Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa, ialah menukarkan sesuatu dengan sesuatu.
Menukarkan barang dengan barang dinamai jual beli menurut bahasa sebagaimana
menukarkan barang dengan uang. Salah satu dari dua hal yang ditukar tadi
dinamai mabi’ (barang yang dijual) dan yang lain disebut tsaman (harga).
Dilihat dari segi bahasa tiada bedanya antara barang yang dijual dan harga,
apakah kedua-duanya itu suci ataupun najis.
Dalam Kamus Hukum dijelaskan bahwa jual beli adalah
Suatu persetujuan, dimana pihak yang satu mengikat diri untuk menyerahkan
barang yang tertentu, dan pihak yang lain mengikat diri untuk membayar
harganya.
Pengertian jual beli menurut istilah, terdapat beberapa pendapat di
kalangan para Imam Mazhab, yakni:
- Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, jual beli mengandung dua makna, yakni:
1) Makna khusus, yaitu menukarkan barang dengan dua mata uang,
yakni emas dan perak dan yang sejenisnya. Kapan saja lafal diucapkan, tentu
kembali kepada arti ini.
2) Makna umum, yaitu ada dua belas macam, diantaranya adalah
makna khusus ini.
- Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki, jual beli atau bai’ menurut istilah
ada dua pengertian, yakni:
1) Pengertian untuk seluruh satuannya bai’ (jual
beli), yang mencakup akad sharaf, salam dan lain sebagainya.
2) Pengertian untuk satu satuan dari beberapa satuan yaitu
sesuatu yang dipahamkan dari lafal bai’secara mutlak menurut uruf (adat
kebiasaan).
- Mazhab Hanbali
Menurut ulama Hanbali jual beli menurut syara’ ialah menukarkan harta
dengan harta atau menukarkan manfaat yang mubah dengan suatu manfaat yang mubah
pula untuk selamanya.
- Mazhab Syafi’i
Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan bahwa jual beli menurut syara’ ialah
akad penukaran harta dengan harta dengan cara tertentu.
Dari beberapa argumen tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jual beli
adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikat diri untuk menyerahkan
barang dan pihak yang lain mengikat diri untuk membayar harganya.
- 2. Dasar
Hukum Jual Beli
Pada dasarnya hukum jual beli adalah boleh. Sebagai
dasar tersebut, dapat dipahami firman Allah swt. antara lain dalam QS. Al-Baqarah
(2): 275 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“ … Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”.
Pada ayat lain Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 29.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu …
Ayat-ayat tersebut dengan jelas menerangkan halalnya jual beli, meskipun
ayat tersebut disusun untuk beberapa tujuan selain pernyataan halalnya jual
beli.
Dalam pada itu, Al-Jaziriy telah mengemukakan bahwa hukum jual beli yang
boleh itu terkadang menjadi wajib, yaitu ketika dalam keadaan terpaksa
membutuhkan makanan atau minuman, maka wajib seseorang membeli sesuatu untuk
sekedar menyelamatkan jiwa dari kebinasaan dan kehancuran.
Dan tidak membeli sesuatu yang dapat menyelamatkan jiwa di saat darurat
tersebut.
Dan terkadang jual beli hukumnya bisa atau mandub, seperti
seseorang bersumpah akan menjual barang yang tidak membahayakan bila dijual.
Maka dalam keadaan demikian dia disunnahkan melaksanakan sumpahnya.
Kadang-kadang jual beli hukumnya makruh, seperti menjual barang yang
dimakruhkan menjualnya. Juga terkadang jual beli hukumnya haram seperti menjual
barang yang haram dijual.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jual beli dalam hukum Islam adalah
boleh, bahkan terkadang diwajibkan atau disunnahkan, yakni tergantung dari
keadaan seseorang dan barang yang menjadi objek jual beli.
- B. Rukun
dan Syarat Jual Beli
- 1. Rukun
Jual Beli
Jual beli berlangsung dengan ijab dan qabul,
terkecuali untuk barang-barang kecil, tidak perlu denganijab dan qabul;
cukup dengan saling sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku. Dan dalam ijab danqabul tidak
ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya ada pada
akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu
sendiri.
Hal yang diperlukan adalah saling rela, direalisasikan dalam bentuk
mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat menunjukkan keridhaan dan
berdasarkan makna pemilikan dan mempermilikkan.
Seiring dengan hal tersebut Abdurrahman Al-Jaziriy telah mengemukakan bahwa
rukun jual beli pada dasarnya terdiri atas tiga, yakni: 1. Sighat, 2. Aqid, 3.
Ma’qud.
- Sighat
Sighat dalam jual beli ialah segala sesuatu yang menunjukkan adanya
kerelaan dari dua belah pihak; penjual dan pembeli, yang terdiri dari dua perkara.
1) Perkataan dan apa yang dapat menggantikannya, seperti
seorang utusan atau sebuah surat. Maka apabila seseorang kirim surat kepada
orang lain; dia berkata dalam suratnya: “Sesungguhnya saya jual rumahku
kepadamu dengan harga sekian”. Atau dia mengutus seorang utusan kepada
temannya, kemudian temannya menerima jual beli ini dalam majelis, maka sahlah
akad tersebut. Tidak diampuni baginya terpisah kecuali sesuatu yang diampuni
dalam ucapan ketika hadirnya barang yang dijual.
2) Serah terima, yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa
disertai sesuatu perkataan pun. Misalnya seseorang membeli barang yang harganya
kepadanya, maka ia sudah dinyatakan memiliki barang tersebut lantaran dia telah
menerimanya. Sama juga barang yang dijual itu sedikit (barang kecil) seperti
roti, telur dan sejenis yang menurut adat dibelinya dengan sendiri-sendiri,
maupun berupa barang banyak (besar) seperti baju yang berharga.
- Aqid
Aqid yaitu orang yang melakukan akad,
baik penjual maupun pembeli ditetapkan padanya beberapa syarat, antara lain:
1) Hendaknya penjual dan pembeli sudah tamyiz, maka
tidak sah jual belinya anak-anak yang belummumayyiz, demikian pula jual
belinya orang gila. Adapun anak-anak yang sudah tamyiz dan orang idiot, yaitu
orang-orang yang sudah mengerti jual beli beserta akibatnya dan dapat menangkap
maksud dari pembicaraan orang-orang yang berakal penuh serta mereka dapat
menjawabnya dengan baik, maka akad jual mereka dan akad beli mereka adalah sah.
Tetapi tak dapat dilaksanakan kecuali haru ada izin khusus dari walinya, dan
tidak cukup dengan izin umum.
Apabila seorang anak yang sudah tamyiz membeli sesuatu
barang yang sudah mendapat izin dari walinya, maka sahlah dan harus
dilaksanakan jual beli tersebut dan bagi wali sudah tak punya hak untuk
menolaknya.
Adapun jiwa wali tidak memberi izin dan si anak membelanjakannya sendiri
untuk kepentingan sendiri, maka jual belinya sah tetapi tidak dapat
dilaksanakan sehingga wali memberi izin atau dia sendiri yang memberi izin
sesudah ia dewasa.
2) Hendaknya si aqid itu orang yang sudah
pandai (rasyidan : yaitu orang yang sudah mengerti tentang
ketentuan hitung). Ini sebagai syarat lulusannya jual beli. Maka tidak sah jual
belinya anak kecil, baik yang sudah tamyiz maupun yang belum,
dan tidak sah pula jual belinya orang gila, orang idiot (ma’tuh) dan
pemboros yang luar biasa, hingga tak dapat memegang uang dan tidak mengenal
hitung (safih), kecuali apabila si wali memberi izin kepada yang tamyiz dari
mereka. Sedang jual belinya orang yang belum tamyiz adalah
batal. Adalah sama antara mumayyiz yang normal penglihatannya
dan yang tuna netra.
3) Hendaknya si aqid dalam keadaan tidak
dipaksa (mukhtar). Maka tidak sah jual belinya orang yang dipaksa.
Dalam hal tersebut telah dirinci dalam masing-masing mazhab ada qarinah atau
tanda-tanda, maka pengakuannya tidak bisa diterima kecuali disertai bukti
(saksi).
Adapun jika seseorang menjual sesuatu karena menghindar dari orang zalim
dan sesamanya tanpa ada persetujuan dengan si pembeli, bahwa jual beli ini
adalah jual beli pengaman dan penangkal, maka akad jual beli ini dinyatakan
sah, maka akad tersebut lahir dari seorang penjual yang tidak dipaksa. Demikian
juga apabila seseorang dipaksa untuk mendatangkan suatu harta, namun kemudian
dia menjual miliknya tadi, maka sahlah jual beli tersebut. Karena dia tidak
dipaksa untuk menjual, tetapi dia dipaksa untuk melakukan hal yang menyebabkan
dia dijual. Bahwa membelinya dinyatakan makruh karena hal tersebut berarti jual
dengan harga tidak umum.
Barang siapa yang menguasai milik orang lain tanpa hak, kemudian orang lain
tadi memintanya, tetapi mengingkarinya seraya berkata: bahwa dia tak mau
mengakuinya, sehingga orang lain tidak menjualnya. Kemudian dia terpaksa
menjualnya, maka jual beli ini dinyatakan batal, karena si penjual dalam
keadaan dipaksa.
Tidak termasuk paksaan adalah suatu paksaan dalam keputusan seorang hakim
untuk menjual sesuatu karena untuk menutup hutangya dan sejenis. Karena paksaan
ini adalah paksaan karena hak. Sedangkan jual beli yang batal adalah karena
paksaan yang karena bukan hak.
- Ma’qud
alaih
Pada ma’qud alaih (yang diakadkan) baik benda yang dijual
maupun alat untuk membelinya (uang) ditetapkan beberapa syarat, antara lain:
1) Suci
Maka tidak sah ma’qud alaih berupa barang najis, baik
benda yang dijual maupun alat untuk membeli (uang). Apabila orang menjual benda
najis atau yang kena najis yang tak dapat disucikan maka tidak sah jual
belinya. Demikian juga tidak sah alat membeli/ uang yang najis atau yang
terkena najis yang tak dapat disucikan. Apabila orang membeli benda yang suci
dan ia menjadikan sebagai harganya (gantinya) arak atau binatang babi
umpamanya, maka jual belinya tidak sah.
2) Dapat diambil manfaat dan dibenarkan oleh syara’. Maka tidak
sah memperjual belikan binatang serangga yang tidak ada manfaatnya.
3) Pada saat akad jual beli benda yang dijual adalah milik si
penjual, tidak sah memperjual belikan barang yang bukan miliknya, namun ia
tidak dapat menyerahkan lantaran masih di tangan orang yang dighasab itu
bila dijual oleh si ghasib (orang yang ghasab),
karena barang itu bukan miliknya sendiri/
- 2. Syarat-syarat
Jual Beli
Agar jual beli menjadi sah, diperlukan terpenuhinya syarat-syarat yakni:
- Berkaitan dengan orang yang
berakad
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan: berakal dan dapat membedakan
(memilih). Akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang tidak dapat membedakan
tidak sah.
Jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika atau dengan kata
lain kadang-kadang sadar dan kadang gila, maka yang akan dilakukannya pada
waktu sadar dinyatakan sah, dan dilakukan karena gila tidak sah.
- Berkaitan dengan barang
yang diakadkan
Syarat-syarat jual beli yang berkaitan dengan barang yang diakadkan, yakni:
(1) bersihnya barang, (2) dapat dimanfaatkan, (3) milik orang yang melakukan
akad, (4) mampu menyerahkannya (5) Mengetahui, (6) barang yang diakadkan ada di
tangan.
- C. Hikmah
Jual Beli
Allah swt. mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan
keleluasaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Karena semua manusia secara pribadi
mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan sebagainya. Kebutuhan seperti
ini tidak pernah terputus selama manusia masih hidup. Tidak seorangpun dapat
memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu ia dituntut berhubungan dengan
lainnya. Dalam hubungan ini tidak ada satu hal pun yang lebih sempurna dari
pertukaran; dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia
memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
Jika akad telah berlangsung, segala rukun dan syaratnya dipenuhi, maka
konsekuensinya; penjual memindahkan barang kepada pembeli dan pembelipun
memindahkan miliknya kepada penjual sesuai dengan harga yang disepakati,
setelah itu masing-masing mereka halal menggunakan barang yang pemiliknya yang
dipindahkan tadi di jalan yang dapat dibenarkan syariat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Allah swt. telah mensyariatkan jual
beli, sebagai tujuan agar diantara umat saling berhubungan atau saling
bermuamalah antara satu dengan lainnya, dan saling memenuhi kebutuhan secara
timbal balik di antara mereka, dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment