit diingkari sebagai sebuah kenyataan. Meminjam istilah Anthony Giddens gerak itu ibarat Jugernout, truk besar yang melaju tak terkendali.

          Tesis yang menempatkan agama sebagai suprastruktur sama dengan penonjolan sisi antroposentris dibandingkan sisi teosentrisnya. Term antroposentris difahami bahwa agama kemanfaatannya selalu pada ukuran-ukuran kemanusiaan. Human (sisi kemanusiaan) sebagai dasar segala aktifitas, maka spiritual maupun ritus akan selalu disandarkan dalam konteks kemanusiaan. Sisi humanitarian ini ‘kehadirannya’ hanya dapat wujud pada aktualisasi interaksi sosial.  Sementara sisi teosentris memandang Tuhan diatas segalanya; ‘ketundukan’ manusia adalah dalam rangka ketundukan itu sendiri tanpa harus dimengerti sebagai prosesi imanensi.

Agama bagaimanapun (selalu) menampilkan dua sisi tersebut (antroposentris dan teosentris). Pada masyarakat islam, kita dapati bagaimana ummat memperlakukan (tafsir) Al Qur’an; posisi antroposentris (humanetarian?) ketika memandang Al Qur’an yang kehadirnya semata mata sebagai petunjuk manusia maka berpendapat tidak ada ayat yang begitu saja ‘tersembunyi’ tanpa dimaknai dalam konteks interaksi antar manusia. Walaupun perlu catatan khusus perbedaan  keberlakuan tesis ini pada komunitas Islam Suni dan Islam Syiah. Dikalangan Suni pembaharuan pemikiran islam terasa lebih progresiv, barangkali watak teologinya yang ‘meminimalkan’ perlunya kema’suman keturunan. Ini maknanya kalangan Suni akan lebih adaptif terhadap gagasan demokrasi. Dengan demikian dalam Suni doktrin otoritas atas tafsir rawan sekali goyah, dalam pengertian ini doktrin Suni lebih bernuansa antroposentris dibandingkan dengan sahabatnya kalangan Syiah.

 Fenomena Ulil Abshar Abdalla, misalnya, bukanlah  pemandangan baru (dalam Suni), dimana involvement “orang kebanyakan” dalam pemikiran agama kemudian berimplikasi pada semacam gugatan terhadap sistem otoritas ulama. Din Syamsuddin, ketua Muhammadiyah mengomentari kiprah Ulil sebagai dekonstruksi agama (islam) tanpa rekonstruksi. Hemat saya, pada tataran sosiologis, dekonstruksi pemikiran islam yang dilakukan Ulil sekaligus menampilkan tawaran[12] (re)-konstruksi pada tataran sistem otoritas agama. Nuansa pesan sosiologis ini pernah diperkenalkan oleh Abdul Munir Mulkhan, sosiolog agama dari Yogyakarta pada dua tahun sebelum kasus Ulil populer dalam kolomnya di Dwi Mingguan Gatra, 23 September 2000. Ia menulis dengan tajuk “Islam Bagi Semua”;



Seorang muslim, pemeluk agama lain atau ateispun terbuka untuk mengapresiasi, memahami dan mengamalkan ajaran islam, terutama ajaran hubungan sosial. Hal ini juga tidak mesti dilakukan dengan membaca atau menafsisr ayat – ayat Al Qur’an dan sunah, melainkan bisa juga dari wahyu model kedua atau sumber kedua.

          Jauh lebih mendasar gugatan terhadap sistem otoritas agama itu  ditujukan terhadap syarat – syarat menafsir ‘kebenaran’ agama yang disusun ulama dalam ilmu syariah, tafsir dan tauhid, 10 abad yang lalu.  Seperti ungkapan Mulkhan berikut:


     …pernyataan bahwa hanya orang islam yang berhak membaca dan menafsir Al-Qur’an bertentangan dengan misi penyebaran kebenaran Al-Qur’an dan maksud penurunannya sendiri. Pernyataan bahwa hanya yang paham kultur dan bahasa Arab yang berhak menafsir, berhak menyatakan yang lain salah, berarti Al-Qur’an hanya penting bagi dunia pesantren dan kelas elit yang Arabis.




Sublimasi identitas

Kolom Munir Mulkhan Gatra tersebut merangsang pertanyaan, bagaimana gambaran sebuah keberagamaan tanpa otoritas ?  Inikah yang akan menjadi tren keberagamaan masa depan ?  Gejalanya menunjukan kearah realitas  tersebut, sebut saja Jaringan Islam Liberal  (JIL) yang lahir dari rahim lanskap kebebasan penafsiran kebenaran agama tanpa wujud otoritas. Dimotori oleh mereka yang meneguk ilmu islam dari sumber (keislaman) tradisional, tapi mereka diasuh dalam buaian ruh masyarakat kota yang serba cair. Model keberagamaan yang dikembangkan JIL ini bagaikan gayung bersambut untuk menjadi pengisi perangkat lunaknya generasi baru umat yang oleh Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Masjid (2001; 130) disebutkan pengetahuan agama mereka tidak didapatkan dari lembaga islam konvensional.

          Meskipun ‘gerakan’ semacam JIL menarik diri dari upaya yang bersifat advokatif secara langsung namun memberikan ruh emansipatoris yang kuat bagi generasi baru yang oleh Kuntowijoyo di atas dikenalkan sebagai muslim yang tanpa masjid. Generasi baru yang sekarang ini  (atau sejak 1998) bermain pada gerakan politik jalanan dari rentang ideologi gerakan yang paling kiri hingga ke ujung kanan .  Kuntowijoyo (2001;130) menggambarkan berikut “Kita tidak boleh sakit hati dengan penolakan mereka terhadap otoritas KUI, MUI, ormas – ormas dan tokoh-tokoh islam lalu mengnggapnya bukan muslim”.

Realitas mengilustrasikan betapa batas antara Umat Muhammad dengan yang bukan dalam masyarakat yang sudah terpolarisasi dan defferensiasi menjadi sangat sublim. Gugatan Forum Umat Islam (FUI) yang dikomandoi KH. Atian mengenai tulisan Ulil di Harian Kompas (18/11/2002), menyatakan Ulil sebagai berbahaya bagi islam merupakan penggalan kecil dari sublimasi identitas itu[13]. Begitu pula dalam issue mengenai konflik Irak – Amerika, tidak begitu mudah meyakinkan massa islam bahwa konflik tersebut bukanlah soal agama.

Sangat pentingnya sebuah identitas (keagamaan), baik Ulil Abshar maupun Atian pada substansi perdebatannya lebih cenderung  bergeser pada persoalan ‘perebutan’ identitas islam. Persoalan perlunya indentitas ini semata persoalan sosiologis, adanya pergesekan-pergesekan otoritas keagamaan. Bukan teologis yang berfungsi menimbang apakah seseorang beriman atau tidak. Dan, dalam kasus Irak – Amerika, identitas keagamaan ini menjadi sebuah komoditas politik. Struktur kognisi masyarakat sangat sulit menerima ucapan Pramudya Ananta Toer, misalnya,  bahwa dirinya ateis. Pernyataan itu dianggap sebuah pernyataan yang mengejutkan, tapi juga cukup maklum karena yang mengatakannya sudah tanpa identitas (jelasnya dia tidak bisa mengatas namakan ‘bahasa’ agama karena tanpa otoritas).

Sebuah realitas akan sulit difahami hanya semata dari pendekatan normatif agama. Ilustrasi terbaru pada kasus Inul. Dalam masyarakat muslim Indonesia, bagaimana ‘wejangan’ susila yang secara substantif diakui publik sebagai norma yang dirumuskan agamanya kemudian patah melalui gesekan  opini publik ?  Yang justru menyudutkan Rhoma Irama pada ‘ketidak-populeran’ dalam serangakain pergesekan opini publik tersebut. Dalam khasanah komunikasi opini publik terdapat tawaran ‘teori’ bahwa penampilan opini dipengaruhi oleh siapa yang ada dibalik atau dibelakang layar opini. Kawan – kawan fundamentalis (islam) seringkali menggemari teori  ini. Pada kasus Inul, popularitas Inul, menurut teori ini, digarap seorang arsitek public opinion (disebutlah nama Arswendo Atmowiloto). Media apa saja yang dipegang oleh Arswendo, tambah teori ini akan mampu menguasai aras publik.

Teori ini sangat strukturalis. Problemnya, bagaimana menjelaskan proses pengaruh aktor dibelakang layar – Arswendo -- dalam pergulatan normatif struktur kognisi masyarakat? Atau, kembali pada rumusan di atas  bagaima kubu Rhoma Irama yang nota bene ‘lebih mewakili’ nilai agama secara subtantif menjadi tidak populer dalam pergesekan opini publik? Teori ini buntu memahami proses (pergeseran) struktur kognisi itu. Oleh karena itu harus ada asumsi sebelumnya tentang telah adanya sebuah perubahan yang sangat fundamental dalam struktur kognisi melalui proses sejarah panjang pergulatan agama dengan perubahan sosial. Asrwendo dalam konteks ini tidak dalam kerangka merubah struktur kognisi masyarakat, tetapi cukup menumpangi perubahan dalam masyarakat yang sedang mengalir. Arswendo “menegaskan” adanya sebuah realitas yang sedang berubah itu.

Ilustrasi menarik sekitar perpolitikan post-Suharto. Tanggal 21 Mei 1998 mahasiswa radikal di politik jalanan menduduki gedung MPR/DPR itu sujud syukur menyaksikan Suharto lengser. Kuntowijoyo terperangah, dalam komentarnya; “ternyata mereka muslim juga!”. Tapi umat dibuat kecewa lantaran kemudian ternyata Habibie-pun ditolak, padahal waktu itu Habibie relatif representasi dari islam. Keraguan terhadap mereka melahirkan counter dari masyarakat dan mahasiswa ‘yang lebih muslim’. Dan mereka berbondong - bondong berangkat dari Mesjid Al Azhar dan Istiqlal pada hari Jum’at dengan menggotong spanduk berisi dukungan terhadap Habibie. Bentrok fisik dua kelompok penolak dan pendukung Habibie itu tak terhindarkan.

Mahasiswa itu, pada sisi lain,  ‘menyatu’ dalam menolak Sidang Istimewa (10-14 November 1998) sehingga sama-sama berhadapan dengan Pam Swakarsa yang mendukung SI. Pada kesempatan bentrok anggota Pam Swakarsa yang memang kebanyakan ‘soleh’ itu berteriak “Pak, mereka itu bukan orang islam!.”

          Generasi baru Muslim ini, mengikuti Kuntowijoyo, lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Hasilnya, mereka hampir menafikan adanya otoritas sosial dalam menafsir kebenaran agama. Sekali lagi, ‘ruh’ keberagamaan yang ditiupkan JIL mendapatkan signifikansinya. Lagi, ilustrasi menarik pada peringatan Peristiwa Semanggi di hari ke-40, dimana Cak Nur menghimbau agar mahasiswa membatalkan acara itu. Cak Nur meragukan kemurnian niat ibadah mahasiswa. Tapi acara itu berjalan terus, dan mulus. Malah sementara mahasiswa kembali mencurigai Cak Nur sebagai telah tergadaikan idealismenya.

          Persoalan sublimasi identaitas muslim (islam) ini sesungguhnya bukan pemandangan baru dalam sejarah islam. Tidak hanya terjadi pada hari ini ketika masyarakat terdeferensiasi sedemikian rupa, meskipun pada masyarakat kontemporer kompleksitasnya sangat jauh berbeda dengan masyarakat klasik. Bagi Peter L. Berger, [14] sublimasi identitas ini nyaris tidak dapat dihindari dalam masyarakat plural. Meskipun dalam teori budaya (Budaya Massa) yang terjadi adalah homogenisasi budaya. Sublimasi identitas juga harus bermain dengan intensitas plural yang semakin tinggi. Sehingga persoalannya dapat dirumuskan, bagaimana seorang beragama bisa mendifinisikan dirinya ditengah – tengah agama lain. Eksplorasi atas pertanyaan seperti ini paling rajin dimuatkan di Harian Kompas, dibandingkan dengan harian lain. Mudah difahami kalau kalangan islam ortodox tidak ragu untuk menyatakan mempunyai jarak ‘ideologis’ dengan harian ini.

          Ragam bentuk pembaruah (pemikiran) agama atau teologi hadir dalam kerangka merespon persoalan yang dirumuskan tersebut di atas sebagai akibat dari  gerak sturktur sosial yang tak terkendali. Kebanyakan bangunan teologi mengasumsikan gerak struktur sosial tersebut sebagai sebuah keniscayaan. Sebutlah wacana teologi diujung paling kanan, Pembaruan Pemikiran Islam yang dilakukan Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang diintrodusir tahun 70-an, menempatkan perspektif ‘modernitas’ sebagai kenyataan sejarah. Ummat Islam, menurutnya harus meletakkan agama sebagai sebuah realitas ‘tersendiri’ dari wilayah negara ( publik atau politik), yang kemudian terkenal dengan jargon “Islam yes, politik no”. Tesis ini, hemat saya, mempunyai paralelitas dengan konstruksi teoritik Emile Durkheim tentang pemisahan agama secara analitik dalam dua wilayah kerja, wilayah sakral dan wilayah profan. Term sekularisasi mendapatkan legitimasi etik melalui rekonstruksi dialektika pemahaman antara filsafat moral yang bersumber dari sejarah dan konteks sosial hari ini ( dinamika struktural yang tak terkendalikan), walaupun bagi Cak Nur term itu dibedakan secara tegas dengan ‘sekularisme’.

          Tentu saja gagasan pembaruan dari Cak Nur selain mendapatkan hasil akomodasi struktural pada tingkat sosial – politik juga mengundang bangkitnya model teologi yang berseberangan. Yang dapat dibaca sebagai melahirkan kontradiksi internal ummat Islam Indonesia.  Tren teologi yang lahir pada post pembaruan Cak Nur, misalnya (model ini longgar saja, perlu eksplorasi lebih jauh); revivalis atau salaf ( kebanyakan kaum skriptualis – fundamentalis); revolusi (mengingatkan Ali Syariati); emansipasi–liberasi (bermuara pada Hassan Hanafi) ; transformatif atau empowerment (Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Muslim Abdurrahman); pencerahan dan revitalitas (masih variasinya Cak Nur walau agak sedikit lain, seperti Kang Jalal, JIL ). Munculnya teologi transformatif merupakan reaksi dari adanya keprihatinan terhadap kontradiksi internal di Indonesia pada post pembaruan Cak Nur ini. Menurut teologi transformatif ini model teologi yang dikembangkan Cak Nur dan beberapa reaksi atasnya kurang terlibat dalam menjawab persoalan aktual umat islam.

 DR. Abuddin Nata[15] menggali sebanyak 12 bentuk gerakan teologi di Indonesia. Keduabelas gerakan teologi tersebut pada dasarnya mempunyai rujukan dalam sejarah islam, walaupun banyak diantaranya sangat sumir, yaitu Islam Fundamentalis, Islam Teologis—normatif, Islam Eksklusif, Islam Rasional, Islam Transformatif, Islam Aktual, Islam Kontekstual, Islam Esoteris, Islam Tradisional, Islam Modernis, Islam Kultural, Islam Inklusif-Pluralis.
c.       Klaim benaran
Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosialogis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif, personal, oleh setiap pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil orang yang meyakininya dari konsepsi ideal turun kebentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada umumnya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konskuen nilai-nilai suci itu.
Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subjektivitas ketika keyakinan lain yang berbeda. Meskipun ada yang berpendapat bahwa kerangka subjektif adalah cermin eksistensi yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu, kita tidak harus memaksakan inklusivisme “gaya kita” pada orang lain, yang menurut kita ekslusif. Sebab, bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya masih terkunjung pada jerat-jerat ekskusivisme, tetapi dengan menggunakan nama inklusivisme.
Dengan demikian,pluralisme bisa muncul pada masyrakat di mana pun ia berada.ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas, tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme.
Kemajuan sebuah masyarakat, seperti telah disinggung di atas pada dasarnya ditandai semakin melebarnya deferensiasi struktural dibarengi ketajaman spesialisasi, sekaligus homogenisasi budaya. Pada derajat tertentu realitas ‘kemajuan’ yang digambarkan ini bersifat antagonis, dengan berkembangnya perbedaan yang membengkak sekaligus diikuti homogenisasi. ‘Kesadaran’ tentang antagonisme semacam ini diintrodusir dalam pandangan – pandangan yang dikembangkan Antony Giddens. Pandangan Giddens ini melengkapi Auguste Comte ( lahir 1798 ). Tutur Comte perjalanan sejarah masyarakat manusia berujung pada sebuah ‘agama generik’, Comte menyebut agama humanisme. Giddens menambahkan ujung sejarah sesungguhnya berada pada kompleksitas ( dualitas yang   antagonis ), tidak sesederhana yang digambarkan dalam hukum tiga tahap. Masyarakat era positivistik sebagai tahapan akhir dari perkembangan masyarakat itu ternyata mengandung kontradiksi - kontradiksi didalamnya.

          Era positivistik menempatkan ilmu menjadi ‘panglima’, sebuah perkembangan dari dua tahap sebelumnya yaitu tahap teologik dan tahap metaphisik. Positifistik merupakan konsepsi serta merta menempatkan otoritas kebanaran ada pada ilmu, bukan pada filsuf atau gereja seperti tahap sebelumnya. Gerak sosial hanya dapat difahami melalui pencerapan hukum ( sosial ) positiv, sosiologi-lah yang yang dimaksud agama baru itu. Sesungguhnya sebuah rumusan yang (sebelumnya) susah dibayangkan. Karena ilmu jauh lebih bersifat abstrak dibandingkan filsuf atau gereja maka ilmu dengan demikian seperti halnya agama dan filsafat  membutuhkan institusi (wadah) untuk melekatkan diri, dimana kemudian institusi tempat melekatnya ilmu itulah sebuah otoritas ilmu. Disinilah persoalannya, dalam kerangka Giddens, dalam realitas ini terdapat kontradiksi. Institusi cenderung birokratik, sebuah kondisi dimana memungkinkan slip of its substanstial goul, seperti halnya institusi agama menggerogoti substansi nilai agama.

          Tetapi sangat sulit dibayangkan pada tataran praksis dimana sebuah abstraksi nilai beroparasi tanpa institusi (baca : organisasi ). Maka yang dimaksud otoritas ilmu pada masyarakat positivistik kemudian beralamatkan ( address ) pada insitusi kampus. Pada sisi evolusi sosial kecenderungan institutionalized ini dapat juga dibaca sebagai defferensiasi struktural atau gejala impersonalisasi. Struktur sosial impersonal mensyaratkan infrastruktur budaya homogen (homogenisasi budaya), yang kontennya adalah pengakuan terhadap pluralitas.

Penerimaan sisi realitas plural atau pengakuan ‘adanya realitas yang lain’ yang disyaratkan untuk sebutan ‘masyarakat maju’, hemat saya sangat penting memahami apa yang terjadi di kalangan akademisi kampus untuk mengukur jarak kemajuan yang telah ditempuh sejarah. Karena kampus cukup kuat memasok definisi atas realitas; memungkinkan pasokan realitas yang lain (the other reality) dari realitas yang (pernah) ada. Gambaran yang terjadi di dalam kampus, teori-teori ilmu pengetahuan sosial (paradigma sosial?) yang lahir tahun 60-an menjadi energi pengaruh bagi realitas plural yang perlu diperhitungkan. Awalnya, berangkat dari anti positivisme logik kemudian setelah melampaui rasionalisme kritis dan empirisme analitis, berhenti pada hermenetika dan konstruktivisme kritis[16]. Tiga kerangka teori ilmu pengetahuan yang pertama (positivisme logik, rasionalisme kritis dan empirisme analitis) merupakan teori ilmu pengetahuan analitis. Yaitu mempelajari gejala (ilmu pengetahuan) sebagai gejala yang berdiri sendiri. Meyakini ‘kebenaran’ ada didalam dirinya, kemudian inilah yang dimaksudkan universalitas. Sehingga metodologi yang dikembangkan pada ketiga teori pengetahuan ini menampik “anather world is posible”.

Kedua teori ilmu pengetahuan yang terakhir (hermenetik dan konstruksionisme) disebut non-analitik. Mulanya di Indonesia ada perasaan canggung menempatkan teori ilmu yang bersifat non-analitik ini pada bagian ilmu sosial; lebih kuat dugaan ditempatkan pada humaniora. Teori ilmu pengetahuan non analitik ini memungkinkan membuat celah – bolongan kecil – untuk mengintip adanya “yang lain”. Kredo yang ditawarkan, “kebenaran” tidak selalu ada dalam dirinya tetapi bersifat sosial.  Celah itulah yang kemudian dengan gagah berani diproklamairkan oleh (teori) post-modern, bahwa ada “kebenaran”yang lain dari  “kebenaran” yang ada ini.

Sekitar tahun 1994, ketika saya mahasiswa baru untuk Program Studi Sosiologi sempat bertanya kepada seorang profesor dengan nada serius mengapa tidak dimasukkan Mata Kuliah mengenai (teori)  Post-modernisme pada program ini. Jawabnya, karena post-mo tidak menampilkan kejelasan  (kerigidan, atu heuristik [17] ? ) teori. Terus terang saya masih tidak mengerti jawaban itu, yang saya ketahui adalah kekuatan wacana post-mo ini dalam membangun opini dunia sekaligus menjadi kontributor praktek sosial; pengakuan adanya ‘yang lain’. Misalkan, di era kontemporer ini banyak bentuk penegasan identitas (de-sublimasi identitas), baik identitas etnik maupun agama mendapatkan energinya dari belakang teori dengan semakin menguatnya dua teori ilmu pengetahuan terakhir tersebut.

Selain persoalan pada kisaran epistemologis tersebut terdapat pula persoalan struktural pada ‘pelembagaan ilmu’ era positivistik hingga hari ini. Temuan – temuan besar dalam ilmu, apalagi dalam ilmu sosial, pada dasarnya selalu lahir dari kerja individual. Bukan dari pencarian ‘gotong--royong’, ada kecenderungan jawaban psikologis bahwa temuan ilmu sacara monumental lahir dari pribadi “nyeleneh”. Pribadi yang tidak dapat di-struktur dalam proses kerja bersama (institutionalized). Institusionalisasi ini cenderung mereduksi proses kreatif manusia. Mudah difahami hadirnya sekolah yang sadar akan pentingnya kreatifitas itu kemudian cenderung meminimalisir aturan atau arahan dalam kurikulumnya.

Kembali kepada persoalan otoritas di atas, kebangkrutan institusi ilmu ini (baca; universitas dan sekolah) menjadi awal babak baru lahirnya ilmu sebagai otoritas yang sesungguhnya. Term impersonal dalam masyarakat kedepan bukan harus difahami sebagai “non-personal dalam arti kelembagaan (baca organisasi)”, tetapi berada dalam sebuah abstraksi nilai, yaitu Ilmu. Pelembagaan atau institutionalized cenderung mengundang personalisasi, dalam bahasa sarkastik adalah feodalisasi. Nasib agama, yang juga abstraksi sebuah nilai, dalam masyarakat impersonal akan sangat bergantung pada eksistensi otoritas ilmu. Organized relegion tidak dapat hadir sepenuhnya dalam struktur masyarakat impersonal, dimana ilmu dapat menjadi otoritas sepenuhnya. Sebaliknya, un-organized relegion hadir dalam struktur masyarakat yang meletakkan ilmu sepenuhny sebagai otoritas, dan kondisi ini dipersyaratkan dalam struktur masyarakat impersonal.
PENUTUP
Demikian perlunya bagaimana pemahaman masyarakat tentang makna, dan arti penting tentang pluralisme, kebenaran maupun dengan arti secara implisist dari sebuah agama itu sendiri.
Kebersamaan dan kerukunan adalah hak yang harus diperjuangkan untuk menuju masyarakat yang madani, maka pahamilah makna kebersamaan itu secara utuh dan mengutamakan kesholehan kolektif.



DAFTAR PUSTAKA

Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986.
Zainal Abidin, Ahmad Syafi’i., Sosiosophologi, Cv Pustaka Setia., Bandung, 2002.
Ali shariati, islam dalam persepektif sosiologi agama, IQRA Bandung, 68 Halaman
Nata, Abuddin.2001. Peta Keragaman Pemikiran Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.


No comments:

Post a Comment